Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mochtar apin yang selalu mencari

Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu, karyanya tak satu gaya. pelopor seni grafis Indonesia ini meninggal dua pekan lalu.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAIMANA umumnya seniman Indonesia yang mengalami tiga zaman, Mochtar Apin membuat juga karya-karya perjuangan. Dan karyanya khas: berupa karya grafis, tepatnya karya cukilan lino. Dan pada tahun 1946, untuk memperingati setahun kemerdekaan Republik Indonesia, karya grafis Mochtar bersama karya pelukis Baharauddin M.S. diterbitkan dalam sebuah kumpulan oleh Seksi Perhubungan Luar Negeri Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda. Agaknya, itulah buku seni grafis pertama di Indonesia. Dan memang, kemudian Mochtar Apin dikenal sebagai pelopor seni grafis di Indonesia. Dia juga yang mendirikan Studio Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Tapi, umumnya, khalayak mengenal Mochtar Apin sebagai pelukis. Dan sebagai pelukis, ia bergerak dari satu gaya ke gaya yang lain. Tapi begitulah Mochtar Apin, yang menurut almarhum Sanento Yuliman adalah perupa yang mencoba "memecahkan masalah dalam perkembangan dialekstis," dan bukannya memfokuskan diri pada "pemekaran (sebuah) gaya". Perupa yang selalu bereksperimen dan memandang hidup adalah "mencari masalah dan menyelesaikannya, dan yang serbabaru dan menantang harus diciptakan secara terus-menerus" inilah Sabtu dua pekan lalu, dalam usia 70 tahun, meninggal dunia di Bandung. Ia meninggal ketika sebuah pameran terbatasnya tengah berlangsung di Galeri Kafe, Jakarta. Pameran yang hanya mengetengahkan karya Apin tahun 1990-1993 itu -- seluruhnya mengambil objek wanita, dan hampir semuanya wanita telanjang -- baru berakhir awal pekan ini. Dalam pameran itu tampak Mochtar Apin sangat menguasai medium yang ia pilih: cat minyak atau akrilik pada kanvas. Wanita pada kanvasnya yang sedang duduk termangu, tertidur, berkaca, bersenam, menyusui bayi, dihadirkan dalam anatomi yang sangat pas, berlatar hijau atau merah. Ada erotisme di situ, juga seksualitas, kesuburan, juga kegenitan. Perupa kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, 23 Desember 1923 ini dalam usia yang sangat muda telah berkenalan dengan lukisan cat minyak. Waktu di bangku SMP secara intensif dibimbing pelukis Belanda H.V. Velthuyzen. Gurunya yang lain adalah Pelukis Soebanto Soeryosoebandrio. Dan, pada usia 18 tahun, Apin sempat bergabung dalam Persagi, organisasi seni rupa Indonesia pertama yang mengonsepkan seni rupa modern Indonesia. Pada tahun 1948, Apin, yang ketika itu sudah menjadi pelukis profesional, belajar seni rupa di ITB atas tawaran Simon Admiral -- seorang pendidik di peguruan itu. Di sini, Apin berkenalan dengan Ries Mulder dan gaya kubisme. Di sini, kesadaran baru memandang objek menambah perbendaharaan estetik Apin: memandang secara analitis, bukan hanya komprehensif. Lahirlah karya-karya yang membagi-bagi bentuk menjadi bidang- bidang geometris. Tiga tahun kemudian, karena prestasinya yang baik, Apin mendapat beasiswa untuk belajar seni rupa modern di Kunstnijverheideschool, Amsterdam, Ecole Nationale Superieure des Beaux Arts, Paris, dan Akademie der Kunste, Berlin. Apin segera bergabung dalam kelompok pelukis modern abstrak, Realite Nouvelle. Dia sendiri sempat berpameran tunggal di galeri yang cukup bergengsi di Paris -- kesempatan yang sukar didapatkan seniman pendatang ketika itu. Pada tahun 1959, Apin pulang ke Indonesia dan mengajar di Seni Rupa ITB. Sebagai pendidik, Apin adalah guru yang lebih banyak menonjolkan kesenimanannya. "Proses belajar lebih banyak diserahkan kepada tanggung jawab pribadi si mahasiswa," kata Kaboel Soeadi, salah satu murid Apin yang mengembangkan grafis modern. Semangat modernisme memang dihayati oleh Mochtar Apin. Ia selalu mencoba menemukan "yang baru". Sejumlah eksperimen dilakukannya. Tidak puas berekspresi pada bidang dua dimensional, Apin merambah ke bahan fleksiglas berbentuk tiga dimensi. Pada waktu yang lain, dia mengubah jam dinding menjadi karya seni yang komposisi warnanya bisa berubah setiap detik. Beberapa waktu lalu, ia mendiskusikan karya instalasi dengan Pematung Rita Widagdo. Katanya, mungkin karya instalasi mencerminkan suatu kemajuan, tapi bisa juga sebaliknya, suatu kemunduran. Sayang, ia tak sempat hadir dalam diskusi seni rupa di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada awal pekan ini, yang antara lain membahas kecenderungan mutakhir seni rupa kita itu. Sabtu dua pekan lalu napasnya sesak karena komplikasi penyakit jantung, asma, dan pencernaan yang sudah dideritanya dalam beberapa bulan terakhir ini. Sebelum mencapai gerbang Rumah Sakit Boromeus, Apin telah lebih dulu pergi ke alam lain, sekitar pukul 13.30 WIB. Di kamar studionya, selain buku-buku filsafat dan seni rupa, bertumpuk sejumlah koran yang belum selesai dikliping. Di bagian lain, sejumlah sketsa dan puluhan lukisan akrilik, lukisan yang baru dikerjakan setengah jadi, berjajar. Itu semua saksi, ada cita-cita Mochtar Apin yang belum sempat terlaksana: menulis buku seni rupa modern Indonesia, membangun galeri, dan mendirikan Graphic Society.Asikin (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus