Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Waswas Menanti Dana Bidikmisi

Pencairan dana program Bidikmisi sering terlambat. Evaluasi menyeluruh mendesak dilakukan.

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIMAWAN, mahasiswa semester akhir Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, adalah peserta program Bidikmisi. Setiap bulan ia menerima Rp 600 ribu untuk hidup sehari-hari, dari sewa kamar kos, makan, hingga biaya tambahan tugas kuliah. Hanya, dana dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi itu jauh dari memadai.

Aneka praktek lapangan fakultas membuat dana Bidikmisi yang ia terima semakin tak cukup. Praktek lapangan ini membutuhkan biaya akomodasi tambahan yang akan semakin menguras biaya hidupnya. Untuk mengakalinya, ia pun mengajukan bantuan subsidi dari fakultas.

Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan. Berbeda dengan beasiswa yang berfokus pada pemberian penghargaan atau dukungan dana terhadap mereka yang berprestasi, Bidikmisi berfokus pada mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Dasar program ini adalah Pasal 76 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang mewajibkan pemerintah memenuhi hak mahasiswa kurang mampu secara ekonomi atau miskin untuk dapat menyelesaikan studinya menurut peraturan akademik.

Walau Bidikmisi diutamakan bagi mahasiswa kurang mampu, syarat prestasi tetap menjadi kriteria. Tujuannya agar penerima program ini terseleksi dari yang benar-benar mempunyai potensi dan kemauan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi.

Program ini telah memberikan bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup kepada sekitar 300 ribu mahasiswa sejak dilaksanakan pada 2010 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Nilai bantuan yang diberikan setiap semesternya Rp 6 juta per mahasiswa. Dana tersebut terbagi atas Rp 2,4 juta sebagai uang kuliah tunggal dan Rp 3,6 juta sebagai biaya hidup selama periode enam bulan atau setara dengan Rp 600 ribu per bulan.

Hanya, dalam pelaksanaannya, pencairan dana Bidikmisi tak berjalan mulus. Ade Fitri Nola, mahasiswa program studi jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, misalnya, sudah tak lagi menerima dana ini setiap bulan seperti jadwal semula, melainkan tiga bulan sekali dengan sistem rapel. "Keterlambatan pembayaran jadi masalah buat mahasiswa yang hanya mengandalkan biaya hidup dari Bidikmisi," tutur Ade, yang sedang menyusun skripsi, saat ditemui pekan lalu.

Agar bisa bertahan hidup, Ade terpaksa mengandalkan kiriman tambahan dari kakak atau orang tuanya. Ia mengaku masih beruntung ada tambahan uang saku. "Ada teman yang harus berutang atau hidup irit banget menunggu Bidikmisi cair," kata Ade. Keterlambatan pencairan dana Bidikmisi ini dibenarkan Rahman Gunawan, Ketua Kulawargi Mahasiswa Bidikmisi Universitas Padjadjaran. "Pernah dana yang seharusnya turun bulan Maret baru cair pada Mei," ujarnya.

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Padjadjaran Arry Bainus cukup mengerti masalah yang dihadapi peserta program Bidikmisi. Malah, ia bercerita, pernah ada kasus satu mahasiswa hampir keluar dari program Bidikmisi atas inisiatif sendiri. Alasannya, dia tak mau kuliah tapi hidup sulit. "Seharusnya besaran dana Bidikmisi seperti buruh, sesuai dengan angka upah minimum regional. Itu kan komponennya sesuai dengan biaya hidup normal," ucap Arry.

Untuk mengatasi kebutuhan biaya hidup mahasiswa, Universitas Padjadjaran menyiapkan dana talangan. Dana itu akan diberikan jika uang Bidikmisi terlambat turun. Dana talangan ini sifatnya pinjaman, yang artinya mahasiswa penerima wajib mengembalikannya. "Kami akan bekerja sama dengan bank untuk memotong langsung dana Bidikmisi yang cair ke rekening mereka untuk melunasi pinjaman tersebut," ujar Arry.

Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ainun Na'im tak menampik seringnya dana Bidikmisi terlambat cair. Selama ini pemerintah belum mempertimbangkan kebutuhan biaya hidup mahasiswa penerima Bidikmisi. "Apakah kurang atau melebihi kebutuhan, masih perlu dievaluasi," katanya.

Beberapa waktu lalu, Bidikmisi menjadi perbincangan di media sosial. Ratusan calon mahasiswa baru Institut Pertanian Bogor dari jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) disebut terancam gugur lantaran tak bisa melunasi uang tunggal kuliah hingga batas akhir pembayaran pada 2 Juni lalu.

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB Yonny Koesmaryono mengatakan masalah itu terjadi lantaran jumlah calon mahasiswa baru IPB melalui jalur SNMPTN adalah 2.700 orang, sedangkan pelamar melalui program Bidikmisi 773 orang. Masalahnya, tahun ini pemerintah menetapkan kuota penerima Bidikmisi setiap perguruan tinggi negeri hanya 10 persen dari daya tampung. Terdapat penurunan 15 persen dari jatah sebelumnya. Akibatnya, hanya 270 dari 773 calon mahasiswa yang menerima bantuan program tersebut.

Gerakan penghimpunan dana pun digelar. Himpunan Alumni IPB, misalnya, berhasil mengumpulkan dana Rp 1,4 miliar untuk membantu 371 mahasiswa yang hampir gagal masuk IPB lantaran tak bisa membayar uang kuliah tunggal. "Semuanya terselamatkan," kata juru bicara Himpunan Alumni IPB, Andi Irman.

Ainun mengatakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun ini memang hanya menyalurkan dana Bidikmisi kepada 75 ribu calon mahasiswa. Penurunan kuota hingga 10 persen ini berlaku untuk semua perguruan tinggi negeri. "Kami sudah memikirkan. Bidikmisi ini kan sudah lama dan belum naik padahal biaya hidup naik. Tapi anggaran berat, perekonomian berat, jadi belum ada," ujarnya.

Ainun menambahkan, evaluasi terhadap Bidikmisi sudah mendesak. Sebab, sejak penerapan awal program ini, belum dilakukan lagi penghitungan ulang atau peningkatan jumlah dana yang diterima tiap mahasiswa. Bila ini dilakukan, mahasiswa seperti Himawan dan Ade tak perlu waswas memikirkan biaya hidup setiap bulan. Mereka bisa lebih berfokus kuliah agar lulus tepat waktu.

Maya Nawangwulan, Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus