Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAMALOGE membawa gambus dan sapek. Dua instrumen itu biasa dimainkan suku Paser di Berau, Kalimantan Timur, dalam ritual kesuburan. Penonton di Taman Krida Budaya Malang, Jawa Timur, bersorak-sorai tatkala Jamaloge berdiri dan menari mengenakan baju upak khas suku Paser, lengkap dengan ikat kepala belaong, yang berbahan dasar bulu merak Kalimantan.
Itulah salah satu penampil dalam Festival Dawai 2 di Malang (12-14 Agustus). Festival ini menyajikan berbagai musikus yang bertolak dari dawai, khususnya dawai Nusantara. Penggagas festival, aktivis musik Redy Eko Prasetyo, mengatakan secara historis musik dawai pernah dikenal di Malang. Di Candi Jago, Malang, terdapat relief Kunjarakarna, yang salah satunya bergambar gandharwa (bidadari) memainkan alat petik bernama waditra. Tangan kiri memegang tangkai waditra, sedangkan tangan kanan memetik dawai.
"Relief itu memberi informasi bentuk dan cara memainkan waditra. Tangkainya menyerupai busur panah dengan dua resonator tambahan berbentuk separuh buah labu," kata arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. Waditra diperkirakan alat musik mirip wina yang berkembang dari instrumen India, bin. Di Malang, waditra diperkirakan dipergunakan pada masa Hindu-Buddha abad ke-10-16. Dwi tak mengetahui pasti kenapa waditra punah tak ditemukan jejaknya. "Mungkin, saat Islam masuk, tak ada lagi yang memainkannya," ujarnya.
Adapun festival ini melibatkan para musikus yang memainkan alat dawai sebagaimana dalam tradisi dan membawakannya untuk sebuah komposisi modern. Ganzer dari Nusa Tenggara Timur, bersama kelompok sasandonya, misalnya, menggunakan beberapa sasando—alat musik khas Pulau Rote—untuk sebuah blues. Misbach Daeng Bilok malah membawa alat musik angin sendaren atau sawangan, yang biasa dipasang di layang-layang, untuk menghasilkan bunyi dari embusan angin. "Sendaren bisa digunakan untuk mengusir hama, ramah lingkungan," kata pria kelahiran Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, ini. Sendaren dimainkan dengan gerak seperti menebas alang-alang dan mendayung.
Etnomusikolog pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap, mengatakan bentuk instrumen dawai Nusantara mayoritas resonatornya berbentuk seperti sampan. Keunikan instrumen seperti ini, menurut dia, kebanyakan hanya memiliki satu dan dua senar string. Itu berbeda dengan alat musik dawai Barat, yang selalu memiliki empat senar atau lebih. Bagi Irwansyah, instrumen dawai Nusantara merupakan tipologi alat petik paling tua. Tangga nada pentatonik atau lima not per oktaf juga hanya ditemukan di Nusantara.
Hartoyo Hardjo Soewito, atau yang dikenal sebagai Yoyok Harness, dalam kesempatan itu juga menyajikan sitar dan purwarupa instrumen dawai ciptaannya sendiri. Yoyok pernah mengambil kuliah jurusan antropologi musik di Karnataka University, Dharwad; dan Halim Academy of Sitar, Mumbai, India. Menurut Yoyok, dibutuhkan waktu setahun untuk membuat purwarupa dengan kualitas suara yang bagus. Untuk membuat sitar, Yoyok belajar ilmu rancang bangun instrumen dari seorang gipsi Belgia yang bermukim di Bali. "Suara yang dihasilkan sempurna," ujarnya.
Eko Widianto (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo