PEREBUTAN Piala Eropa ke-8 kali ini sungguh memikat. Mengapa? Di sana tak ada catenaccio. Tak ada pemain yang berkerumun menutupi gawangnya. Mereka maju, menyerang, menerjang. Dengan atau tanpa bola mereka berlari. Berlari. Hingga gol terjadi. Permainan pun menjadi hidup, cantik, cnak ditonton. Di antara delapan tim yang berlaga ini memang ada Itaha, uara duma tiga kali, negeri pencipta catenaccio. Tapi Italia kali ini tak sama dengan Italia yang merebut Piala Dunia 1982 di Spanyol. Yang menjadi bintang tim kali ini adalah tombak kembar Viali dan Mancini. Duet ini terbukti mampu mengobrak-abrik pcrtahanan lawan yang mana pun: menaklukkan Spanyol 1-0, Denmark 2-0, dans eri 1--i dengan Jerman Barat . Hal ini amat berbeda dengan penampilan mereka ketika menjadi juara dunia di Spanyol. Ketika itu memang Paulo Rossi muncul sebagai bintang pujaan karena tiga gol yang diciptakannya ketlka menyingkirkan tim favorit Brasil, termasuk luar biasa. Tapi pahlawan yang sebenarnya adalah Claudio Gentile, pemain belakang yang berhasil mematikan tombak Brasil, Zico, atau bintang Argentina, Maradona. Bersama libero Gactano Scirea, Gentile menjaga tiap jengkal garis pertahanannya dengan fanatik dan cenderung ganas. Lengan baju Zico sempat robek ditarik Gentile dan Maradona seperti kehilangan semangat karena frustrasi. Memang yang mereka pertontonkan di Spanyol itu betul-betul sepak bola catenaccio. Kecuali ujung tombak Paulo Rossi, semua pemain Italia bertahan ketika musuh menyerang. Begitu bola direbut segera dilambungkan jauh ke depan mencari Paulo Rossi. Pemain inilah yang bertugas membikin gol melalui serangan bahk seperti itu. Pola catenaccio dikenal oleh hampir semua klub mulai 1950-an. Tapi pola ini menjadi terkenal setelah Helenio Herrera menyempurnakannya dengan serangan balik seperti yang sudah disebut. Dengan pola itu Herrera berhasil membawa klubnya, Inter Milan, menjadi juara antarklub Eropa pada 1964 dan 1965. Sejak itu catenaccio merebut perhatian para pakar sepak bola dunia. Adanya bek bebas (libero) dan sistem penjagaan perorangan yang ketat (man marking), yang dlkenal sampal ke Indonesia, misalnya, adalah produk dari catenaccio. Karena libero memang muncul pertama kali dari sistem sepak bola gerendel ini, begitu pula man marking. Padahal, munculnya pola ini oleh banyak pengamat dituding amat merugikan dunia sepak bola. Apalagi yang dilihat penonton bila pertandingan adalah gerombolan para pemain menutup gawang untuk menjaga jangan terjadi gol, sedangkan sepak bola menjadi olah raga paling menarik justru karena adanya gol? Maka, Belanda segera menjadi buah bibir begitu mencuat di tahun 1970-an. Pelatih Rinus Michels memperkenalkan pola baru yang kemudian dikenal sebagai total football. Inilah kebalikan catenaccio, suatu pola permaman sepak bola yang amat mengandalkan penyerangan. Dengan sistem ini, semua pemain - kecuali penjaga gawang, tentu - adalah penyerang. Para pemain seakan dibebaskan dari berbagai posisi yang dikenal selama ini: bek, gelandang, atau pemain sayap. Begitu bola dikuasai lawan, segenap pasukan beralih tugas menjadi pemain bertahan. Artinya, pertahanan - dalam arti merebut bola dari penguasaan lawan -- segera dimulai sejak di kotak penalti lawan. Rinus Michels, pelatih klub Belanda, Ayax Amsterdam, memperkenalkan total football melalui klubnya. Dan Ayax secara mengagumkan setelah berturut-turut menjadi juara antarklub Eropa 1971, 1972, dan 1973. Dengan pola menyerang itulah Ayax menjuara Super Cup 1972, juara klub antarbenua dengan mempecundangi Indepcndiente dari Argentina. Tapi konsekuensi pola sepak bola "gila-gilaan" ini, semua pemain harus bernapas kuda karena harus mampu turun naik bertahan dan menyerang. Lebih penting, tim harus memiliki pemain dengan keterampilan luar biasa karena harus bisa berfunsi di segala posisi. Ini bisa dilakukan Rinus Michels karena ketika itu Ayax memiliki para bintang seperti Johan Cruyff, Johan Neeskens, Wiem Suurbier, Arie Haan, dan Piet Keier. Tapi inilah sepak bola. Dengan materi pemain seperti itu pulalah Belanda ditaklukkan Jerman Barat di final Piala Dunia 1974, di Olimpiastadion, Munich, Jerman Barat. Ironisnya lagi, Jerman Barat menaklukkan Belanda dengan mengandalkan man to man markinp yang disiplin, berbau catenaccio. Dan pahlawan mereka tak lain libero Franz Beckenbauer. Total football kemudian diimpor Brasil. Negeri Samba itu berangkat menuju Piala Dunia Spanyol 1982 dengan sejumlah pemain elite seperti Zico, Socrates, Leandro, Junior, dan Cerezo, dan difavoritkan banyak pengamat akan menggondol Piala Dunia. Nyatanya permainan indah mereka dipecundangi catenaccio Italia di perempat final. Piala Eropa kali ini bukan saja ditandai oleh Italia minus catenaccio. Belanda datang dengan Rinus Michels - pelatih pencipta totalfootball itu - berikut sejumlah pemain dengan naluri menyerang yang amat kuat: Ruud Gullit, Marco van Basten, Koeman, Wim Kieft, dan Arnold Muhren. Rusia, sekalipun menampilkan pola menjaga lawan yang ketat untuk kemudian melancarkan serangan balik, tetap memiliki duet penyerang yang memukau, Igor Belanov dan Oleg Protasov. Jerman Barat dengan pola Anglo Saxon yang efisien itu toh tetap mengandalkan penyerang Rudi Voeller dan Pierre Littbarski. Maka, Piala Eropa kali ini betul-betul dibanjiri para pemain penyerang yang memiliki keistimewaan tersendiri. Pertandingan yang disuguhkan pun menjadi suatu tontonan yang mengasyikkan. Amran Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini