INILAH wajah sepak bola Indonesia. Atau, jika mau diciutkan lagi, wajah persepakbolaan di Galatama, lembaga yang disebut-sebut sebagai "universitasnya bola di Indonesia". Rabu pekan lalu, di Stadion 17 Mei Banjarmasin tuan rumah Barito Putra (BP), klub yang didukung dana oleh konglomerat dan "raja kayu" Prayogo Pangestu, berhadapan dengan klub milik pengusaha Yusuf Kalla, Makassar Utama (MU). Bagi BP, partai terakhirnya itu bagai perjuangan menembus "neraka". Kalau kalah, BP, yang saat itu berada di peringkat ke-17 dari 18 klub Divisi Utama Galatama, kena degradasi, turun ke Divisi I. Sementara itu, MU, yang sudah ikut kompetisi bertahun-tahun dan berada di papan bawah, mempertaruhkan gengsi. Ia tak kalah dari BP yang umurnya baru setahun. Pertandingan berjalan baru lima menit, BP yang dimotori Frans Sinatra -- pemain yang ditransfer dari Pelita Jaya dengan harga Rp 15 juta -- sudah membobol gawang MU. Nah, pertandingan bukannya bertambah bagus, malah turun. MU mulai memperagakan sepak bola "cari kaki" yang penting bisa menggaet kaki lawan. Celakanya, wasit Helmi Piliang dari Jakarta takut mengeluarkan kartu kuning, apalagi merah. Padahal, ada pemain MU yang terang-terangan sampai empat kali menghalangi tendangan bebas. Penonton, sekitar empat ribu, mulai ribut. "Wasit gila, wasit gila. . . ," teriak penonton. Di menit ke-30, MU berhasil menyamakan kedudukan jadi 1-1. Kini. ganti BP yang beringas. Hantam, sikut, babat, ganjal. Memasuki babak kedua, permainan makin rusak dan runyam. Puncaknya di menit ke-67. Ketika itu BP mendapat tendangan bebas di rusuk kanan pertahanan MU. Belum lagi tendangan bebas dilepaskan, bogem mentah sudah melayang. Yang kena serang pemain MU, langsung roboh. Yang menyerang pemain BP, tentu saja, tapi siapa tak jelas. Meledaklah kekacauan masal. Lapangan hijau berubah jadi ring tinju, persisnya Thai Boxing karena pemain juga memakai kaki untuk menghajar lawan. Pengamaan jebol: puluhan penonton dari tribun timur menyerbu masuk lapangan. Bola sudah tak tahu lagi ada di mana. Pertandingan terhenti tujuh menit. Priit! Wasit Helmi Piliang, setelah berkonsultasl dengan hakim garis Pius Koban, mengartumerahkan pemain BP, M. Yusuf. Penonton makin panas karena tak seorang pun tahu persis apa Yusuf benar memukul. Pertarungan setelah itu cukup memalukan: bukannya pemain mengejar bola, tetapi mengejar kaki. Dua kartu kuning keluar lagi untuk pemain MU. Sampai pertandingan usai, skor tetap 1-1. Namun, ini bukanlah akhir "pertunjukan". Pemain-pemain MU dilempari botol minuman -- dan apa saja oleh penonton. Tiba-tiba seorang berbadan kekar kelihatan menjotos wasit Helmi Piliang sampai tersungkur dan dahinya mengucurkan darah. Sang "Rambo" cepat menghilang. Sebentar kemudian, Helmi tampak dipapah dua orang hakim garis ke tengah lapangan, menghindari penonton. "Biarlah, ini pelajaran bagi saya untuk lebih baik di kemudian hari," ujar wasit yang cuma dibayar Rp 80 ribu itu. Hakim garis Pius Koban malah menangis. "Ini semua salah saya," katanya. Apa betul hakim garis bersalah? Apa betul wasit mendapat pelajaran? Semuanya serba tak jelas. Sama tak jelasaya, apa sebenarnya peranan Galatama yang sudah berumur 12 tahun ini untuk kemajuan sepak bola nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini