Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tuntaslah Ambisi Berl usconi

AC Milan akhirnya berhasil menjadi juara Liga Champions. Triliunan lira yang ditabur Silvio Berlusconi terbayar.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIADA hari tanpa bola di kepada Silvio Berlusconi. Setiap saat pikiran Perdana Menteri Italia yang juga Presiden AC Milan ini bisa melompat ke sepak bola, tak peduli tempat dan waktunya. Ini pula yang terjadi pada Februari lalu, saat dia menerima Perdana Menteri Portugal Jose Durao Barroso di Roma. Dalam sekian menit, Barroso sempat kikuk berbicara karena sang tuan rumah tidak didampingi penerjemah. Tapi buru-buru Berlusconi mencairkan suasana dengan berkata, "Saya tak memerlukan penerjemah. Saya mengerti bahasa Anda dengan baik. Sebab, saya sering berbincang dengan Manuel Rui Costa." Rui Costa tak lain adalah pemain asal Portugal yang bermain di AC Milan. Selain memiliki dia, klub ini punya lima pemain asal Brasil, yang berbahasa ibu Portugal. Mendengar celoteh sang tuan rumah, Barroso jadi kegirangan. Perbincangan politiknya dengan Berlusconi akhirnya berlangsung lancar. Begitulah Berlusconi. Di tengah kesibukannya mengurusi pemerintahan, dia tidak pernah bisa melupakan AC Milan. Itu sebabnya dirinya seperti kejatuhan bulan setelah klub ini mampu mengempaskan Juventus dalam final Liga Champions yang digelar di Manchester, Inggris, Rabu pekan silam. Apalagi gelar juara yang disabet lewat adu penalti ini merupakan yang keenam kalinya. "Ini merupakan kegembiraan yang luar biasa," katanya saat muncul di televisi. Hasrat sang presiden klub untuk mengangkat timnya setinggi langit terpenuhi. Soalnya, ke mana-mana, termasuk kepada Perdana Menteri Portugal tersebut, dia sudah telanjur membual: AC Milan saat ini merupakan tim yang terbaik. Bahkan, kata Berlusconi, tim ini paling mengkilat sekalipun dibandingkan dengan masa keemasan klub itu saat dipegang Arrigo Sacchi ataupun Fabio Cappello. Peran lelaki kelahiran Milan, 29 September 1936, ini memang luar biasa dalam klubnya. Saat final Liga Champions digelar, Berlusconi sengaja terbang ke Manchester untuk menemui anak buahnya. Di sana dia langsung berbincang-bincang dengan para pemainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Acara semacam ini bukan yang pertama kali. Dalam babak penyisihan lalu, saat Milan menundukkan juara bertahan Real Madrid, secara khusus dia menjamu Andriy Shevchenko—yang mencetak gol dalam pertandingan itu—untuk makan malam bersama. Jangan heran jika bekas bintang AC Milan, Ruud Gullit, 40 tahun, menilai sentuhan Berlusconi amat menentukan bagi keberhasilan klub itu. Apalagi sang bos amat ngotot menginginkan klubnya kembali meraih kejayaan seperti yang terjadi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Kala itu, di tangan dua pelatih Arrigo Sacchi dan Fabio Cappello, mereka lima kali menjadi juara Seri A. Gullit, yang kini bekerja untuk sebuah stasiun televisi di Belanda, pun mengaku masih mengagumi AC Milan. Soalnya, klub ini selalu bertabur kesuksesan. "Apalagi kalau Mister Berlusconi terus mengikuti perkembangan tim," katanya. Sang presiden berperan besar dalam soal pembelian pemain. Saking berpengaruhnya, ini jeleknya, terkadang dia ikut campur urusan taktik dan strategi bermain. Persiapan AC Milan untuk mengembalikan lagi era kejayaannya sudah dimulai sejak dua musim sebelumnya. Saat itu mereka memborong pemain terbaik dunia, seperti Manuel Rui Costa, yang dibeli dari klub Fiorentina seharga US$ 35 juta untuk kontrak selama lima tahun. Padahal, sebelumnya, mereka sudah memiliki Filippo Inzaghi, yang berasal Juventus, serta gelandang Andrea Pirlo, yang sebelumnya bermain di Inter Milan. Hasilnya? Memble. Dua tahun lalu, AC Milan cuma nongkrong di peringkat keempat klasemen akhir. Apesnya lagi, di akhir musim, musibah datang melanda sepak bola Italia. Banyak klub yang terbelit keuangannya. Milan pun kabarnya mengalami kerugian cukup besar. Tapi Berlusconi tak kapok. Di awal musim lalu, dia berbelanja pemain lebih gila lagi. Pemain belakang Alessandro Nesta dibelinya dari Lazio dengan banderol sekitar 30,2 juta euro. Rivaldo, bintang Piala Dunia 2002, pun dibawa ke klub yang bermarkas di San Siro ini. Padahal, sebelumnya, dia sudah mengumpulkan pemain andal seperti Jon Dahl Tomasson dari Feyenoord dan Clarence Seedorf dari Inter Milan. Semula hasilnya juga kurang memuaskan. Dalam kompetisi Seri A musim ini, posisi AC Milan justru terpuruk. Dihantam musuh bebuyutannya, Inter Milan dan Juventus, pasukan "Rossoneri" kelimpungan. Di akhir kompetisi, awal Mei lalu, pasukan itu cuma nongkrong di urutan ketiga. Untunglah nasib baik masih mau menghampirinya. Dalam final pertama Coppa Italia, AC Milan mampu mengandaskan tuan rumah AS Roma dan berpeluang besar merebut piala ini. Dan Piala Champions yang diangkat tinggi-tinggi oleh Paolo Maldini, kapten tim AC Milan, Rabu pekan lalu, membuat Berlusconi semakin tidak bisa melupakan sepak bola. Dia juga tidak peduli berapa triliun lira yang telah dikucurkan untuk membayar ambisinya. Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus