Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gemerincing pedang saddam

Saddam hussein menjadi brutal dan ambisi kekuasaan. ia ingin menjadikan irak sbg superpower arab. pan-arab & nasionalisme arab sudah berakhir.israel semakin kejam.invasi irak ke kuwait lebih kompleks

11 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sebuah pidato, Saddam Hussein, Presiden Irak berkata, "... jika ada seekor serangga mencoba masuk. Irak atau mencoba melakukan agresi terhadap Irak, akan kami potong ekornya dari punggungnya, kepalanya dari tubuhnya, dan hanya akan kami sisakan perutnya." Serangga yang dimaksudkan Saddam adalah Israel. Setelah Irak menggantung Farzad Bazoft, wartawan Inggris yang dianggap sebagai mata-mata April lalu, Saddam sesumbar bahwa setiap mata-mata musuh akan diremuk berkeping-keping, dan supaya setiap negara segera menarik mata-matanya yang ditempatkan di Irak. Yang lebih menggemparkan adalah pernyataan Saddam akhir Mei lalu, bahwa Irak akan membakar separuh wilayah Israel, bila negara Zionis ini berani menyerang Irak. Keberhasilan Irak menahan gempuran Iran dalam perang mereka selama delapan tahun memang berakibat banyak hal. Ekonomi Irak morat-marit, tetapi kekuatan militernya menjadi yang terdahsyat di dunia Arab. Rudal yang dimiliki Bagdad, mulai dari Exocet, East Wind, Silkworm, Scud, al-Hussein, al-Abbas Tammous, sampai roket al-'Abid, adalah persenjataan canggih yang membuat negara-negara Arab, bahkan Israel, waswas. Saddam Hussein sendiri jadi semakin mabuk kekuasaan. Sebelas tahun silam, ia sudah menampakkan brutalitasnya. Sejumlah perwira senior dibunuh atas perintahnya, dan kaset video penjagalan itu disiarkan ke semua kedutaan besar Irak di luar negeri. Amnesti Internasional pernah melaporkan: beberapa puluh anak sekolah Irak digiring di satu tempat, kemudian diberondong peluru tentara Saddam, "karena tidak setia pada negara". Senjata kimia Saddam bukan saja membunuh tentara Iran, tetapi membunuh sekitar 4.000 rakyat Irak sendiri, rakyat yang kebetulan berlatar belakang etnisitas Kurdi. Jadi, bukan suatu berita bila Saddam mengeksekusi lebih dari seratus perwiranya yang menentang invasi ke Kuwait minggu lalu. Setelah usainya Perang Iran-Irak, Saddam ingin menjadikan Irak sebagai superpower Arab. Invasi Irak ke Kuwait minggu lalu bisa saja didorong oleh motif-motif ekonomi dan agar rakyat Irak melupakan politik yang represif di dalam negeri. Tetapi penguasaan atas Kuwait, bagi Saddam, merupakan bukti kekuatan dan keberanian Irak untuk menjadi negara superkuat Arab. Seperti disiratkan dalam pernyataan-pernyataannya di atas Saddam sedang menggemerincingkan pedangnya ke arah Israel. Apakah Saddam tidak terlalu pagi menantang Israel dan percaya diri secara berlebihan, dan apakah dia tidak salah kalkulasi dengan memulai petualangan yang sangat berbahaya atas Kuwait, barangkali perlu pembahasan panjang. Tetapi yang jelas dan pasti, peta politik Timur Tengah berubah dramatis dengan invasi Irak atas Kuwait. Para pemimpin Arab khususnya perlu menanyakan kembali apakah masih relevan berbicara soal qaumiyya atau nasionalisme Arab. Pada 1979 dengan berdamai langsung dengan Israel lewat Persetujuan Camp David, Mesir dituduh mengkhianati nasionalisme Arab. Bila Camp David membuat pingsan qaumiyya Arab, invasi Irak ke Kuwait barangkali telah membunuhnya. Pan-Arab dan nasionalisme Arab nampaknya sudah berakhir. Nasionalisme Arab itu mencakup sejumlah nilai dan preferensi yang dipegang bersama dalam rangka mencapai kesatuan dunia Arab, atau setidak-tidaknya koordinasi terpadu yang memungkinkan negara-negara Arab terbebas dari dominasi eksternal dan dari sisa-sisa pendudukan asing. Bila satu negara Arab menduduki negara Arab lain, kita sulit mencari istilahnya. Tidak ada dalam kamus politik Arab. Naga-naganya, di masa depan yang berlaku adalah wataniwa Arab, sikap menomorsatukan kepentingan nasional per negara di atas segalanya. Qaumiyya paling banter dapat dijadikan slogan pemanis dalam retorika. Substansinya sudah dikubur oleh Saddam Hussein, yang justru paling getol meneriakkan nasionalisme Arab lewat Partai Baath-nya. Dengan menduduki Kuwait, Saddam pada hakikatnya sedang mengucapkan selamat tinggal pada nasionalisme Arab. Akibat pertentangan Arab vs Arab, nasib PLO dan bangsa Palestina serta revolusi intifadah-nya jelas makin memprihatinkan. Tiga mantan teroris yang sekarang mendominasi kabinet Israel, Yitzhak Shamir, Ariel Sharon, dan David Levy, akan lebih leluasa menggencet intifadah. Israel hampir dapat dipastikan akan makin kejam dalam "menegakkan keamanan" di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan relatif bebas dari pengawasan negara-negara Arab dan masyarakat internasional pada umumnya. Fokus perhatian internasional akan lebih ditujukan pada krisis Teluk, sedangkan gendarme Israel dapat bebas luas meneruskan teror rutinnya atas orang-orang Palestina di wilayah pendudukan Israel. Peta lain yang penting adalah masuknya imigran Yahudi Soviet secara besar-besaran ke Israel, dan oleh Sharon, sebagai menteri perumahan, sebagian besar mereka akan ditempatkan di Tepi Barat. Sampai akhir tahun ini jumlah imigran dari Soviet itu akan mencapai 300 ribu, sedangkan yang masih antre di Uni Soviet sekitar satu juta. Lagi-lagi, karena negara-negara Arab sedang repot ke dalam, urusan imigran Soviet yang menjadi keprihatinan serius bagi bangsa Palestina lantas menjadi periferal. Bila rencana Sharon terus berjalan, yang terjadi adalah proses radikalisasi PLO. Pada 20 Juni lalu George Bush sudah menghentikan dialog langsung Amerika-PLO karena suatu dalih. Sikap moderat Arafat dan teman-temannya ternyata belum juga membuahkan hasil. Arafat sudah melakukan striptease politik, semua yang diminta Amerika praktis sudah dilakukan. Berhubung hasilnya tetap nihil, para penggerak intifadah dan sejumlah tokoh PLO semakin frustrasi. Menghadapi Shamir-Sharon-Levy yang superkeras, ada kemungkinan kekerasan mewarnai kembali konflik Israel-Palestina. Usainya perang dingin ternyata tidak menjamin stabilitas politik dan militer di berbagai kawasan, terutama di Timur Tengah. Setelah perang dingin selesai, negara-negara superkuat tidak lagi memiliki pengaruh penting bagi bekas-bekas kliennya. Apalagi dengan makin kuatnya ekonomi beberapa negara di Timur Tengah, mereka makin bebas membeli senjata dari mana saja. Langkah-langkah politik luar negerinya juga semakin leluasa. Sepuluh tahun lalu, misalnya, Irak memerlukan anggukan Moskow untuk menyerang Kuwait. Hal itu tidak lagi diperlukan sekarang. Invasi Irak ke Kuwait barangkali adalah awal dari perubahan peta Timur Tengah yang lebih kompleks, dan sekaligus lebih berbahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus