Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Demokrat dipastikan bakal dipecat. Gara-garanya mereka ingkar janji memenangkan Ahmad Heryawan, wakil Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk meraih kursi Ketua Dewan. Pemecatan itu bahkan langsung diminta oleh Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri partai itu.
Hanya ingkar janji? O, tidak! Ketua Umum Partai Demokrat Subur Budisantoso mendapat informasi anak buahnya ada yang menerima suap dalam proses pemilihan Ketua Dewan, Jumat pekan lalu. Mereka menerima uang agar melepaskan dukungannya pada Ahmad Heryawan. "Satu suara kabarnya dihargai Rp 100 juta," kata Budi.
Budi kemudian menggelar pengadilan untuk mengusut anak buahnya yang menerima sogokan, Sabtu pekan lalu. Pertemuan di kantor pusat Partai Demokrat itu ternyata belum berhasil menemukan tersangka. Padahal sekitar 10 anggota Partai Demokrat di DPRD DKI (dari jumlah 16 orang) yang hadir, mereka bersumpah tidak menerima suap.
Kegagalan Ahmad Heryawan meraih kursi Ketua DPRD DKI Jakarta memang mengejutkan. Ahmad diramalkan melenggang mulus meraih posisi Ketua Dewan sejak pelantikan bulan lalu. PKS yang meraih kursi terbanyak, 18 kursi, sebelumnya dipastikan mendapat dukungan dari Partai Demokrat yang menempatkan 16 wakilnya. Keyakinan ini karena pimpinan kedua partai telah menjalin koalisi menyokong pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke kursi presiden. Bahkan sepekan menjelang pemilihan Ketua Dewan, anggota Partai Demokrat sudah teken kontrak di atas meterai untuk menyerahkan suara mereka kepada Ahmad.
Pengkhianatan anggota Partai Demokrat itu tak bisa ditutup-tutupi setelah Ahmad Heryawan hanya meraih 30 suara dari 75 anggota Dewan. Padahal, jika jumlah suara kedua partai ini digabungkan, setidaknya mereka memperoleh 33 suara. Satu suara lagi untuk Ilal Ferhad, calon dari Fraksi Partai Demokrat untuk meraih posisi wakil ketua. Dari hitungan tersebut setidaknya tiga suara Partai Demokrat sudah pasti menyeberang.
Dari 30 suara yang didapat, PKS mengaku juga mendapat dukungan dari PAN, PKB, dan PBR. Dari ketiga partai ini, PKS mendapat kepastian paling sedikit enam suara. Jika perhitungan ini benar, jumlah anggota Partai Demokrat yang berkhianat bisa lebih dari sembilan orang. "Saya tidak memvonis, tapi secara logika di Partai Demokrat DKI, ada pengkhianatan dan pembelotan," kata Ahmad.
Ahmad akhirnya harus merelakan posisi Ketua Dewan kepada Ade Surapriatna, calon Golkar yang mendapat 42 suara. Padahal Golkar hanya memiliki tujuh kursi di Dewan. Sedangkan satu suara untuk Maringan Pangaribuan dari PDI Perjuangan, dan satu suara lagi tidak sah.
Para pengurus PKS mengaku harus makin hati-hati memberikan kepercayaan. Menurut seorang sumber di PKS yang menolak disebut namanya, sehari menjelang pemilihan mereka sudah melakukan pendekatan ulang kepada Partai Demokrat dan mengingatkan komitmen mereka. "Kami mencoba melakukan pendekatan yang manusiawi," kata sumber tersebut. Pertemuan di Hotel Arya Duta Jakarta itu, selain dihadiri anggota Dewan dari PKS dan Partai Demokrat, hadir pula beberapa anggota Dewan dari partai lain.
Meski terang-terangan dikibuli, Presiden PKS Hidayat Nur Wahid mengaku tidak akan mencabut dukungan mereka kepada SBY dan Jusuf Kalla. "Dukungan kami bukan soal barter kursi tetapi pada perubahan yang dibawa pasangan ini," kata Hidayat, Jumat sore pekan lalu.
Sementara Hidayat mengaku kecewa karena dikhianati, calon presiden Partai Demokrat, SBY, tak bisa menahan emosinya. Hari itu juga dia memimpin pertemuan dengan anggota Dewan dari Partai Demokrat. Dia memulai pertemuan dengan doa yang intinya, jika dari mereka ada yang mengkhianati perjuangan, dia berharap orang-orang itu nanti dihukum Tuhan.
SBY kemudian berpesan kepada pimpinan Partai Demokrat untuk memberhentikan anggotanya yang terbukti menerima suap. Kurang dari sepuluh menit kemudian SBY langsung meninggalkan pertemuan. "Beliau (SBY) sangat marah, dan menyerahkan masalah ini pada pimpinan partai untuk ditindak tegas," kata Budisantoso.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo