KEPUTUSAN Presiden mengangkat Singgih sebagai jaksa agung cukup mengagetkan kalangan kejaksaan. Sekaligus pula keputusan itu bagaikan "kado" ulang tahun bagi kejaksaan yang merayakan HUT-nya pada 22 Juli lalu. Sebab, sejak orde baru, baru kali ini jaksa agung diangkat dari kalangan jaksa sendiri alias jaksa karier. Singgih, 56 tahun, Jumat pekan lalu, dilantik Presiden Soeharto menggantikan almarhum Sukarton Marmosudjono yang meninggal dunia pada 29 Juni lalu. Jaksa yang sudah 30 tahun meniti karier jaksa itu mengaku tak menyangka dirinya akan ditunjuk menjadi orang nomor satu di instansi yang berlambang pisau dan timbangan itu. "Saya juga tidak percaya sama sekali. Sebelumnya, saya tidak berani membayangkan," kata Singgih. Bahkan Singgih masih tak menyangka "kabar baik" itu akan diterimanya ketika ia dipanggil Presiden Soeharto ke Cendana pada Senin malam -- empat hari menjelang pelantikan. Waktu itu, ia malah menyiapkan berbagai laporan kejaksaan -- kalau kalau ditanyakan Presiden. Ternyata, ia dikukuhkan menjadi salah seorang petinggi hukum. Dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, Singgih -- anak bungsu dari tiga bersaudara -- sejak remaja sudah bercita-cita menjadi penegak hukum. Ia sempat diterima sebagai siswa sekolah polisi di Sukabumi, tapi akhirnya keluar. Sebagai penerima beasiswa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada 1960 Singgih menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kariernya dimulai sebagai jaksa di Direktorat Reserse Kejaksaan Agung. Prestasi lelaki berkaca mata, yang jarang merokok, itu terus menanjak. Ia pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar dan Jakarta Pusat, Kajati NTB, Sulawesi Utara, dan Kajati Jakarta. Ia sempat ditarik Menteri Kehakiman Ismail Saleh menjadi Irjen Departemen Kehakiman, sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus. Pejabat yang dikenal sejawatnya sebagai pekerja keras, berpenampilan kalem, dan rapi itu dikenal jago strategi. Ayah empat anak itu pernah mengendalikan persidangan berbagi kasus G30S-PKI, Malari, dan kasus Tanjungpriok. Sehari setelah pelantikan, Sabtu pekan lalu, Singgih menerima wartawan TEMPO Happy Sulistyadi dan G. Sugrahetty D.K. di ruang kerja lamanya, menjawab berbagai pertanyaan. Cuplikannya: Apa tugas atau pesan khusus dari Presiden? Selain tugas hukum dalam Repelita, Bapak Presiden juga menyampaikan pesan selaku orang tua. Beliau mengingatkan bahwa sebagai pejabat harus berhati-hati. Sebagai orang Jawa, kita kan sudah dibekali filosofi "tiga ta" (tahta, harta, wanita) itu: Ojo keguh marang klumpuking iwak, gumrincinging ringgit, gebyaring wetis kuning. Bagaimana program kerja Anda sebagai Jaksa Agung baru? Program kerja Kejaksaan Agung kan sudah ada. Program itu dulu kami susun bersama semasa almarhum Bapak Sukarton. Mungkin hanya gayanya saja nanti yang berbeda. Saya akan memprioritaskan program itu pada peningkatan kualitas jaksa, terutama profesionalisme dan integritasnya. Sebab, yang penting adalah the man behind the law. Di masa globalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi ini, jaksa harus dibekali pengetahuan antisipatif. Sebab itu, selain ada jaksa spesialis penyelundupan, korupsi, subversi, lingkungan, juga akan dididik jaksa spesialis tata usaha negara, industri, dan perdata. Dari segi integritas, walaupun si jaksa pintar, kalau tukang kawin atau tukang mengganggu, ya, akan saya tindak. Almarhum Sukarton sering mengunjungi daerah dan perguruan tinggi untuk memasyaratkan program kejaksaan. Akankah Anda juga melakukan hal itu? Kegiatan itu akan kami lanjutkan Tapi kan tidak harus saya sendiri yang pergi. Ini bedanya. Bukan apa-apa, ya, kalau Pak Sukarton suka publikasi, saya nggak begitu senang publikasi. Nanti saya juga akan lebih menghidupkan humas menjadi semacam biro. Jadi, wartawan tak perlu lagi menanyakan langsung soal teknis perkara yang rutin kepada Jaksa Agung. Tentang penggunaan tuduhan subversi terhadap berbagai kejahatan bukan politik, seperti penyelundupan, judi buntut, bahkan pemalsuan pestisida? Penggunaan undang-undang antisubversi itu harus sangat selektif. Harus dilihat bobot perkara, latar belakang, modus operandi dan akibatnya. Tidak bisa main hantam-kromo. Kalau kita bisa membunuh nyamuk dengan sapu lidi, kenapa harus dengan kanon. Pendahulu Anda mempunyai ciri khas dalam penegakan hukum. Ali Said, misalnya, gencar menggebrak penyelundupan, sedangkan Ismail Saleh menggasak korupsi, dan Hari Soeharto lebih menekankan subversi. Anda sendiri? Kekhasan yang bagaimana? Pokoknya, mencegah dan menindak tegas segala penyelewengan yang menghambat pembangunan. Baik itu subversi, korupsi, penyelundupan, maupun kejahatan yang meresahkan masyarakat. Hanya saja, bagi saya, upaya preventif lebih utama daripada represif. Coba saja, kalau sudah terjadi korupsi, pengalaman menunjukkan bahwa mengembalikan kerugian negara luar biasa sulitnya. Kalaupun bisa, tak sampai 10%. Begitu juga penyelundupan. Kasus manipulasi SE Rp 43 milyar, contohnya. Sudah habis materi dan energi, sampai mengejar si pelaku ke luar negeri. Yang bisa disita cuma rumah dan gudang, yang tak ada artinya. Bagaimana pendapat Anda tentang penegakan hukum, yang sampai kini masih dirasakan masyarakat belum adil? Sebagai penuntut umum, jaksa harus bisa menghayati rasa keadilan masyarakat. Antara aparat penegak hukum harus ada kesamaan persepsi. Untuk itu, perlu ada koordinasi dan komunikasi. Saya akan mengusulkan forum Makehjapol (mahkamah agung, kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian) agar diintensifkan. Apa pendapat Anda tentang perpecahan Ikadin? Ya, prihatin. (Singgih menunjuk karangan bunga dan ucapan selamat yang baru diterimanya dari Ikadin). Advokat kan partner jaksa dalam mencari kebenaran. Kalau advokat kacau begitu, masyarakat juga bisa bingung. Mudah-mudahan, selaku pembina, Pak Ismail bisa mengatasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini