Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menyayangkan keterlibatan individu di lembaga tinggi negara yang memperoleh jabatan profesor dengan melanggar aturan atau syarat yang berlaku. Kejadian ini, kata AIPI, merendahkan martabat insan akademik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan analisis AIPI, profesor adalah jabatan akademik bukan gelar. "Atribut profesor dianggap dapat meningkatkan status sosial, tanpa mempertimbangkan bahwa atribut itu mengandung implikasi dan tanggung jawab akademik," tulis AIPI melalui laman resmi mereka pada Sabtu, 13 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di Indonesia sendiri, pengangkatan jabatan profesor harus melalui birokrasi yang ketat. Meski begitu, praktik tidak etis dan pelanggaran akademis masih terjadi. Keganjilan gelar profesor para pesohor terbongkar di tengah pemeriksaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terhadap pengukuhan sebelas profesor Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Selain dosen, investigasi Tempo menemukan adanya kejanggalan pada gelar akademik milik sejumlah pesohor. Misalnya, gelar pendidikan sarjana maupun magister milik Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Meskipun keduanya sudah mengklaim perolehan gelar tersebut diperoleh dengan susah payah. Namun, prosesnya masih menjadi pertanyaan.
"Proses yang tidak transparan dan penuh kejanggalan ini mengandung banyak pertanyaan, dan dinilai telah mencederai keluhuran dunia akademik yang mengutamakan kejujuran, kebenaran, dan ketulusan," tulis AIPI.
AIPI memandang tokoh-tokoh non akademik selama ini dapat mempengaruhi lembaga pendidikan tinggi. Seharusnya, kata AIPI, lembaga pendidikan tinggi memiliki integritas yang kuat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal itu membuktikan adanya celah regulasi yang memberi peluang penyalahgunaan wewenang untuk berkompromi.
Menurut AIPI, lembaga pendidikan tinggi justru memfasilitasi tokoh-tokoh non-akademik untuk mencari jabatan profesor, dengan mengabaikan proses dan nilai akademik demi gengsi sesaat. AIPI khawatir jabatan itu berpotensi disalahgunakan.
"Daya rusak proses ilegal yang tidak disertai bukti perjalanan ilmiah ini sangat nyata, karena itu fenomena puncak gunung es ini harus diberantas sampai pada dasar penyebabnya," tulis AIPI.
Oleh karena itu, AIPI mengimbau agar ada restorasi atau pemulihan yang sistematis dan menyeluruh dalam dunia akademik. Pengakuan akademik sebaiknya berbasis merit atau kemampuan individu serta prestasi ilmiah.
Pemberian gelar diperuntukkan bagi individu yang dinilai telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan begitu, gelar akademik bertujuan untuk kemaslahatan, tidak sekedar demi kepentingan pribadi.