Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siapa Bersalah?

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita simpang-siur mulai mengalir dari medan pertempuran di Aceh pekan-pekan ini. Suatu hal yang memang tak terhindarkan. Setidaknya lebih dari 2.500 tahun yang lampau pun, seorang cendekia Yunani bernama Aeschylus telah menyatakan, "Dalam perang, korban pertamanya adalah kebenaran."

Informasi perang, harus diakui, memang sulit jernih. Termasuk berita penembakan tujuh pemuda Desa Mata Maplam, Kecamatan Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, dua pekan lalu. Pada awalnya wartawan kantor berita AFP, BBC, harian The Guardian, dan majalah Time yang melaporkan terjadinya pembantaian warga sipil oleh TNI. Mereka menulis pemberitaan itu berdasarkan keterangan penduduk desa yang mengaku menyaksikan peristiwa tersebut. Pihak TNI telah membantah tudingan ini dan menyatakan korban tewas adalah 10 anggota GAM yang tertembak saat kontak senjata.

Bila keterangan TNI benar, penewasan itu secara hukum dapat dibenarkan. Sebaliknya, bila kesaksian yang ditulis para wartawan asing itu yang akurat, penembakan ini adalah tindak pidana pembunuhan dan pelakunya harus diadili untuk mendapatkan hukuman sesuai dengan undang-undang.

Mana yang benar? Penelusuran wartawan majalah ini tentang peristiwa itu tidak berujung pada kesimpulan versi mana yang betul, melainkan justru mempertanyakan kesahihan informasi keduanya. Keterangan TNI, misalnya, patut dipertanyakan karena tak ditemukan senjata pada para korban yang tewas. Sebaliknya, pemberitaan berdasarkan kesaksian penduduk setempat perlu dikaji lebih dalam. Selain karena terdapat beberapa ketidak-konsistenan yang mengganggu di antara keterangan mereka, juga kuat dugaan bahwa penduduk desa ini umumnya bersimpati pada GAM, atau setidaknya diperkirakan tak suka dengan TNI.

Operasi militer antigerilya di daerah yang diduga bersimpati dengan pihak lawan seperti di Bireuen ini adalah kegiatan yang sulit. Karena itu, fakta banyaknya petinggi GAM yang berasal dari Pidie dikabarkan mengungsi ke daerah Bireuen kemungkinan besar memang dalam rangka menerapkan sebuah strategi yang sepatutnya diwaspadai para jenderal TNI. Sebab, menjelang macetnya perundingan damai pemerintah dengan GAM, mereka memberi tahu sejumlah wartawan dan peneliti asing tentang strategi mereka dalam menghadapi kemungkinan operasi militer TNI. Pada intinya, GAM sadar tak mungkin menghadapi operasi itu secara militer murni karena kekuatan persenjataan dan bala tentara sangat tidak imbang. Walhasil, strategi yang dipilih adalah memancing prajurit TNI agar melakukan pembantaian terhadap rakyat sipil Aceh, lalu menyebarluaskan berita pelanggaran hak asasi manusia itu ke seluruh dunia sebagai bukti kegiatan genosida oleh TNI. Bila dunia internasional percaya hal ini terjadi, intervensi kekuatan dunia pada perang Aceh akan menjadi keniscayaan.

Internasionalisasi konflik Aceh, jika sampai terjadi, akan mempertinggi kemungkinan lepasnya wilayah ini dari pangkuan Ibu Pertiwi. Karena itu, jika para jenderal TNI memang serius saat mengatakan tekadnya untuk mempertahankan keutuhan wilayah republik "sampai titik darah penghabisan", mereka harus memastikan para prajuritnya tak sampai terpancing melakukan aksi pembantaian yang berbau genosida. Untuk itu, aturan pelibatan (rule of engagement) pasukan dalam operasi militer di Aceh harus sesuai dengan standar internasional. Antara lain, petunjuk tertulis kapan prajurit boleh menembak lawan dan kapan tidak harus betul-betul dipahami semua jajaran pasukan, termasuk rincian sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap jenis pelanggaran. Mereka juga harus mengerti tentang hak menolak perintah atasan yang bertentangan dengan aturan itu.

Hal ini perlu dilakukan agar TNI tak mengulang pengalaman pahit tentara AS dalam melakukan operasi militer antigerilya. Karena aturan pelibatan tak dipahami sepenuhnya dan tak dijalankan secara konsisten di lapangan, satu kompi tentara Amerika membantai hampir 500 penduduk tak bersenjata di Desa My Lai, Vietnam Selatan, pada suatu pagi 16 Maret 1968. Kompi yang sedang dipenuhi dendam kesumat karena beberapa anggotanya gugur dan terluka akibat kegiatan Vietcong dua hari sebelumnya itu mendapat perintah tak terlalu jelas tentang apa yang boleh dan tak boleh dilakukan di kawasan yang, menurut laporan intelijen mereka, merupakan sarang tentara lawan. Akibatnya, mereka menjadi liar, melakukan pembunuhan terhadap wanita, orang tua, bahkan bayi-bayi, kendati tak pernah ada perlawanan seperti diperkirakan sebelumnya.

Kejadian ini merupakan aib besar bagi bangsa Amerika Serikat. Terutama setelah proses investigasi pemerintah dan jalannya pengadilan menunjukkan betapa tak memadainya sistem dan prosedur dalam militer AS untuk mencegah kegiatan biadab seperti di My Lai. Juga rendahnya semangat dan disiplin pasukan akibat proses seleksi yang berantakan.

Dengan pertimbangan itu, pada 1971, pengadilan militer AS hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada satu perwira saja. Letnan Satu William Calley yang terbukti sedikitnya membunuh 22 penduduk sipil, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun Presiden Nixon mengampuninya pada 1974.

Vonis pengadilan itu tentu mengecewakan kerabat para korban. Namun, dampak paling besar adalah perubahan sikap warga AS mengenai perang di kawasan Indocina. Dua pekan setelah vonis pada Letnan Calley dijatuhkan, jajak pendapat menunjukkan—untuk pertama kalinya—hilangnya dukungan mayoritas rakyat Amerika terhadap Perang Vietnam.

Kini, di Indonesia, upaya Presiden Megawati mempertahankan keutuhan wilayah RI sedang didukung mayoritas rakyat. Namun, bukan berarti kita tak perlu belajar dari pengalaman pahit My Lai. Operasi militer di Aceh perlu diawasi dan dikendalikan agar tak terjebak pada perangkap keji para pimpinan GAM. Maka, pers yang patriotik harus berani menjalankan peran ini—termasuk melaporkan apa yang terjadi di Desa Mata Maplam—kendati berisiko benturan dengan para petinggi TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus