SEJAK subuh, ribuan penduduk Nusa Dua sudah berkumpul di sekitar patung I Gusti Ngurah Rai -- untuk menyaksikan pelari-pelari dunia berlomba di arena Bali 10-K. Tapi begitu pistol isyarat diletuskan Gubernur Ida Bagus Oka melepas sekitar 6.000 peserta, Ahad pagi yang lalu, penonton tampak kecewa. Tak satu pun wajah peserta lomba lari bergengsi itu yang akrab dengan mereka sebagaimana tiga lomba sebelumnya. Peserta asing memang ada -- terdaftar sepuluh putra dan dua putri. Tapi, mereka bukan atlet, dan tentu saja tak sekaliber pelari Marc Nenow dan Elyzabeth Lynch, yang masing-masing meraih gelar juara pada Bali 10 K -- (pertama) 1987. Kedua belas "atlet" bule itu adalah turis-turis yang tengah berlibur, dan mengikuti lomba secara iseng. "Pelari" asal Australia, Shirlee, 32 tahun, misalnya, baru mendaftar sehari sebelum lomba dimulai karena kebetulan pengumuman Bali 10-K di dekat penginapannya di Kuta. "Pekerjaan saya seharihari penata rambut," ujarnya. Peserta wanita satunya, Susan Stone, 24 tahun, lebih edan. Turis asal Kanada, yang sehari-hari guru SMA di Toronto, baru mendaftar 10 menit menjelang start. Idem ditto dengan peserta asing putra semua turis yang tengah liburan di Bali. Untung, pelari-pelari nasional yang sekarang di pelatnas, seperti Anwar Rauf (Kalimantan Barat), Elia Huwae (Jambi), dan Supriyanto (Banyuwangi) ikut. Kalau tidak, bisa-bisa Bali 10-K berubah arti jadi Bali 10-Kecil (diikuti oleh 10 pelari tak ternama). Maka, tak usah kaget bahwa sang juara di bagian putri justru peserta bule yang mendaftar kaget-kagetan: Susan. Ia mencatat waktu tempuh 37,57 menit, dan sekaligus berhak atas hadiah Rp 1,5 juta. "Lumayan bisa untuk nutup ongkos pesawat," komentarnya. Sedangkan Shirlee cuma menempati urutan ke-8. Pelari lokal, Agida Amaral dan Rosa Dacosta, menempati peringkat kedua dan ketiga. Di bagian putra, yang bersaing ketat justru ketiga pelari nasional. Setelah bersaing ketat pada kilometer awal, sekilo menjelang finis, Anwar berhasil mengungguli lawan-lawannya dengan catatan waktu 31,28, dan berhak atas hadiah uang Rp 3 juta. Di belakangnya, menyusul Samuel dan Supriyanto. Sedangkan "pelari" asing tak seorang pun masuk kelompok 10 besar. Sebenarnya, panitia menyediakan hadiah uang Rp 15 juta bagi pemecah rekor Bali 10-K. Tapi, ditilik dari kualitas peserta, harapan itu agak berlebihan. Bandingkan saja dengan rekor Elyzabeth (31,07 menit) atau Nenow (27,22 menit) dengan hasil peserta Bali 10-K 1990: tak ada apa-apanya. Kenyataan itu tidak membuat Gubernur Oka kecil hati. "Paling tidak, kita sudah berhasil mengolahragakan masyarakat secara luas," katanya. Malah Ketua Panitia I Ketut Subandi justru bangga dengan lomba berhadiah total Rp 40,25 juta itu. "Glamournya memang kurang, tapi dari segi teknis lebih rapi dibandingkan dengan dulu," katanya. Apa pun yang mereka katakan, Bali 10-K tanpa kehadiran Ketua PASI Bob Hasan terasa hambar. Tak ada lagi ingar-bingar sponsor, bahkan hampir tanpa publikasi pers. Tak ada lagi iming-iming hadiah US$ 1 juta, yang mendorong pelari terkemuka berlomba. Singkat kata, tanpa Bob Hasan, masa gemilang Bali 10-K telah berakhir pula. Mengapa Bob Hasan tak lagi mendorong Bali 10-K? Ia telah memindahkan ajang lomba -- dan sekaligus obyek untuk menarik wisatawan ke Indonesia -- ke Borobudur dan sudah dilangsungkan Februari lampau. Akankah Borobudur 10-K bernasib serupa dengan Bali-10 K? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini