AWAL menuju tenis profesional modern nyaris terkubur di Jakarta. Tapi masih ada PT Adi Nawaeka. Jika tidak, kejuaraan yang dirintis dengan susah payah oleh PB Persatuan Lawn Tennis Indonesia (Pelti) untuk memperebutkan Piala Presiden Soeharto itu -- dan sudah jadi kalender tetap ATP (Asosiasi Tenis Profesional Dunia) Tour -- bisa lenyap dari sini. Jadi, Indonesia Terbuka 1994 tetap digelar di Jakarta, pekan ini. Hanya, kejuaraan berhadiah US$ 300 ribu yang minimal diikuti 23 petenis berperingkat 100 dunia ke bawah ini tidak lagi diselenggarakan Spectrum -- perusahaan promosi internasional yang berpusat di Hong Kong. Hak penyelenggaraannya sudah dialihkan. Itu tak lain karena aturan baru ATP Tour. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa setiap impresario hanya boleh menyelenggarakan lima turnamen. Spectrum sudah mengantongi hak enam turnamen ATP: di Kuala Lumpur, Beijing, Taipei, Hong Kong, Osaka, dan Jakarta. Maka, mau tak mau, turnamen di Jakarta dilepaskannya. Dan bisa saja Spectrum menjualnya ke sponsor lain. Itulah yang membuat PB Pelti bingung. Maka, April silam, Moerdiono, sebagai Ketua Kehormatan PB Pelti, bersama Bambang Trihatmodjo, Pontjo Sutowo, Usman Admajaya, Pieter Gontha, Irwan Darmawan, Dali Sofari, Ralie Siregar, dan Eddy Katimansah membentuk PT Adi Nawaeka. PT ini dimaksudkan untuk menggantikan peran Spectrum. PT Adi lalu merangkul Asia Pro Tennis Company untuk bekerja sama. Sponsor yang berkedudukan di Hong Kong ini penyelenggara Women Challenger dan Junior Reebok Tournament di Kuala Lumpur. Hitung punya hitung, ternyata, untuk mengambil alih hak turnaman saja, perlu US$ 1 juta. Belum lagi menyediakan total hadiah US$ 300 ribu, uang transfer US$ 300 ribu, sanction fee US$ 50 ribu, dan uang tampil petenis. PT Adi, yang baru pertama kali terlibat menyelenggarakan turnamen tingkat dunia, lalu menggelar ide dengan menampilkan "Michael versus Michael" dalam Indonesia Terbuka 1994 ini. Maksudnya, petenis AS, Michael Chang, diadu dengan petenis Jerman, Michael Stich, agar turnamen ini berciri khas. Ternyata, Stich lebih memilih Turnamen Qatar, yang berhadiah total US$ 500 ribu, daripada Indonesia Terbuka 1994. Selain hadiah, uang tampil di Qatar juga besar. Kabarnya, petenis kelompok lima besar dunia masing-masing menerima uang tampil sekitar US$ 500 ribu. Jadi, semakin tinggi total hadiah yang diperebutkan, semakin membengkak pula uang tampilnya. Uang tampil yang bersifat tak resmi -- kendati lazim -- terutama ditangguk oleh petenis berperingkat sepuluh besar. Ternyata, agen Michael Chang, Advantage, minta uang tampil di Indonesia Terbuka 1994 sebesar US$ 250 ribu. Tahun lalu, ia mendapat uang tampil US$ 225 ribu. Jumlah itu membuat PT Adi kaget. Partnernya, yang menanggung 50% biaya penyelenggaraan (kabarnya, total biaya penyelenggaraan kali ini US$ 2,5 juta), juga kurang setuju atas jumlah tersebut. Belakangan, karena uang tampil sebesar itu dianggap wajar, permintaan Advantage diluluskan. Maka, Chang, 26 tahun, kini peringkat delapan besar dunia, dipastikan hadir di Jakarta. Separuh uang tampil sudah dikantonginya, dan sebagian lagi diberikan saat ia tiba di Jakarta. "Kalau Chang mendadak sakit dan tidak bisa main setelah tiba di Jakarta, ya, itu rezeki dia. Paling dia hanya minta maaf kepada publik dan sponsor," kata Eddy Katimansah. Petenis dengan peringkat di bawah Chang yang bakal tampil di Jakarta adalah Paul Haarhuis dari Belanda, peringkat 42. Beda peringkat yang mencolok itu oleh pengamat tenis dianggap kurang memberi gereget turnamen ini. Tahun lalu, di final, Chang bertemu dengan petenis Jerman, Carl-Uwe Steeb, peringkat 29 dunia. Chang menggondol Piala Presiden dan hadiah uang sekitar Rp 80 juta. Turnamen Indonesia Terbuka 1994 baru dimulai pekan ini. Tapi Eddy Katimansah, Sekjen PB Pelti yang juga pengarah turnamen, sudah banyak mengeluh atas minimnya fasilitas pendukung di Senayan. "Bagaimana mau profesional, kami minta dua saluran telepon saja sampai saat ini (empat hari menjelang turnamen) belum terpasang," katanya. Di luar itu, diakuinya bahwa penyelenggaraan ini dadakan. Maklum, pengalihan hak itu baru disahkan November lalu. "Praktis kami hanya punya waktu dua bulan menyiapkan turnamen ini," kata Eddy. Sponsor pun minim. Walau begitu, turnamen ini bernilai tambah besar. Sebab, kejuaraan ini ditayangkan dalam program mingguan ATP Hilights yang disiarkan televisi ke seluruh dunia. Satu hal lagi yang patut dicatat sebelum turnamen ini kelar adalah langkah panjang pihak PT Adi. Boy Guritno, Direktur PT Adi Nawaeka, memunculkan rencana membuat sebuah kompleks tenis setara markas ATP di Ponti Vedra, Amerika. Lokasi sudah ditetapkan di Nusa Dua, Bali. Di situ akan dibangun stadion beratap dan berkapasitas sekitar 10 ribu penonton, plus lapangan pendukung di sekitarnya sebanyak 20 buah. "Beberapa pengusaha sudah mulai menjajaki kemungkinan kerja sama dengan kami," kata Boy. Modal dasar sudah ditetapkan Rp 1 miliar. Selebihnya akan dicari dari bank. Dan jika memungkinkan, nantinya, Indonesia Terbuka akan dialihkan ke sana. "Bali itu bakal menjadi semacam warming-up ke Australia Terbuka," kata Boy. Boy yakin, Bali sebagai pusat wisatawan berprospek bagus. Tapi Kevin Livesey, Direktur Asia Pro Tennis Company, belum berani meramal. "Ini baru pertama kali bagi kami. Jadi, harus dilihat dulu hasilnya. Sekarang masih terlalu pagi. Setelah kami selenggarakan, baru kita pilih, tetap di Jakarta atau dialihkan," kata Livesey.Widi Yarmanto dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini