Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

JPPI Nilai Usulan Kirim Anak Nakal ke Barak TNI Bisa Bangkitkan Trauma Militerisme

Upaya menggertak anak dengan ancaman pendekatan TNI justru bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya humanis.

28 April 2025 | 11.09 WIB

Ilustrasi TNI. ANTARA
Perbesar
Ilustrasi TNI. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritik pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengusulkan agar anak-anak yang dinilai nakal dikirim ke barak TNI untuk dididik. Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, gagasan tersebut tidak pantas dijadikan pendekatan untuk mengatasi anak-anak yang kurang motivasi belajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini bisa membangunkan trauma lama soal militerisme dalam ruang-ruang sipil. Bukan menjadi solusi, malah bisa menjadi intimidasi, terutama bagi anak-anak dan orang tua," ujar Ubaid saat dihubungi, Senin, 28 April 2025.

Menurut Ubaid, upaya menggertak anak dengan ancaman pendekatan militer justru bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya humanis, membangun rasa aman, dan memberdayakan anak. Ia mengingatkan pelibatan militer dalam ranah pendidikan sipil pernah meninggalkan luka sejarah di masa lalu yang tidak boleh diulang.

"Kenapa sekarang sedikit-sedikit harus melibatkan militer? Seakan-akan apa pun masalahnya, solusinya adalah TNI," kata dia.

Ubaid menilai bahwa masalah motivasi belajar pada anak tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan kekerasan atau intimidasi. Sebaliknya, ia mendorong agar sistem pendidikan diperbaiki agar lebih bermutu dan relevan dengan kebutuhan anak-anak masa kini.

"Lebih baik memperbaiki sistem pendidikan supaya benar-benar berkualitas, daripada menimbun masalah pendidikan yang nantinya akan menjadi masalah besar di masa depan," tutur Ubaid.

JPPI mengingatkan semua pihak, khususnya para pengambil kebijakan, untuk berhati-hati dalam melontarkan pernyataan publik terkait anak dan pendidikan. Menurut Ubaid, pendekatan yang keliru justru bisa memperparah ketidakpercayaan anak terhadap lembaga pendidikan dan negara.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menilai kekhawatiran keterlibatan TNI dalam kegiatan belajar mengajar di kampus akan membungkam kebebasan berekspresi mahasiswa sebagai hal yang berlebihan.

Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek Togar Mangihut Simatupang mengatakan kampus adalah ruang ilmiah terbuka yang menjalankan prinsip Tridharma perguruan tinggi. Menurutnya, kehadiran TNI di kampus bertujuan memberikan wawasan bela negara dan pendekatan teknologi pertahanan, bukan untuk membatasi ruang gerak akademik mahasiswa.

"TNI adalah salah satu unsur negara dan punya hak serta kompetensi untuk memberikan kontribusi, terutama dalam bidang bela negara dan teknologi pertahanan," kata Togar saat dihubungi, Ahad, 27 April 2025.

Ia menyebut keterbukaan informasi di era saat ini memungkinkan semua unsur, termasuk TNI, untuk berinteraksi dengan komunitas akademik dalam koridor validasi ilmiah yang dapat diuji. Karena itu, menurut Togar, anggapan bahwa keterlibatan TNI akan mengarah pada normalisasi kekuasaan di kampus tidak berdasar.

"Kekhawatiran soal normalisasi kelihatannya berlebihan, karena saat ini semua unsur punya kesempatan yang sama untuk berkembang, dan keterbukaan informasi memungkinkan validasi publik secara luas," ujarnya.

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta pada 2019. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus