KOMPETISI Galatama 1990 berakhir -- sudah. Kesebelasan Pelita Jaya kembali mempertahankan gelar juara setelah menundukkan tim Bandung Raya 2-0 di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu sore. Tapi citra kelabu mengenai sepak bola semiprofesional Indonesia ternyata tak tenggelam dalam eluan penonton. "Bubarkan saja Galatama," kata Andi Darussalam Tabussala, manajertim kesebelasan Makassar Utama. Apa pasal Andi Darussalam bersuara keras? Ia mengaku geram melihat sikap sebagian tim terpilih Divisi Utama yang tak siap untuk mengikllti kompetisi, dan itu ditenggang oleh pengurus Liga, sehingga "main sabun" tak terelakkan. Salah satu hasil pertandingan yang jadi gunjingan adalah kekalahan mencolok Medan Jaya (0-5) atas Pelita Jaya. Manajer tim Pelita Jaya, Rahim Soekasah, membantah adanya "permainan uang" di balik kemenangan itu. Tapi banyak orang meragukan kebenaran penjelasan tersebut. Belum lagi "permainan" cari angka dari tim papan bawah. "Kalau perlu, kompetisi hanya diikuti enam kesebelasan yang benar-benar siap," kata Andi Darussalam lebih lanjut. Sisanya silakan berbenah diri sebelum tenggelam lebih dalam. Singkat kata, sejak berdiri 12 tahun lalu, baru kali ini Liga diguncang lima krisis secara bersamaan: krisis penonton, krisis duit, krisis mutu, risis prestasi, dan krisis moral pemain. Ada wasit dihajar pemain, ada suap, ada pengaturan skor, sementara keterampilan pemain tak kunjung terangkat (lihat: Wajah Bola Kita). Meski hampir 95-% pemain nasional bersumber dari Galatama, prestasi kesebelasan nasional Indonesia tetap saja memprihatinkan. Selama 10 tahun terakhir, misalnya, prestasi terbaik tim nasional kita hanya medali emas SEA Games Jakarta 1987 dan semifinalis Asian Games Seoul 1986. Selebihnya buruk. Lalu buat apa lagi menonton sepak bola Indonesia? Rahim saja, misalnya, mengaku tak pernah menonton bola Indonesia kecuali Pelita Jaya turun bertanding. Kalau sudah begitu, dampaknya bisa diduga: "kocek" klub dan Liga robek berat. Hampir tiap tahun anggaran kompetisi defisit. Tahun ini "tekor" hampir Rp 500 juta-separuh dari anggaran yang dibutuhkan. Kekurangan dana itu, menurut Ketua Bidang Dana Galatama Andy Soemadipradja, ditambal dari "sumbangan sukarela donatur". Ia menolak menyebutkan orangnya. Dana yang besar itu, kata Andy lagi dibutuhkan untuk subsidi transportasi sebagian anggota klub. "Kalau Liga tak membantu, pasti ada klub yang rontok," ujarnya. Tahun depan, defisit ini mungkin akan lebih besar karena perusahaan rokok Bentoel kabarnya sudah tak tertarik mensponsori Galatama yang sepi penonton. Pemecahannya, kalau Liga masih panjang umur, menurut sumber TEMPO, tahun depan kompetisi akan dibagi jadi dua wilayah: Barat dan Timur. Kalau klub-klub tetap berpangkalan di kota-kota seperti sekarang, Wilayah Barat tentu akan menarik karena di sana berkumpul klub-klub elite. Sementara itu, di Timur, klub-klub hampir pasti akan "kurus kering" karena yang ada cuma klub papan tengah dan bawah kecuali Niac Mitra dan Petrokimia. Tak heran bila ada klub jauh-jauh hari sudah mengirimkan surat pengunduran diri ke Liga karena merasa "tak mampu" membiayai tim- lagi -- salah satu di antara PS Pusri Palembang. Kabarnya, Warna Agung Jakarta, yang kena degradasi ke Divisi I, juga bersiap gulung tikar. Kalau pemasukan tak memadai, satu per satu klub akan sekarat. Lalu, apa Galatama masih perlu? "Hanya orang gila yang berpendapat Galatama harus bubar," kata Acub Zainal, Administratur Liga, yang mengkhawatirkan nasib pemain-pemain klub nantinya. Untuk mengatasi keadaan itu, orang pertama Liga tersebut kembali membuka resep lama untuk mengangkat pamor Galatama: mengontrak pemain asing. "Bila di Indonesia, misalnya, didatangkan Maradona, tentu penonton akan penuh," kata pemilik klub Arema Malang tersebut. Klub Indonesia, menurut penilaian Acub, cukup mampu membayar Maradona karena penonton akan deras masuk stadion. Perhitungan ini masih bisa diperdebatkan. Tapi H. Sulaiman, bos Barito Putra, menyangsikan pemain asing mau main di sini melihat permainan kasar pemain-pemain kita. "Kalau masih seperti sekarang, tak ada pemain asing mau main di sini," ujarnya. Padahal, Barito Putra, ujar Sulaiman lagi, yang menganggarkan dana Rp 300 juta setahun, mampu mengontrak pemain dari klub Divisi I Eropa sekalipun. Kekurangan lain klub kita, menurut Andi Darussalam, "manajemennya belum sampai tingkat mengontrak pemain asing." Bahkan menurut pelatih BPD Jawa Tengah, Sartono Anwar, "Manajemen beberapa klub bobrok. Gaji terlambat dan pengelolaan acak-acakan." Akibatnya: suap merajalela -- menurut istilah Sartono, "sudah mendarah daging di sepak bola Indonesia." Bagaimana pemain BPD? "Saya berusaha menjaga pemain BPD. Perkara kemasukan suap atau tidak, saya tak tahu," katanya. Ronny Patti, pelatih Petrokimia, juga melihat Galatama tak beres. "Permainan di Galatama sudah menyimpang dari jalur pembinaan. Kritis dalam mutu permainan, wasit, penonton hingga manajemen klub," ujar bekas kapten tim nasional itu. Itulah Galatama -- wajah sesungguhnya sepak bola Indonesia. Di Malaysia dan Singapura kehadiran liga semipro justru mengangkat mutu persepakbolaan nasional mereka. Maka, agak mengherankan kalau PSSI dengan materi pemain serba terbatas tetap ngotot mengirim tim ke Asian Games Beijing, September mendatang. Toriq Hadad, Bandelan Amaruddin, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini