BELUM ada keputusan: apakah bantuan CCF (Christian Children
Fund) kepada yayasan-yayasan sosial muslim di Lombok Timur
benar dihentikan. Bukan apa-apa suara pro-kontra terhadap
bantuan luar negeri yang memakai nama Kristen ini, di paruh
kedua Februari sudah lebih memberat ke pihak yang menolak. Tapi
tak akan menarik kiranya kalau tidak salah seorang dekan di
IAIN Mataram (cabang Surabaya) tersangkut: Drs. Mahsun, yang
juga anggota Majelis Ulama. Ia penasihat salah satu yayasan yang
menerima bantuan itu, Yayasan Kasih Sayang yang milik masyarakat
muslim.
Memang ada ketegangan ala kadarnya. Ada pernyataan menolak dari
33 orang, ditujukan kepada Bupati Lombok Timur. Dan awal
Februari bahkan Gubernur NTB, Gatot Suherman, mencoba
mengakurkan dua pihak yang berbeda paham itu -- dengan terpaksa
mempertemukan mereka secara terpisah.
Sementara itu sebagian orang tua yang anaknya menerima santunan,
pada mengundurkan diri. Termasuk seorang kepala SD yang juga
karyawan tata usaha Yayasan Kasih Sayang. Ada pula dua orang
yang meninggal di Rensing Timur, yang hampir saja tidak
dilayat. semata-mata karena ia "keluarga CCF." Sebamatan Sakra,
dan Desa Lenek di Kecamatan Aikmel, semuanya di Lombok Timur,
menerima bantuan dari organisasi yang berpusat di Richmond,
Virginia AS itu. Danini sudah terjadi pula di Jawa Timur, dan
mungkin di tempat-tempat lain. Padahal sebenarnya bantuan itu
"tidak langsung kepada klien," seperti dikatakan Drs. R. Soejoso
Soetomo Poetro, Kakanwil Departemen Sosial NTB.
Tapi yang dipersoalkan orang-orang: anak itu mendapat santunan
setelah potretnya dikirimkan dan dipajang di bagian anak malu
masuk sekolah karena diejek, dan seorang yang kebetulan ketua
persatuan orang tua murid memperkirakan SD tempat anaknya
sekolah lama-lama bisa tak laku kalau bantuan CCF belum
dihentikan.
Ini terjadi gara-gara 380 anak SD di Desa Rensing, Gunung Rajak,
Keca-Amerika, dan mendapat seorang bapak atau ibu angkat" yang
kemudian berhubungan surat menyurat dengan dia. Dan sebagian
surat itu memang "berbau Kristen" -- yang memaksa sebagian orang
tua mundur. Tentu, karena mereka menilainya sebagai propaganda
agama, atau "pembuka jalan". Penilaian ini terutama datang dari
organisasi Nahdlatul Wathon, pendukung utama Golkar, melalui
fatwanya setelah menyatakan meneliti proses pelaksanaan
perwalian dan hubungan selanjutnya.
"Menjual Potret"
Apa kata Drs. Mahsun sendiri, dekan di IAIN itu? "Anak-anak yang
disantuni itu 'kan tetap mendapat pelajaran agama Islam, bukan
Kristen," ujarnya akhir tahun lalu kepada TEMPO. Sedang CCI itu
organisasi yang bekerjasama dengan pemerintah, jadi bukan liar.
Tapi pihak NW sebaliknya bertanya, mengapa bantuan itu tidak
diterima saja oleh Pemda, dan yayasan-yayasan itu lantas
memperolehnya "dari pemerintah sendiri", "tanpa menjual potret
anak-anak kita" di negeri sana?
Gubernur sendiri, dalam pertemuan itu, berkata: "Kami tidak
mengira masalah ini akan menjadi ramai begini. Itulah sebabnya
saya izinkan dulu, dengan alasan kemanusiaan". Senada dengan itu
adalah kata-kata Drs. Mahsun di pertengahan Februari kemarin:
"Saya tidak mengerti terus terang, CCI itu milik Kristen. Saya
kira proyek PBB atau apa."
Dari pihak Pemda, Gubernur sendiri menyatakan sedang memikirkan
untuk menghidupkan kembali badan amil zakat. Juga untuk
memberikan kredit kerja kepada yayasan-yayasan sosial di
wilayahnya.
Tapi berapa sih bantuan yang diterima tiap anak, yang menjadikan
ribut itu? Sekitar Rp 4 ribu per bulan. Plus tabungan kira-kira
Rp 1 ribu. Alangkah miskinnya kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini