CARA berdandan mereka aneh-aneh. Kaus bermotif bendera negaranya atau lambang klub kesebelasannya. Aksesori yang digunakan juga bermacam-macam. Ada emblem klub, kota, atau negara. Malah tulang belulang atau rantai ikut digantungkan di leher. Kepalanya ada yang botak plontos. Sekujur tubuhnya penuh dengan tato. Sepintas, jika melihat mereka - dalam keadaan biasa dan bernyanyi bersama - memang lucu kelihatannya. Tapi jangan tertawa dulu. Begitu mereka "bertindak", tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka mabuk-mabukan. Muntah dan kencing di sembarang tempat. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, apalagi terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Tak peduli. Kalau perlu, polisi ikut dilabraknya. Itulah bentuk. hooliganisme yang semakin mewabah di daratan Bropa. Jerman Barat, yang kini menjadi tuan rumah Piala Eropa, kcrepotan meredam teror ulah pecandu sepak bola yang keterlaluan itu. Padahal, ribuan polisi antihuru-hara sudah disiapkan dan ratusan detektif disusupkan di antara mereka. Toh tetap tak terbendung. Siapa lagi si penyebar teror itu kalau bukan suporter Inggris yang memang sudah terkenal sebagai biang keladi kekacauan selama ini Apalagi setelah kesebelasan Inggris kalah telak di turnamen ini. "Hooliganisme bukan penyakit baru dan bukan hanya masalah bagi Inggris saja," tutur Patrick Murphy, seorang sosiolog dari Universitas Leicester yang dijumpai TEMPO. Patrick telah melakukan penelitian tentang masalah ini sejak 1978, dan baru-baru ini menerbitkan buku yang berjudul The Roots of Football Hooliganism. Diungkapkan bahwa kerusuhan yang disebabkan para penonton sepak bola sudah ada sejak olah raga ini dimainkan pada tahun 1870 dan 1880-an. Kerusuhan itu tak cuma di Inggris. "Huru-hara juga banyak terjadi di Italia dan Yugoslavia, yang dikenal bertemperamen Latin yang panas itu," tuturnya. Tapi saat itu kerusuhan sepak bola belum menjadi masalah sosial. Di samping itu, sejarah permainan sepak bola di Inggris mula-mula memang dikembangkan oleh kelas menengah dan atas. Belakangan permainan itu diadopsi oleh kelompok buruh dan pekerja kasar. Akhirnya, kelompok itulah yang kemudian tampak lekat dengan permainan-ini. Semenjak itu suasana pertandingan diwarnai perangai penontonnya yang kasar. Mula-mula yang jadi mangsa adalah pemain yang dianggap bermain kasar atau wasit yang dinilai tak adil. Memasuki abad ke-20, ketika liga sepak bola Inggris semakin berkembang, bukan saja pemain atau wasit yang jadi korban, tapi para pendukung kesebelasan lawan juga mulai jadi sasaran. Di tahun 1950-an sepak bola Inggris mengalami boom. Ketika itu diperkirakan ada 40 juta penonton pertandingan liga yang memiliki 92 klub. Saat dilangsungkannya Piala Dunia 1966 di London, keadaan semakin runyam. Inilah yang menurut Murphy sebagai cikal bakal tumbuhnya hooliganisme yang sekarang ini ada. Murphy melihat bahwa media massa saat itu ikut menggosok dan membakar semangat hooliganisme dengan membesar-besarkan kericuhan dan penulisan berita yang sensasional. Tentu saja ini mengundang pengacau lamnya untuk memperoleh "reputasi" karena pasti "dielu-elukan dan dibicarakan" media massa. Dalam perkembangannya sekarang, kelompok pengacau ini tak lagi datang dari kelas bawah dan tak lagi sambil mabuk-mabukan. Kelompok menengah juga sudah mulai membentuk barisan sendiri. Pakaian mereka malah biasa-biasa saja. Dan ini disengaja agar- tak gampang dikenali oleh polisi. Hooliganisme gaya baru ini juga menghindari mabuk-mabukan. Suporter macam ini - karena punya uang cukup sudah mulai berkelana mengikuti klubnya bertanding ke luar Inggris. Kelompok inilah yang beraksi ketika terjadi insiden berdarah pada Mei 1985 di stadion Heysel, Belgia. Tercatat 39 penonton Italia tewas dan sekitar 400 penonton lainnya cedera dalam musibah itu. Didukung oleh teknologi komunikasi dan transportasi yang begitu pesat di Eropa, transformasi budaya hooliganisme makin merebak ke daratan Eropa. Pecandu-pecandu bola di Belanda, Jerman, Italia, dan Spanyol, belakangan ini mulai ikut-ikutan. Penyakit Inggris itu kini mulai ditularkan. Hal itu makin kentara dalam arena Piala Eropa yang kini masih berlangsung di Jerman Barat. Terlihat memang bukan cuma suporter Inggris yang bikin kacau, tapi pendukung negara lain juga punya imsiatif yang tak kalah seramnya. Tapi seorang sosiolog lainnya, David Robbins, juga dari Universitas Leicester, mencobanya melihat dari sisi yang lain. Bagaimanapun, sepak bola sebenarnya sangat ideal untuk tempat "pelepasan" kaum muda. Tekanan sosial dan ekonomi yang semakin mengimpit perlu katup untuk menyalurkannya Dan saluran itu tersedia hanya pada sebuah tontonan semacam sepak bola. Memang penonton sepak bol, bisa melelas unek-uneknya selama pertandingan berlangsung. Berteriak, bersorak, bernyanyi. Mereka gratis memaki pemain atau wasit. Tak peduli apakah didengar atau tidak. Hanya saja, saluran "pelepasan" ini tenn bukan tempatnya bagi para pelaku vandalisme. Sepak bola sebagai pertandingan sudah tak enak lagi ditonton. Bukan karena pemainnya, tetapi karena ulah penontonnya yang brutal. Apa boleh buat. Yudhi Soerjoatmodjo (London) dan Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini