Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 24 Juli 1981, Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, Buya Hamka. 43 tahun yang lalu, ulama, sastrawan, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini mengembuskan napas terakhirnya. Buya Hamka adalah sosok yang tidak hanya dihormati karena ilmu dan kebijaksanaannya tetapi juga dicintai karena ketulusan dan dedikasinya terhadap agama dan bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profil Buya Hamka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul Malik Karim Amrullah, yang dikenal dengan nama Hamka dan bergelar Datuk Indomo, lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat. Buya Hamka, begitu ia akrab disapa, merupakan seorang ulama dan sastrawan Indonesia ternama. Ia adalah anak sulung dari empat bersaudara, lahir dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Safiyah. Sewaktu kecil, ia mengikuti kepindahan keluarganya ke Padang Panjang.
Di Padang Panjang, pada tahun 1916, Buya Hamka bersekolah di sekolah desa dan mengikuti kelas agama sore hari. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang, dan ia dimasukkan ke sekolah tersebut untuk mendalami ilmu agama, bahasa, dan kitab-kitab klasik.
Selain pendidikan formal, Buya Hamka juga belajar agama di surau dan masjid dari ulama terkenal. Kecintaannya pada membaca memperkaya pengetahuannya dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik.
Dengan kemampuan menulisnya, Hamka berkontribusi pada sastra Indonesia melalui karya-karya seperti Si Sabariah, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Keahliannya dalam bahasa Arab memungkinkannya meneliti karya ulama dan pujangga Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, dan Abbas Al-Aqqad. Ia juga mengkaji karya sarjana Barat seperti Albert Camus, Karl Marx, dan Sigmund Freud melalui terjemahan bahasa Arab.
Kilas Balik Wafatnya Buya Hamka
Pada tahun 1981, setelah mengundurkan diri sebagai Ketua MUI, kesehatan Buya Hamka mulai memburuk. Mengikuti anjuran dokter, beliau dirawat inap di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Pada hari keenam perawatannya, beliau sempat melaksanakan salat Dhuha dengan bantuan putrinya untuk bertayamum.
Namun, pada siang harinya, dokter menyatakan bahwa Buya Hamka dalam keadaan koma karena ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi. Kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada 24 Juli 1981, pukul 10.37 WIB, dalam usia 73 tahun, keluarganya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung tersebut, dan tak lama kemudian, Buya Hamka mengembuskan napas terakhirnya.
Jenazah Buya Hamka disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III, di mana banyak pelayat datang untuk memberikan penghormatan terakhir, termasuk Soeharto, Adam Malik, dan Emil Salim. Setelah itu, jenazahnya disalatkan di Masjid Al Azhar sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Prosesi pemakaman dipimpin oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Di akhir hidupnya, Buya Hamka berhasil menginspirasi dan mempengaruhi generasi muda Islam untuk mengikuti jejaknya. Ia menyelesaikan karya besar, yaitu menulis Tafsir Al-Azhar yang terdiri dari 30 jilid. Ulama yang wafat pada usia 73 tahun ini meninggalkan tidak kurang dari 94 karya buku yang mencakup berbagai tema seperti sastra, agama, sejarah, dan filsafat. Tidak mengherankan jika masyarakat Indonesia mengenal Buya Hamka sebagai seorang sastrawan dan ulama terkemuka di Nusantara.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA I RACHEL FARAHDIBA REGAR
Pilihan Editor: Kisah Soekarno Minta Buya Hamka Menyalatkan Jenazahnya