Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Utang Emas Dibayar Lunas

Indonesia kembali meraih medali emas Olimpiade lewat cabang bulu tangkis. Persiapan maksimal dan kekuatan mental menjadi rahasia keberhasilan Tontowi-Liliyana.

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RICHARD Mainaky sejak awal tahu betul strategi apa yang bisa membuat anak asuhnya, Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, sukses di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Bahkan, sejak sebelum berangkat ke Rio, Rexy Mainaky, adiknya yang menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI), juga berkali-kali mengingatkan strategi itu. Apa itu? Liliyana harus lebih banyak memberikan bola datar di depan net, lalu dari belakang Tontowi menghajar bola yang muncul dengan smes-smes tajam.

Itulah strategi ideal bagi keduanya. "Sebab, bola belakang Tontowi memang sedang bagus. Serangannya mematikan," ujar Richard melalui sambungan telepon dari Rio de Janeiro, Kamis pekan lalu. Nyatanya, di lapangan, keadaan kerap tak terduga. Pasangan ganda campuran terbaik Indonesia itu mampu lolos ke final tanpa kehilangan satu game pun. Tapi, di partai puncak, di Riocentro, Rabu pekan lalu, keduanya sempat kehilangan konsentrasi dan melupakan strategi yang sudah direncanakan itu saat menghadapi pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying.

Mampu mendikte lawan pada game pertama dan menang 21-14, keduanya sempat tegang di game kedua. Richard menyebut anak asuhnya "kecolongan". Liliyana terlalu tegang hingga dia kehilangan pola bermain yang sudah ditentukan. Gara-gara itu, lawan bisa memangkas selisih poin hingga dua, 11-9. "Maka, saat jeda di tengah game kedua, saya ingatkan lagi untuk kembali ke pola permainan," tutur Richard.

Liliyana pun mengakui hal ini. Atlet 30 tahun itu mengatakan dia sempat terpancing dan terburu-buru. Ia merasa tekanan di Olimpiade memang luar biasa. "Walaupun sudah berpengalaman bermain di Olimpiade, pasti ada beban. Tekanan tinggi. Apalagi kami tinggal sendiri, dan hari itu adalah hari kemerdekaan Indonesia," ujar Liliyana, dalam rilis pers PBSI. "Perasaan kami campur aduk."

Untungnya ada pelatih yang mendampingi di pinggir lapangan. Butet-julukan Liliyana-juga punya partner yang selalu menyemangati: Tontowi atau Owi. "Saat itu Owi berkata kepada saya, 'Enggak apa-apa, Ci, saya siap mem-back-up di belakang. Ci Butet tenang saja menjaga di depan. Permainan depan Cici lebih unggul'," tutur Liliyana menirukan pasangannya itu. "Kata-kata Owi ini membuat saya semakin bersemangat dan percaya diri."

Mereka akhirnya kembali ke pola awal dan mampu memenangi game kedua dengan 21-12. Keduanya berhasil mempersembahkan emas buat Indonesia, melengkapi dua medali perak yang sebelumnya diraih di cabang angkat besi. "Saya lega, bangga, dan senang," ujar Liliyana. "Kami berutang medali emas saat di London. Sekarang langsung kami bayar utangnya."

Utang emas yang dimaksud Liliyana adalah kegagalan dia dan Tontowi di Olimpiade London 2012. Saat itu mereka juga menjadi harapan semata wayang Indonesia untuk meneruskan tradisi medali emas setelah menjadi satu-satunya wakil Indonesia di semifinal. Namun mereka dikalahkan Xu Chen/Ma Jin dari Cina. Kemudian Tontowi/Liliyana juga dikalahkan pasangan Denmark dalam perebutan medali perunggu. Kegagalan mereka tak hanya membuat tradisi emas Indonesia lepas, cabang bulu tangkis bahkan harus pulang tanpa membawa medali.

Richard mengatakan sudah yakin bahwa Tontowi/Liliyana bisa meraih emas sejak mereka mampu mengalahkan unggulan pertama Zhang Nan/Zhao Yunlei dari Cina di babak semifinal. "Orang lain juga menilai penampilan Tontowi/Liliyana di semifinal sangat baik. Selama di Brasil, penampilan mereka memang sangat konsisten, kualitas sangat kelihatan," katanya.

Penampilan seperti itu merupakan buah dari persiapan maksimal yang sudah dijalani sejak mereka menjalani karantina di Kudus, Jawa Tengah, mulai 11 Juli hingga 17 Juli 2016. Richard menjelaskan, mereka membuat situasi di Kudus semirip mungkin dengan di Rio. "Pagi latihan, lalu kembali ke mes, lalu siang latihan lagi, kembali ke mes, kemudian malam latihan lagi," tuturnya. "Di Rio juga seperti itu. Pagi latihan, kemudian kembali ke wisma atlet, menjalani pertandingan, makan, lalu kembali lagi ke wisma. Di Kudus, kami menganalisis lawan dan selalu menjalani sparring. Di Rio juga begitu."

Saat berada di karantina, menurut Richard, latihan mereka lebih berat daripada di pelatnas Cipayung. Mereka melakukan sparring dengan hanya berfokus pada pasangan yang pergi ke Olimpiade, Praveen Jordan/Debby Susanto. Padahal, kalau di Cipayung, dalam dua jam ada lima pasangan yang melakukan sparring. "Jadi ini benar-benar melelahkan. Saya dan Nova (Nova Widianto, asisten Richard) saja sampai capek. Jadi tekanan pertandingan sudah disimulasikan sejak di Kudus," ujarnya.

Kembali dari Kudus, semua pemain ganda campuran dan pelatih harus mengatasi rasa capek dan ketegangan selama 10 hari di Jakarta sebelum tim berangkat ke Brasil. Untuk membantu para atlet, istri Richard juga punya cara tersendiri. Para atlet kebetulan suka masakan Manado. Masakan ikan woku atau ayam garo rica menjadi hiburan bagi para atlet di sela latihan yang melelahkan. "Istri saya beberapa kali memasak makanan itu dan membawanya ke Cipayung," kata Richard.

Richard mengatakan ia melihat perubahan pada Liliyana yang membuatnya kian optimistis. Pemain senior ini, misalnya, selalu meminta porsi latihan yang sama dengan juniornya, Tontowi, Praveen, dan Debby. "Padahal biasanya tidak begitu," kata Richard. "Misalnya soal circuit drilling. Kalau biasanya tiga ronde, dia minta empat. Di stroke drilling juga. Kadang saya bilang cukup, dia yang bilang belum."

Richard menduga gairah besar Liliyana didorong oleh motivasi untuk merebut emas Olimpiade yang belum pernah diraihnya. "Mungkin selama ini dia jenuh juara terus di turnamen internasional. Tapi ini Olimpiade, yang belum pernah ia juarai," katanya. "Jadi dia seperti kembali menemukan semangat baru." Sebelumnya, Liliyana, dengan pasangan berbeda, memang sudah meraih banyak gelar juara, termasuk kejuaraan Asia, Kejuaraan Dunia, dan sederet trofi turnamen bergengsi super series.

Kini ia berhasil menyempurnakan deretan gelarnya itu dengan sebuah emas Olimpiade. Liliyana dan Tontowi pun berhak atas bonus Rp 5 miliar dari pemerintah. Tapi bukan bayangan soal bonus itu yang membuat keduanya merasa spesial. Emas itu bisa mereka raih tepat pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia. "Saya enggak bisa berkata-kata. Luar biasa rasanya. Ini saya persembahkan untuk hari kemerdekaan Republik Indonesia," kata Tontowi.

Gadi Makitan


Sejarah Emas Bulu Tangkis di Olimpiade

Bulu tangkis baru dipertandingkan di Olimpiade pada 1992. Di arena pertama itu, Indonesia langsung meraih medali emas. Berikut ini daftar perolehan emas bulu tangkis.

OlimpiadeEmas
1992 Barcelona2
1996 Atlanta1
2000 Sydney1
2004 Athena1
2008 Beijing1
2012 London-
2016 Rio de Janeiro1

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus