Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tahun Baru Cina atau yang juga disebut sebagai Hari Raya Imlek memiliki makna tersendiri bagi warga Tionghoa. Perayaan ini diisi oleh berbagai acara dan ritual, seperti membersihkan rumah, memberikan angpao, hingga menggunakan atribut serba merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun Baru Imlek 2025 berlangsung pada Rabu, 29 Januari lalu. Perayaan ini menjadi salah satu perayaan penting bagi orang Tionghoa seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ketika perayaan Imlek berlangsung, Pemerintah menetapkannya sebagai hari libur nasional setiap tahunnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat 22 tahun lalu, 1 Februari 2003, untuk pertama kalinya Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Ketetapan ini diputuskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002. Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional di Indonesia memiliki kisah yang panjang.
Sejarah Penetapan Imlek Sebagai Hari Libur Nasional
Sebelum ditetapkan sebagai hari libur nasional, orang Tionghoa Indonesia harus merayakan Tahun Baru Cina secara tertutup akibat belenggu rassisme di bawah kekuasaan Pemerintah Orde Baru. Pada saat itu terjadi penutupan sekolah berbahasa Cina, pelarangan memutar lagu Mandarin dan penggunaan huruf Cina. Puncaknya, ketika Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina diterbitkan oleh Pemerintah.
Ketika Reformasi 1998 bergulir, masa-masa suram bagi orang Tionghoa mulai sirna. Aturan-aturan diskriminatif komunitas Tionghoa pun mulai dicabut. Keterbukaan terhadap komunitas Tionghoa semakin menguat terutama di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Masyarakat Tionghoa mulai merasakan inklusifitas yang nyata sebab Presiden Gus Dur secara terbuka membela masyarakat Tionghoa dengan mengenalkan konsep kebangsaan miliknya.
Penetapan Imlek sebagai salah satu hari libur di Indonesia berlangsung pada saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tepatnya pada 9 April 2001. Hal ini merupakan sebuah keputusan revolusioner mengingat di era pemerintahan sebelumnya, yakni masa Orde Baru, ketika dilarangnya perayaan Imlek di tempat-tempat umum.
Selama lebih dari 30 tahun, yakni 1968-1999, umat Konghucu Indonesia melaksanakan perayaan Tahun Baru Cina tidak secara terbuka. Ketetapan ini dituangkan dalam Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Merespons hal tersebut, Presiden Gus Dur kemudian mencabut Inpres tersebut, dan mengeluarkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Keppres tersebut menjadi pintu awal umat Konghucu di Indonesia bisa memperoleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
Kemudian Gus Dur menindaklanjuti keputusan tersebut dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya, berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada 2002, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, keputusan ini ditindaklanjuti dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Karena kebijakan Gus Dur tersebut, pada 10 Maret 2004, Gus Dur memperoleh julukan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Predikat ini diberikan oleh masyarakat Tionghoa di Semarang pada saat perayaan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie.
Naomi A. Nugraheni dan Aditia Noviansyah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Peran Gus Dur Bikin Hari Raya Imlek Jadi Libur Nasional