ADA darah baru disuntikkan dalam pelayanan kesehatan di negeri ini. Setelah terkatung-katung selama empat bulan, pengaturan profesi dokter menjadi jelas juga akhirnya. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor V/88 tentang masa bakti dan izin praktek dokter-diumumkan awal pekan ini. Dan peraturan tersebut (Permen V/88) secara rinci menguraikan Peraturan Pemerintah Nomor 1/88 (PP 1/88), yang ditandatangani Presiden Soeharto Februari lalu. Seperti diketahui, PP 1/88 yang dikeluarkan menjelang akhir masa jabatan Menteri Kesehatan yang lama, dr. Suwardjono Surjaningrat, banyak mengundang tanda tanya. Dan ini dipertajam oleh selisih paham antara Departemen Kesehatan (Depkes) dan korps dokter yang diwakili IDI (Ikatan Dokter Indonesia) - terutama karena adanya berbagai penafsiran. Pangkal selisih adalah pemberian izin praktek bagi para dokter. Sektor ini cukup penting dalam pelayanan kesehatan. Yang menjadi masalah ialah banyaknya keluhan muncul, sementara prosedur pemberian izm terlalu bertele-tele dan ruwet, karena harus diulang secara reguler setahun sekali. Tapi di sisi lain, ketatnva pemberian izin praktek dianggap perlu untuk pengawasan. PP 1/88 memang mengatur kembali pemberian izin praktek dan menyederhanakannya. Namun, tak kurang mengejutkan ialah bahwa fungsi IDI dalam mengawasi praktek dokter - berupa rekomendasi - ditiadakan. Beberapa pejabat teras Depkes menafsirkan, pencabuta rekomendasi IDI itu karena IDI bukan organ pemerintah. Ketegangan pun muncul. Para dokter berpendapat, justru rekomendasi inilah yang menguatkan IDI sebagai organisasi profesi. Ini pertanda pemerintah mengakuinya, bahkan menjadikannya mitra dalam menjalankan program kesehatan. Maka, tanda-tanda keretakan kerja sama Depkes dengan IDI tak bisa dihindari. Namun, keretakan tak sampai nyata, karena PP 1/88 tidak merinci pasal-pasalnya. Penyisihan IDI dari program kesehatan nasional tetaplah bisa dilokalisasi sebagai isu saja. Semua pihak sepakat, kepastian soal ini baru bisa didapat setelah Permenkes yang merinci PP 1/88 dikeluarkan. Permenkes yang ditunggu itu akhirnya ditandatangani Menteri Kesehatan yang baru, Dr. Adhyatma, M.P.H. Serentak dengan itu, semua persoalan menjadi jelas. Ketegangan mencair, karena tak ada ketentuan menyebutkan bahwa Depkes menyisihkan IDI - khususnya dalam menjalankan kebijaksanaan kesehatan nasional. Gagasan di balik pencabutan rekomendasi IDI lalu menjadi jelas. "Idenya adalah deregulasi," ujar Menteri Kesehatan kepada Syafiq Basri dari TEMPO. "Prosedur yang terlalu panjang harus kita sederhanakan." Ditegaskan oleh Menteri, pencabutan rekomendasi IDI bukan satu-satunya langkah penyederhanaan. Jangka waktu berlakunya izin praktek, misalnya, juga diubah. Di masa lalu hanya berlaku satu tahun, tapi kini izin praktek itu berlaku tanpa batas dalam suatu wilayah, selama dokternya tidak pindah tempat. Di samping itu, Permenkes V/88 juga menunjukkan usaha desentralisasi. Di masa lalu, izin praktek dikeluarkan di tingkat provinsi - melalui kantor wilayah - sedang dalam peraturan baru, izin itu diberikan di tingkat kabupaten atau kota madya. Yang kelak berwenang menandatangani surat izm praktek adalah pejabat di Kepala Kantor Departemen Kesehatan di pemda kabupaten atau kota madya - bukan lagi Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan. Ini akan mempermudah para dokter yang bekerja di daerah. Permenkes V/88 ternyata tidak mengubah kedudukan IDI dalam menjalankan pengawasan. "Dulu organisasi profesi mendapat tugas men,awasi pemberian izin praktek, tapi ini tak bisa kita pertahankan karena ide deregulasi tadi," ujar Menteri. "Sekarang pengawasan organisasi profesi dilakukan setelah izin praktek dikeluarkan." "Kami gembira," ujar dr. Kartono Mohamad, ketua Pengurus Besar IDI, ketika ditemui, "dalam arti ada kemajuan." Kartono bahkan menyatakan, sistem pengawasan yang ditetapkan Permenkes bisa lebih efektif daripada peraturan lama. "Sekarang pengawasan harus lebih aktif," ujar Kartono. "Dan IDI akan mengantisipasi kebijaksanaan desentralisasi pemerintah, dengan mengaktifkan cabang-cabang IDI di daerah, yang harus bekerJa sama dengan kantor-kantor Depkes." Memang, di masa lalu tak ada peraturan bagaimana rekomendasi IDI harus diberikan, namun dalam Permenkes V/88 ditetapkan semacam sistem kredit, untuk menilai peri laku dokter dan usahanya mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Pengecekan jumlah kredit ini dilakukan oleh IDI bersama organ Depkes daerah. Evaluasi dilakukan secara reguler dan sanksinya cukup berat: pencabutan izin praktek. Namun, pencabutan izin ini diatur mengikuti prosedur yang sudah ditempuh IDI selama ini, yaitu melibatkan badan kehormatan dan juga memberi hak membela diri kepada dokter yang bersangkutan. Kartono berkata bahwa pengawasan dengan sistem kredit ini sudah lama diidamkan IDI. Selain meredam ketegangan akibat izin praktek, Permenkes V/88 juga menyelesaikan beda pendapat dalam pemberian Surat Izin Dokter (SID). Surat izin yang satu ini telah lama dipermasalahkan, karena kekuatannya seolah olah berada di atas ijazah dokter. Pada kenyataannya memang begitu, karena walaupun sudah lulus, seorang dokter tidak diperkenankan sama sekali menjalankan profesinya bila belum mendapatkan SID. Permenkes yang baru mencabut peraturan SID ini dan menggantikannya dengan peraturan pemberian Surat Penugasan. Tuuan SID pada peraturan sebelumnya memang lebih administratif daripada menilai kemampuan profesi. Jadi, Surat Penugasan dengan sendirinya lebih cocok. Penugasan atau penempatan tenaga dokter adalah sasaran lain Permenkes V/88, di samping pemberian izin praktek. Ketetapan yang mengatur distribusi dokter pada Permenkes V/88 pada dasarnya meneruskan kebijaksanaan Menteri Kesehatan yang lama. Pengaturan formasi dokter di daerah memang siudah dirapikan lebih dulu, antara lain dengan keluarnya keputusan pemerintah, untuk tidak membatasi jumlah pengangkatan dokter sebagai pegawai negeri, selama tenaga kesehatan belum terdistribusi dengan merata ke semua daerah. Pada Permenkes V/88 kebijaksanaan itu dipertegas. Dalam mengatasi kesimpangsiuran pengangkatan - akibat terlampau banyaknya instansi yang mengatur - Permenkes menetapkan Depkes sebagai satu-satunya "induk" para dokter. Dulu, pada masa baktinya di daerah, para dokter bisa dikendalikan oleh pemerintah daerah karena terikat status kepegawaiannya - tapi kini tidak lagi. Menurut ketentuan Permenkes V/88, dalam hal ini pemda harus mengajukan permohonan pada Depkes, dan dalam mememuhi permintaan itu, pelaksanaan pemindahan atau mutasi menjadi tanggung jawab orang Depkes di daerah. Di samping mengatur tenaga medis di lingkungan pemerintah, Permenkes V/88 juga menegaskan niat pemerintah untuk menempatkan tenaga dokter di lingkungan swasta. "Dulu karier seorang dokter cuma bisa berkembang di jalur pemerintah, sekarang tidak lagi," ujar Adhyatma, M.P.H. "Kita harus realistis. Makin banyak saja dokter yang lulus, sedangkan kemampuan pemerintah untuk menampung terbatas. Karena itu, kita harus mencari jalan keluar." Realisasi dari swastanisasi dokter ini adalah pemberian Surat Penugasan, dengan status diperbantukan ke sarana-sarana kesehatan swasta. Ini juga sebuah dilema yang sudah lama ditunggu penyelesaiannya. Untuk menjelaskan perubahan ketetapan ini, Menteri Kesehatan merencanakan akan mengirim sejumlah tim ke daerah-daerah. "Nantinya, tim-tim ini akan mengadakan pertemuan dengan staf kantor wilayah, pejabat pemda, dan para pengurus cabang organisasi profesi," ujar Menteri. "Dan ini baru first step." Menteri sendiri mendahului pengiriman tim penerangan, dengan meninjau kondisi sarana kesehatan di Sumatera Barat pekan lalu. Didampingi Kepala Biro Perencanaan, Kepala Hubungan Masyarakat, dan perwakilan Unicef, Menteri menyuruk sampai ke puskesmas dan posyandu. Pengaturan sarana kesehatan, rumah sakit, serta puskesmas konon menjadi sasaran selanjutnya. Permenkes V/88, walaupun bicara lebih banyak tentang profesi dokter, seharusnya dilihat dalam konteks kesehatan masyarakat. "Apa pun yang dilakukan Depkes, targetnya adalah meratakan pelayanan kesehatan," ujar Menteri. Jim Supangkat, Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini