Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Yang hidup dari tenis

Tenis kini mulai jadi bisnis di indonesia. pemain amatir, pelatih tenis dan lapangan tenis, semuanya bisa menghasilkan uang. lita sugiarto beserta suaminya membuka sekolah tenis.(or)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENNIS pro? Itu tak bermanfaat bagi bangsa," kata Ketua I Pelti Persatuan Lawn Tennis Indonesia) Sudiono. Alasannya ialah petennis profesional tak mungkin lagi membawa nama negara ke SEA Games dan Asian Games. Sedang jalan masih terbuka bagi petennis amatir mencari uang. Caranya? Ketua Federasi Lawn Tennis Asia pernah memprotes Pelti karena pemain yang diturunkannya di Asian Games, Bangkok 1978, pernah menerima uang dari Kejuaraan Terbuka Manila. Setelah berdebat bahwa uang itu untuk Pelti bukan untuk pemain, persoalan jadi beres. Tentu saja uang hadiah suatu pertandingan tennis kemudian secara diam-diam diserahkan kepada pemain yang memenangkannya. Bukan cuma di luar negeri pemain Pelti menerima uang. Pada Kejuaraan Sirkuit Jawa tahun 1978 dan 1979, dua kali Yustedjo Tarik merebut hadiah Rp 600.000 di nomor tunggal. Yolanda Sumarno pun mengantungi hadiah Rp 400.000 di nomor wanita. Yolanda berpasangan dengan Lita Sugiarto dan masing-masing menerima Rp 250.000 pekan lalu ketika melawan Mariana Borg dan Anne Hobbes, walau kalah (3-6 7-6, 6-7). Pasangan wanita Pelti itu jelas menerima jauh lebih kecil dibanding lawan mereka yang benar-benar profesional. "Kalau sudah masuk 100 besar Wimbledon, seorang pemain tennis sudah bisa hidup," kata Anne Hobbes kepada TEMPO di Senayan. Lita Sugiarto yang pernah menduduki ranking 22 Wimbledon pernah tergiur masuk prof, tapi ia mengingat prestasinya terbentuk berkat bantuan Pelti. "Lagipula di Indonesia kesempatan untuk pertandingan profesional masih kurang," katanya. Bersama suaminya, Sugiarto yang bekas kampiun tennis juga, Lita membuka sekolah tennis di Senayan. Keluarga dengan satu anak itu menyewa satu unit flat dan empat lapangan keras (semen) dari Yayasan Gelora Senayan. Anak-anak yang ditangani mereka berusia sekitar 10 tahun. "Jumlah mereka 45, sementara di waiting list (daftar tunggu) juga banyak," tutur Lita. Seorang anak yang belajar di situ mengaku membayar Rp 20.000 sebulan. Kalau benar begitu, penghasilan keluarga Sugiarto Rp 900.000 sebulan. Itu jumlah kotor yang harus dipotong sewa lapangan (Rp 2.500 per lapangan selama empat jam) dan lain-lain. "Pelatih tennis? Itu pekerjaan enak," kata Soffyan dari Pelti Sum-Ut. "Ada pelatih yang mampu beristri dua," katanya. Tentu saja tidak semuanya. Reinders, pelatih Pelti di Medan yang berpengalaman, bukan hidup melulu sebagai pelatih. Iuran Rp 10.000 sebulan dari 52 muridnya dianggapnya cuma penghasilan tambahan. Pria Indo berusia 61 tahun itu seorang arsitek bangunan. Di Bandung ada sekolah tennis pimpinan Mayjen (purn.) Rusli didirikan empat tahun lalu, sekolahnya menampung 250 murid usia 8-17 tahun dalam tujuh kelas dengan bimbingan 18 guru. Sampai kelas III (tiap kelas ditempuh enam bulan), murid diberi latihan dasar dengan banyak bimbingan guru. Selanjutnya mereka disuruh berlatih sendiri. Donny Dober (40 tahun) meninggalkan status karyawannya di Pemda DKI karena sebagai guru tennis ia berpenghasilan Rp 400.000 sebulan. Ayah lima anak itu mengaku pemah mengikuti coaching clinic dari orang Australia Lexprinsen, dan orang Amerika, Macoordie. Orang berminat belajar dan berolahraga tennis dengan macam-macam alasan. Di Medan, banyak pengusaha nonpri main tennis untuk berkenalan dengan pejabat pemerintah. Pemain tennis umumnya memang dari kalangan menengah sampai ke eselon menteri atau jenderal. Di Jakarta, misalnya, Menteri PAN Sumarlin berolahraga tennis dua kali seminggu pukul 6-7 di lapangan Wisma Yani. Tak Pernah Kosong "Suatu perusahaan langganan kami mengaku bahwa biaya pengobatan karyawannya turun 42,5% setelah ada olah raga tennis di kantor," kata Johnny Hutagalung, direktur lapangan tennis di Monas, milik DKI Jaya. Ada pula yang berpendapat bahwa kegemaran bermain tennis meningkat karena TVRI sering memberitakannya. Kegandrungan orang main tennis tentu saja menguntungkan pengusaha lapangan. Jadwal jam sewa di 16 lapangau Yayasan Gelora Senayan dari pagi hingga jam 24.00 tak pernah kosong sekarang. Tarif sewa pukul 6-10 pagi ialah Rp 3.500, ditambah Rp 1.000 per jam bila diperpanjang hingga pukul 14.00. Tarif sore (jam 2) Rp 5.000. Malam hari (jam 7-10) Rp 7.000, dan bisa diperpanjang hingga pukul 24.00 dengan tarif Rp 1.000 per jam. Pemerintah DKI yang telah membangun banyak sarana olahraga tampaknya mulai mencari uang dari bisnis lapangan tennis ia membuka lapangan yang disewakan di Senayan, Lebakbulus, Rawamangun dan lain-lain. Lapangan di Monas, yang semula dibangun dan dikelola Yayasan Olahraga Kita (YOK) dengan izin 10 tahun sejak tahun lalu diambilalih. Tarif sewa di situ Rp 2.000 untuk sekali pakai. Dalam sebulan 12 lapangan dinas itu menghasilkan Rp 34 juta. Hotel-hotel pun sudah biasa menyewakan lapangan tennis (sebagaimana kolam renangnya) kepada umum. Ada pula klub yang telah terjun ke bisnis lapangan. PORES (Perkumpulan Olah-raga Embong Sawo) di Surabaya, misalnya, mengelola 13 lapangan (termasuk tiga lapangan rumput) di kota itu anggota klub itu membayar uang pangkal (Rp 65.000 tarif WNA, Rp 50.000 tarif perorangan swasta, Rp 15.000 untuk pegawai negeri dan pelajar) dan sewa lapangan termasuk tip untuk ball boys sebesar Rp 4.000 sekali pakai. Eman di Bandung benar-benar jadi pengusaha lapangan. Sekarang ia telah membangun sport centre di Jalan Soekarno-Hatta. Akan diresmikan April mendatang, enam lapangan tennis di situ sudah ramai dipakai oleh 60 klub. Keuntungannya bersih rata-rata Rp 900.000 sebulan. "Mengurus lapangan tennis itu mirip usaha apotek," kata seorang direktur lapangan. "Kalau dulu diperlukan promosi, sekarang langganan merasa butuh untuk datang sendiri." Bisnis lapangan tennis ini ikut membagi rezeki. Di 40 lapangan Pelti Medan, misalnya, Reinders mengkaryakan 320 gadis pemungut bola. "Sehari dapat Rp 400," kata seorang gadis keturunan India di lapangan Kebon Bunga Medan. Di Senayan, Yayasan Gelora tidak menggaji pemungut bola. "Setiap lapangan sudah punya lima kacung bola," kata Sadikun yang telah tiga tahun jadi ball boy di sini. Pada pertandingan Borg-Gerulaitis pekan lalu ia mengaku dapat rezeki nomplok karena dibayar Rp 7.500. "Tarif kacung bola Rp 750 untuk satu lapangan. Setelah dibagi-bagi, satu hari saya biasanya mendapat rata-rata Rp 1.500," kata Sadikun. Di lapangan Monas, kacung bola berstatus karyawan lepas, dengan gaji paling kecil Rp 24.000 sebulan. "Daripada mereka jadi tukang todong di stasiun Gambir, lebih baik saya beri kerja," kata Direktur Hutagalung. Menurut cerita direktur yang masih kuliah di STO Jakarta itu, mereka diberi pula kesempatan berlatih tennis pada jam lowong (tengah hari). Akhir bulan mereka disuruh bertanding. "Juaranya dapat bahan celana, dan ia berhak jadi pelatih bagi penyewa lapangan yang butuh pelatih. Tarif pelatih ini Rp 2.000 per jam, yang saya potong Rp 150 untuk kas tunjangan hari raya," cerita Hutagalung. Memang banyak kacung bola sudah bisa melatih. Lita Sugiarto pun memakai delapan pelatih "bekas kacung bola" dengan gaji Rp 1.000 sehari. Mungkinkah dilahirkan kampiun tennis dari murid pelatih seperti itu. "Tak bisa," jawab Lita. "Mereka sekedar membantu memberikan contoh kepada anak-anak bagaimana memukul bola sebenarnya. Tak mungkin semua murid saya awasi langsung, mesti ada yang temani. Saya sendiri yang menerangkan mengapa teknik memukul harus begini, metode latihan pun saya yang susun," ujar Lita. Dengan sekolah tennis di mana-mana, pemain remaja sudah mulai muncul di tingkat nasional. Tintus (19 tahun), misalnya, dari klub POTES Surabaya, sudah ikut memperkuat tim Davis Cup Pelti. Ia termasuk kelompok 20 pemain junior yang dilatih Lennarts Bergelin, pelatih Borg, di lapangan Hotel Hilton pekan lalu. "Sekolah tennis tidak cukup. Anda bisa memiliki pemain juara klub atau sekolah, tapi tidak mungkin juara internasional kalau tak pernah bertanding. Banyak turnamen perlu diberikan untuk anak-anak ini," kata Bergelin kepada TEMPO. Hal ini pun disadari Pelti. Ketika Ibnu Sutowo masih Direktur Utama Pertamina dan menjadi pengurus Pelti, Lita Sugiarto dan Lanny Kaligis pernah dikirim selama delapan bulan melawat ke AS dan Eropa. Hasilnya lumayan, bisa lolos kualifikasi Wimbledon, walau gugur di babak penyisihan "Kejuaraan Dunia" itu. Di kalangan putra, Ketua Umum Jonosewojo pernah berniat mengirim Yustedjo Tarik berlatih ke Australia, tapi petennis itu terhalang hanya karena soal bahasa. Sebelum dua wanita tadi, almarhum Tan Lit Tjiau, pemain pria, dari Indonesia yang pernah mencapai Wimbledon. Tapi "Wimbledon tidak cukup dijadikan target," kata Bergelin lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus