Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Setelah Satu Dasawarsa

Majalah Prisma terbit lagi. Menawarkan ruang dialog yang menyuburkan gagasan, dan lebih membuka diri untuk pemikir daerah.

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Coba ketik ”majalah prisma” di mesin pencari Google. Langsung muncul informasi, ekonom Faisal Basri tertarik belajar ekonomi setelah membaca Prisma. Ini menunjukkan kuatnya pengaruh majalah keluaran Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu di masa jayanya, yaitu pada 1980-an. Dan masih banyak ”Faisal” lain. Sayang, peran itu memudar menyusul terpuruknya Prisma hingga stop terbit pada 1998.

Selama Prisma berhenti, para aktivis LP3ES menyimpan kegelisahan. ”Kami selalu merasa terteror,” kata Pemimpin Redaksi Prisma Daniel Dhakidae, setiap kali ditanya kapan Prisma terbit lagi. Akhirnya, ”teror” itu dijawab di Hotel Santika, Jakarta, 17 Juni lalu. Prisma terbit kembali. Edisi perdananya bertajuk ”Senjakala Kapitalisme & Krisis Demokrasi”. Majalah setebal 120 halaman itu terdiri atas sembilan tulisan dan petikan dialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kembalinya Prisma ini sebenarnya sudah menjadi buah obsesi bertahun-tahun. Salah satunya karena kurangnya ruang debat publik yang mendalam dan melampaui lintas batas. Hingga setahun lalu, proposal final format Prisma baru dirumuskan. Beberapa perguruan tinggi ditawari kerja sama, tapi gagal. Akhirnya terbentuklah konsorsium kecil untuk mengelolanya, dengan modal sepenuhnya dari dalam negeri. ”Dulu Prisma muncul karena tidak ada jurnal, sekarang muncul lagi karena kebanyakan forum debat,” kata Daniel.

Dulu Prisma memang satu-satunya jurnal sosial ekonomi. Saat awal terbit pada November 1971, Prisma menjadi majalah dwibulanan setebal 52 halaman. Setahun kemudian menjadi 92 halaman. Dari terjual sekitar 1.000 eksemplar, lima tahun berlipat menjadi 6.500 eksemplar. Prisma lalu menjadi majalah bulanan.

Pada edisi Agustus 1977, bertajuk ”Manusia dalam Kemelut Sejarah”, Prisma mencatat penjualan terlaris, hingga 25 ribu eksemplar. Di dalamnya ada biografi sejumlah tokoh kontroversial di masa itu, seperti Soekarno dan Tan Malaka. Pada edisi lain, ditampilkan pula tokoh kontroversial seperti C. Simanjuntak, Kartosuwiryo, dan Oerip Soemohardjo.

Prisma juga menerima tulisan dari mantan tahanan politik Pulau Buru, kecuali Pramoedya Ananta Toer karena terlalu frontal. Tapi itu sudah cukup membuat penguasa Orde Baru gerah. Pada 1983, penggiat Prisma, seperti Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, dan Daniel Dhakidae, diinterogasi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dengan tuduhan menghidupkan kembali komunisme.

Prisma mulai terpuruk pada 1990-an. Terimbas krisis, jadwal terbit tidak teratur dan tiras melorot hingga 400 eksemplar. Edisi November 1998 menutup kehadiran Prisma. Dalam buku kenangan 30 tahun LP3ES, Daniel berkelakar: Orde Baru mati, Prisma mati. Selesai pula tugasnya mengkritik.

Prisma baru punya gaya baru. Selain tetap kritis, Prisma baru menyediakan ruang lebih besar untuk pemikir-pemikir daerah. Terlihat dalam edisi perdana ada laporan soal Aceh yang ditulis M. Rizwan H. Ali dan Nezar Patria—keduanya asli Aceh. ”Harus disadari orang daerah yang tahu persis daerahnya,” kata Daniel.

Mengimbangi gerak zaman, Prisma juga akan tampil online. ”Agar mudah diakses banyak orang,” kata Daniel. Sedangkan periode terbitnya tiga bulan sekali, paling cepat nantinya dua bulan sekali, tak akan mengulang menjadi bulanan. ”Takut mengorbankan kualitas,” kata Daniel.

Tentu saja banyak kalangan menyambut kembalinya Prisma. Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri, misalnya, berharap Prisma bisa menyumbangkan bacaan berkualitas. Deputi Direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi Agus Sudibyo, yang menjadi salah satu penulis edisi ini, berkata senada. ”Prisma sangat dibutuhkan dalam situasi krisis intelektual sekarang,” ujarnya.

Dia mengingatkan, pengelola harus memberikan perhatian serius pada sisi bisnis. ”Di dunia media, membuat produk bagus adalah satu hal, tapi pekerjaan nonproduksi adalah hal lain yang sama penting.” Barang bagus tak laku jual bisa cepat gulung tikar.

Harun Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus