TENNIS pro? Itu tak bermanfaat bagi bangsa," kata Ketua I Pelti
Persatuan Lawn Tennis Indonesia) Sudiono. Alasannya ialah
petennis profesional tak mungkin lagi membawa nama negara ke SEA
Games dan Asian Games. Sedang jalan masih terbuka bagi petennis
amatir mencari uang. Caranya?
Ketua Federasi Lawn Tennis Asia pernah memprotes Pelti karena
pemain yang diturunkannya di Asian Games, Bangkok 1978, pernah
menerima uang dari Kejuaraan Terbuka Manila. Setelah berdebat
bahwa uang itu untuk Pelti bukan untuk pemain, persoalan jadi
beres.
Tentu saja uang hadiah suatu pertandingan tennis kemudian secara
diam-diam diserahkan kepada pemain yang memenangkannya. Bukan
cuma di luar negeri pemain Pelti menerima uang. Pada Kejuaraan
Sirkuit Jawa tahun 1978 dan 1979, dua kali Yustedjo Tarik
merebut hadiah Rp 600.000 di nomor tunggal. Yolanda Sumarno pun
mengantungi hadiah Rp 400.000 di nomor wanita.
Yolanda berpasangan dengan Lita Sugiarto dan masing-masing
menerima Rp 250.000 pekan lalu ketika melawan Mariana Borg dan
Anne Hobbes, walau kalah (3-6 7-6, 6-7). Pasangan wanita Pelti
itu jelas menerima jauh lebih kecil dibanding lawan mereka yang
benar-benar profesional.
"Kalau sudah masuk 100 besar Wimbledon, seorang pemain tennis
sudah bisa hidup," kata Anne Hobbes kepada TEMPO di Senayan.
Lita Sugiarto yang pernah menduduki ranking 22 Wimbledon
pernah tergiur masuk prof, tapi ia mengingat prestasinya
terbentuk berkat bantuan Pelti. "Lagipula di Indonesia
kesempatan untuk pertandingan profesional masih kurang,"
katanya.
Bersama suaminya, Sugiarto yang bekas kampiun tennis juga, Lita
membuka sekolah tennis di Senayan. Keluarga dengan satu anak itu
menyewa satu unit flat dan empat lapangan keras (semen) dari
Yayasan Gelora Senayan. Anak-anak yang ditangani mereka berusia
sekitar 10 tahun. "Jumlah mereka 45, sementara di waiting list
(daftar tunggu) juga banyak," tutur Lita.
Seorang anak yang belajar di situ mengaku membayar Rp 20.000
sebulan. Kalau benar begitu, penghasilan keluarga Sugiarto Rp
900.000 sebulan. Itu jumlah kotor yang harus dipotong sewa
lapangan (Rp 2.500 per lapangan selama empat jam) dan lain-lain.
"Pelatih tennis? Itu pekerjaan enak," kata Soffyan dari Pelti
Sum-Ut. "Ada pelatih yang mampu beristri dua," katanya. Tentu
saja tidak semuanya.
Reinders, pelatih Pelti di Medan yang berpengalaman, bukan hidup
melulu sebagai pelatih. Iuran Rp 10.000 sebulan dari 52
muridnya dianggapnya cuma penghasilan tambahan. Pria Indo
berusia 61 tahun itu seorang arsitek bangunan.
Di Bandung ada sekolah tennis pimpinan Mayjen (purn.) Rusli
didirikan empat tahun lalu, sekolahnya menampung 250 murid usia
8-17 tahun dalam tujuh kelas dengan bimbingan 18 guru. Sampai
kelas III (tiap kelas ditempuh enam bulan), murid diberi latihan
dasar dengan banyak bimbingan guru. Selanjutnya mereka disuruh
berlatih sendiri.
Donny Dober (40 tahun) meninggalkan status karyawannya di Pemda
DKI karena sebagai guru tennis ia berpenghasilan Rp 400.000
sebulan. Ayah lima anak itu mengaku pemah mengikuti coaching
clinic dari orang Australia Lexprinsen, dan orang Amerika,
Macoordie.
Orang berminat belajar dan berolahraga tennis dengan macam-macam
alasan. Di Medan, banyak pengusaha nonpri main tennis untuk
berkenalan dengan pejabat pemerintah. Pemain tennis umumnya
memang dari kalangan menengah sampai ke eselon menteri atau
jenderal. Di Jakarta, misalnya, Menteri PAN Sumarlin berolahraga
tennis dua kali seminggu pukul 6-7 di lapangan Wisma Yani.
Tak Pernah Kosong
"Suatu perusahaan langganan kami mengaku bahwa biaya pengobatan
karyawannya turun 42,5% setelah ada olah raga tennis di
kantor," kata Johnny Hutagalung, direktur lapangan tennis di
Monas, milik DKI Jaya. Ada pula yang berpendapat bahwa
kegemaran bermain tennis meningkat karena TVRI sering
memberitakannya.
Kegandrungan orang main tennis tentu saja menguntungkan
pengusaha lapangan. Jadwal jam sewa di 16 lapangau Yayasan
Gelora Senayan dari pagi hingga jam 24.00 tak pernah kosong
sekarang. Tarif sewa pukul 6-10 pagi ialah Rp 3.500, ditambah Rp
1.000 per jam bila diperpanjang hingga pukul 14.00. Tarif sore
(jam 2) Rp 5.000. Malam hari (jam 7-10) Rp 7.000, dan bisa
diperpanjang hingga pukul 24.00 dengan tarif Rp 1.000 per jam.
Pemerintah DKI yang telah membangun banyak sarana olahraga
tampaknya mulai mencari uang dari bisnis lapangan tennis ia
membuka lapangan yang disewakan di Senayan, Lebakbulus,
Rawamangun dan lain-lain. Lapangan di Monas, yang semula
dibangun dan dikelola Yayasan Olahraga Kita (YOK) dengan izin
10 tahun sejak tahun lalu diambilalih. Tarif sewa di situ Rp
2.000 untuk sekali pakai. Dalam sebulan 12 lapangan dinas itu
menghasilkan Rp 34 juta.
Hotel-hotel pun sudah biasa menyewakan lapangan tennis
(sebagaimana kolam renangnya) kepada umum. Ada pula klub yang
telah terjun ke bisnis lapangan. PORES (Perkumpulan Olah-raga
Embong Sawo) di Surabaya, misalnya, mengelola 13 lapangan
(termasuk tiga lapangan rumput) di kota itu anggota klub itu
membayar uang pangkal (Rp 65.000 tarif WNA, Rp 50.000 tarif
perorangan swasta, Rp 15.000 untuk pegawai negeri dan pelajar)
dan sewa lapangan termasuk tip untuk ball boys sebesar Rp 4.000
sekali pakai.
Eman di Bandung benar-benar jadi pengusaha lapangan. Sekarang
ia telah membangun sport centre di Jalan Soekarno-Hatta. Akan
diresmikan April mendatang, enam lapangan tennis di situ sudah
ramai dipakai oleh 60 klub. Keuntungannya bersih rata-rata Rp
900.000 sebulan.
"Mengurus lapangan tennis itu mirip usaha apotek," kata seorang
direktur lapangan. "Kalau dulu diperlukan promosi, sekarang
langganan merasa butuh untuk datang sendiri."
Bisnis lapangan tennis ini ikut membagi rezeki. Di 40 lapangan
Pelti Medan, misalnya, Reinders mengkaryakan 320 gadis pemungut
bola. "Sehari dapat Rp 400," kata seorang gadis keturunan India
di lapangan Kebon Bunga Medan.
Di Senayan, Yayasan Gelora tidak menggaji pemungut bola. "Setiap
lapangan sudah punya lima kacung bola," kata Sadikun yang telah
tiga tahun jadi ball boy di sini. Pada pertandingan
Borg-Gerulaitis pekan lalu ia mengaku dapat rezeki nomplok
karena dibayar Rp 7.500. "Tarif kacung bola Rp 750 untuk satu
lapangan. Setelah dibagi-bagi, satu hari saya biasanya mendapat
rata-rata Rp 1.500," kata Sadikun.
Di lapangan Monas, kacung bola berstatus karyawan lepas, dengan
gaji paling kecil Rp 24.000 sebulan. "Daripada mereka jadi
tukang todong di stasiun Gambir, lebih baik saya beri kerja,"
kata Direktur Hutagalung. Menurut cerita direktur yang masih
kuliah di STO Jakarta itu, mereka diberi pula kesempatan
berlatih tennis pada jam lowong (tengah hari). Akhir bulan
mereka disuruh bertanding. "Juaranya dapat bahan celana, dan ia
berhak jadi pelatih bagi penyewa lapangan yang butuh pelatih.
Tarif pelatih ini Rp 2.000 per jam, yang saya potong Rp 150
untuk kas tunjangan hari raya," cerita Hutagalung.
Memang banyak kacung bola sudah bisa melatih. Lita Sugiarto pun
memakai delapan pelatih "bekas kacung bola" dengan gaji Rp 1.000
sehari. Mungkinkah dilahirkan kampiun tennis dari murid pelatih
seperti itu. "Tak bisa," jawab Lita. "Mereka sekedar membantu
memberikan contoh kepada anak-anak bagaimana memukul bola
sebenarnya. Tak mungkin semua murid saya awasi langsung, mesti
ada yang temani. Saya sendiri yang menerangkan mengapa teknik
memukul harus begini, metode latihan pun saya yang susun," ujar
Lita.
Dengan sekolah tennis di mana-mana, pemain remaja sudah mulai
muncul di tingkat nasional. Tintus (19 tahun), misalnya, dari
klub POTES Surabaya, sudah ikut memperkuat tim Davis Cup Pelti.
Ia termasuk kelompok 20 pemain junior yang dilatih Lennarts
Bergelin, pelatih Borg, di lapangan Hotel Hilton pekan lalu.
"Sekolah tennis tidak cukup. Anda bisa memiliki pemain juara
klub atau sekolah, tapi tidak mungkin juara internasional kalau
tak pernah bertanding. Banyak turnamen perlu diberikan untuk
anak-anak ini," kata Bergelin kepada TEMPO.
Hal ini pun disadari Pelti. Ketika Ibnu Sutowo masih Direktur
Utama Pertamina dan menjadi pengurus Pelti, Lita Sugiarto dan
Lanny Kaligis pernah dikirim selama delapan bulan melawat ke AS
dan Eropa. Hasilnya lumayan, bisa lolos kualifikasi Wimbledon,
walau gugur di babak penyisihan "Kejuaraan Dunia" itu.
Di kalangan putra, Ketua Umum Jonosewojo pernah berniat mengirim
Yustedjo Tarik berlatih ke Australia, tapi petennis itu
terhalang hanya karena soal bahasa. Sebelum dua wanita tadi,
almarhum Tan Lit Tjiau, pemain pria, dari Indonesia yang pernah
mencapai Wimbledon. Tapi "Wimbledon tidak cukup dijadikan
target," kata Bergelin lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini