Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERHELATAN itu usai begitu obor di Stadion Sriwijaya, Palembang, dipadamkan. Provinsi DKI Jakarta tampil sebagai juara umum dengan meraup 144 medali emas, disusul Jawa Timur dan Jawa Barat, yang sama-sama meraih 76 emas. Di luar angka pengumpulan medali, masih tercecer banyak kisah dari Pekan Olahraga Nasional XVI, yang ditutup Selasa pekan lalu. Selalu ada usaha keras dan pengorbanan untuk meraih prestasi. Itu pula yang dilakukan tiga atlet berikut ini.
Feri Subnafeu
(pelari maraton)
JARAK nomor maraton 42 kilometer tinggal sepelemparan batu. Fisiknya terlampau lemah, luka di kakinya terus membengkak, tapi Feri Subnafeu, atlet Nusa Tenggara Timur, masih terus berusaha berlari dengan setengah merangkak. Tujuh kali ia hampir jatuh. Tangannya berkali-kali menahan tubuh di atas aspal agar tak benar-benar tersungkur.
Penonton histeris, khawatir campur kasihan, melihat perjuangan gadis kelahiran Kupang, 17 Mei 1981 itu. Namun suasana mencekam segera berubah menjadi gembira. Pada Minggu dua pekan lalu, Feri berhasil meraih emas dengan catatan waktu 2 jam 57 menit 22 detik. Ia mengalahkan dua seniornya, Ruwiyati dan Erni Ulatningsih. Yang pertama pemegang rekor nasional maraton, sedangkan yang kedua peraih emas SEA Games 2003 di Vietnam.
Begitu menyentuh garis finis, Feri langsung dibopong ke ruang medis dengan masker oksigen di mulutnya. Kakinya yang bengkak juga mesti cepat diobati. Karena lukanya, ia harus melepas sepatunya sejak kilometer ke-39. Menjelang garis akhir, Feri benar-benar menjalani perjuangan hidup-mati. "Sambil berlari, saya terus berdoa. Tak henti-hentinya hati saya berteriak, 'Aku harus bisa…, aku harus bisa…'," katanya setelah diobati. Kakinya masih pincang. Ia berkali-kali mengoleskan obat pemulih otot ke bagian yang sakit.
Perjuangan Feri sudah dimulai di tempat kelahirannya, Desa Baun, wilayah gersang di sudut terpencil Kabupaten Kupang. Ia lahir sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Adik bungsunya masih berusia lima bulan. Ayahnya, Simson Tefbana, dan ibunya, Yuliana, hanya petani ladang. Saat musim kemarau, mereka mencari penghidupan tambahan di luar desa.
Feri mengenal atletik di kelas 5 SD. Bakatnya ditemukan oleh seorang guru yang kemudian mengarahkannya untuk menjadi atlet. Pada PON 2000 di Surabaya, ia sudah turun membela Nusa Tenggara Timur dan memperoleh perak. Mulai dua tahun lalu, Feri masuk pelatihan nasional. Hasilnya lumayan. Pada SEA Games 2003 di Vietnam, Feri mendapat perunggu.
Kini lulusan Sekolah Menengah Kejuruan I Kupang ini amat gembira bisa menyumbangkan sekeping emas buat provinsinya. Ia pun mendapat bonus Rp 12 juta dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. "Akan saya tabung untuk masa depan," ujar gadis kurus ini. Sebagian lagi akan ia berikan kepada orang tuanya untuk memperbaiki rumah. Satu hal yang masih diharapkan, "Semoga, sehabis ini, aku diangkat jadi pegawai negeri."
Lita Theresia
(pejudo)
Bukan sekadar karena iming-iming bonus, Lita Theresia, 26 tahun, nekat turun di gelanggang judo PON kali ini. "Saya ingin mempertahankan medali emas yang saya raih di PON Surabaya," kata atlet dari Jawa Tengah itu. Langkah ini memerlukan kemauan keras lantaran kondisi tubuhnya sungguh rawan. Sembilan bulan lalu ia dioperasi caesar untuk kelahiran bayi pertamanya.
Setelah melahirkan, bobot Lita mencapai 79 kilogram. Padahal ia pejudo kelas 57-63 kg. Bahkan, sampai April lalu, beratnya belum turun juga. Mau tidak mau, dalam tempo empat bulan, anak kedelapan dari sepuluh bersaudara ini harus menurunkan berat 16 kg. Sambil merampingkan badan, ia pun mulai dilatih oleh ayahnya sendiri, Amin Pambudi, dengan hati-hati. "Saya menghitung dengan cermat kesehatan anak saya, meski bila minta izin dokter, pasti tidak diizinkan," kata sang ayah.
Keluarga Amin memang dikenal sebagai keluarga pejudo. Selain Lita, tiga anaknya, Krisna Bayu, Andi Nugroho, dan Vera Saraswati, dikenal pula sebagai pejudo nasional.
Setelah melewati diet dan latihan keras, bobot Lita bisa turun menjadi 63,3 kg saat dia berangkat ke Palembang. Masih ada selisih 0,3 kg dari berat yang diizinkan di kelasnya. Buat menurunkan berat lagi, ia nekat tidak makan nasi selama tiga hari. Kebetulan, kartu makan yang disediakan panitia untuknya hilang entah di mana. "Kata suami saya, itu mungkin berkah dari Tuhan," ujar Lita.
Begitulah akhirnya bobot Lita memenuhi syarat untuk berlaga di kelasnya. Di sela-sela pertandingan, ia tampak menggendong bayinya. Lima kali pertandingan harus ia jalani sebelum sampai partai final. Agar berat badannya terkontrol, semuanya dijalani tanpa makan nasi, hanya minum suplemen dan susu cair. Badannya lemas, tapi ia masih perkasa sehingga melaju ke final.
Lawannya kali ini rekan lamanya asal Jawa Barat, Teni Anggraeni. Kebetulan, Teni tengah hamil satu setengah bulan. Jadilah partai nomor 57-63 kg sebagai pertarungan atlet calon ibu dan ibu muda. "Teni menguras tenaga saya, sampai saya jatuh sendiri," kata Lita. Di ruang ganti, Lita menangis sambil mencium tangan ayahnya. Ia minta maaf karena tak bisa mendapatkan medali emas.
Beberapa hari kemudian, Lita baru bisa tersenyum. "Mungkin Tuhan belum mengizinkan saya punya rumah sendiri," katanya. Ia memang gagal mendapat bonus Rp 40 juta yang disediakan Provinsi Jawa Tengah untuk peraih medali emas. Namun, sebagai peraih perak, ia memperoleh hadiah yang lumayan juga, Rp 15 juta.
Hawari
(atlet terbang layang)
Semangat Hawari, 67 tahun, untuk terus berprestasi tak pudar dimakan usia. Kakek enam cucu ini masih sanggup berlaga di cabang terbang layang, mewakili Jawa Tengah, pada PON di Palembang. Hasilnya pun luar biasa. Turun di nomor ketepatan mendarat perseorangan, ia berhasil menyabet medali emas.
Kendati kerap dipanggil "Mbah" oleh rekan-rekan juniornya, dia masih tampak segar. Giginya masih lengkap, genggaman tangannya pun masih kukuh. Tanpa kacamata, Hawari bahkan dapat menerbangkan pesawat schwitzer produksi 1969. Ia pun berhasil menyisihkan 18 atlet dari sepuluh provinsi lain untuk menjadi yang terbaik. "Bonusnya akan saya pakai untuk membeli kacamata fotogreen baru yang dapat berubah-ubah warna," katanya sambil terkekeh di antara debu Lapangan Terbang Sekayu, Banyuasin, Palembang.
Bakat Hawari diasah sejak 1964, saat ia masih berpangkat pembantu letnan dua di TNI Angkatan Udara. Ketika itu, ia mengikuti sekolah terbang layang di Panasan (sekarang Lapangan Terbang Adi Sumarno), Solo. Karena kelihaiannya, Hawari selalu tampil mewakili Jawa Tengah, dari PON VII sampai sekarang.
Untuk menjaga fisik, sampai sekarang, ia rajin bersepeda gunung setiap pagi sejauh 1,5 kilometer di daerahnya, Boyolali, Jawa Tengah. "Saya akan terbang sampai benar-benar tak mampu, sampai benar-benar dilarang dokter," katanya.
Andy Marhaendra, Juli Hantoro (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo