Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Untuk Tanah Leluhur

Korea Utara melaju ke Piala Dunia di Afrika Selatan tahun depan. Mereka berlari dan terus berlari, tanpa ada skema latihan yang jelas.

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK muda itu sungguh kecewa. Tim leluhurnya gagal melangkah ke Piala Dunia di Jerman, empat tahun lalu. Di pertandingan akhir di Bangkok, Korea Utara kalah 0-2 oleh Jepang. Pertandingan ini dipindahkan setelah Pyongyang dihukum gara-gara botol beterbangan ke lapangan saat mereka bertanding melawan Iran.

Namun Jong Tae-se, anak muda itu, tak mau berlama-lama kecewa. Dia pun pergi ke kedutaan Korea Selatan, meminta kewarganegaraannya dicoret dan pindah ke bagian utara negeri itu. Permintaannya itu keruan saja ditolak. Hingga akhirnya Chongryon, paguyuban orang Korea Utara, menangkap kegelisahannya. Dengan secepat kilat, permohonan Jong pun mereka urus. Hasilnya, dia pun menyandang paspor baru. Jong Tae-se resmi menjadi warga negara Korea Utara pada 2006.

Pertengahan Juni lalu, kenekatan Jong Tae-se, kini 25 tahun, berbuah hasil. Pemain Kawasaki Frontale, klub Liga Jepang, itu berhasil membawa tim negeri leluhurnya, Korea Utara, melaju ke Piala Dunia di Afrika Selatan tahun depan. Cukup dengan berada di posisi runner up di grup B, persis di bawah Korea Selatan, mereka berhasil meraih sebuah tiket.

Dalam pertandingan melawan Arab Saudi di Stadion Raja Fahd, Riyadh, itu mereka sebetulnya kepayahan. Tim tuan rumah menguasai lapangan. Belum lagi suhu yang mencapai 40 derajat Celsius, yang membuat keringat meluncur tak henti-henti. Perjuangan makin berat setelah Kim Yong-jun, salah satu pemainnya, diusir dari lapangan. Tak ada jalan bagi Kim Jong-hun sang pelatih selain menyuruh timnya bertahan total. Pertandingan pun berakhir imbang 0-0.

”Saat menjaga gawang, rasanya seperti tengah menjaga gerbang tanah airku,” kata Ri Myong-guk, si penjaga gawang. Tanah air, itulah yang ada di dada mereka. Semangat yang persis dimiliki para senior mereka saat tampil di Piala Dunia 1966. Di Ayresome Park, Middlesborough, Pak Doo-ik dan kawan-kawannya menistakan Italia dengan skor 1-0. Kekalahan ini membuat tim Azzuri disambut lemparan tomat sepulang dari Inggris.

Mereka pun hampir membuat sejarah lain ketika unggul 3-0 atas Portugal. Sayangnya, kemenangan di depan mata sirna. Eusebio, bintang Portugal asal Mozambik, tampil kesetanan dan berhasil membalikkan keadaan menjadi 3-5. Tapi Pak Doo-ik dan teman-temanya pulang kampung dengan kepala tegak.

Sejak itu, prestasi Korea Utara ambles. Sampai akhirnya, pada 1994, pemimpin besar Korea Utara Kim Il-sung menarik diri dari semua kegiatan kualifikasi internasional. Mereka sempat tampil di Asian Games di Bangkok, sebelum akhirnya kembali tampil di kualifikasi Piala Dunia 2006. Tapi, ya itu, hasilnya tidak menggembirakan. Mereka hanya berada di posisi terbawah.

Sebenarnya, di negeri itu sepak bola merupakan olahraga rakyat yang paling digemari. Tapi, gara-gara rezim komunis yang tetap bercokol sampai sekarang, sepak bola di sana seperti mandek. Pemainnya dilarang bermain di luar negeri. Tak mengherankan bila kendati berhasil lolos ke Piala Dunia 2010, mereka hanya berada di urutan 106 dalam peringkat FIFA.

Parahnya lagi, Kim Jong-il kerap mencampuri urusan sepak bola, termasuk ketika mereka bertanding. Kim tak ragu menelepon pelatih untuk melakukan titahnya. Jangankan itu, televisi negara pun termasuk pelit dalam menyiarkan olahraga, bahkan ketika pemain mereka berlaga di pertandingan internasional.

Tapi Korea Utara tidaklah bangkrut. Masuk milenium baru, mereka mencoba bangkit. Hasilnya langsung kelihatan: tim nasional sepak bola perempuan negeri ini beroleh hasil gemilang. Pada 2006, mereka meraih gelar juara dunia wanita di bawah 20 tahun. Dua tahun berikutnya, giliran adik-adik mereka yang sukses dalam kejuaraan dunia di bawah usia 17 tahun.

Apa resep sukses mereka? Park Tae-woon, jurnalis olahraga asal Seoul, menganggap keberhasilan itu muncul akibat latihan yang keras yang dilakukan kesebelasan negara tetangganya itu. ”Mereka memanggil para pemainnya untuk dilatih dalam waktu yang panjang, paling tidak selama setahun,” katanya. Bentuk latihannya mengikuti gaya militer. ”Berlari, berlari, tanpa ada skema latihan yang jelas,” katanya lagi.

Namun hasilnya sungguh luar biasa. Korea Utara boleh jadi merupakan tim yang memiliki kerja sama dan stamina yang luar biasa. ”Barangkali yang terbaik di dunia,” kata Park. Lebih dari separuh pemain tim nasional Korea Utara berasal dari klub 4.25 Sports Group, yang tak lain merupakan tim tentara.

Langkah lainnya adalah mulai dibukanya tirai bagi pemain sepak bola. Meski tak banyak dan hanya bermain di liga kelas dua, mereka mengizinkan pemainnya bermain di luar negeri. Mereka antara lain Hong Yong-jo, yang bermain untuk klub Rostov di Rusia. Lalu ada juga Pak Chol-ryong dan Kim Kuk-jin, yang bermain untuk FC Concordia Basel, anggota Divisi 2 Liga Swiss. Keduanya masih berusia 20 tahun. Hasilnya tidaklah buruk. ”Paling tidak sampai saat ini mereka bermain dengan baik,” kata Angelo Korti, direktur teknik klub itu.

Namun yang paling istimewa tak ada lagi kecuali datangnya pemain macam Jong Tae-se. Datangnya Chong Tese, namanya di Jepang, menjadi berkah yang tak terkira. Penampilan pemain yang disebut Wayne Rooney Asia, karena pembawaan dan perangainya mirip dengan bintang Manchester United yang tak kenal menyerah itu, tak pelak membawa tambahan kekuatan bagi timnya. ”Mereka memiliki kemampuan individual yang luar biasa,” kata Jong merendah.

Jong Tae-se tidaklah sendiri. Di skuad ini masih ada Ahn Yon-hak, 30 tahun, pemain yang cemerlang di Suwon Samsung di Liga Korea, yang juga memilih bertanding membela Korea Utara.

Anak-anak muda ini memang unik. Kakek dan nenek mereka pergi dari Korea Utara menyusul berbagai konflik yang terjadi pada saat Perang Dunia II, yang kemudian dilanjutkan dengan perang saudara yang bermuara pada terbelahnya negeri ini menjadi dua. Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang kapitalis.

Jumlah mereka tidak sedikit. Menurut catatan biro imigrasi Jepang, hingga 2007 jumlah mereka mencapai lebih dari 500 ribu orang. Mereka tergolong terbesar dari kelompok minoritas di negeri itu. Mereka dikenal dengan Zainichi atau orang-orang Korea yang tinggal di Jepang.

Lazimnya kelompok pendatang, mereka pun tergolong guyub dengan sesamanya. Chongryon, singkatan dari perkumpulan Korea di Jepang, merupakan salah satu perkumpulan yang kuat. Mereka mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak Korea di Jepang. Nah, Jong Tae-se adalah salah satu muridnya. Dia merupakan lulusan Sekolah Chosun yang tak lain dibiayai oleh pemerintah Korea Utara.

Kemewahan dan kebebasan yang diperolehnya di Jepang ternyata tidak membuat Jong Tae-se dan yang lainnya kehilangan obor. Ajaran yang didapatkan di sekolahnya, dan tentu saja di rumah, tetap membentuk watak dan kecintaannya pada tanah leluhurnya.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus