Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia Jenderal Agus Subiyanto mengubah nama kelompok kriminal bersenjata di Papua kembali menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Hanum Siregar menilai perubahan istilah itu sebagai cara TNI mendapat porsi lebih besar menangani konflik Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebutan KKB, menurut Latifah, menitikberatkan pada peran kepolisian menangani eskalasi konflik di Papua. “Apakah TNI merasa selama ini pengamanan diserahkan kepada polisi tapi prajurit TNI lebih banyak menjadi korban? Saya kira ini perlu dilihat,” ujarnya, Senin, 15 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TNI dan Polri sudah berulang kali mengganti label kelompok bersenjata di Papua. Pada masa pemerintahan Orde Baru menamami kelompok bersenjata di Papua sebagai OPM. Di masa Reformasi, lima kali pemerintah menggantinya, dari KKB, kelompok kriminal separatis bersenjata, kelompok separatis teroris, hingga kelompok teroris. Meski TNI mengubahnya, kepolisian memilih tetap menggunakan penyebutan KKB.
Latifah berpendapat penyematan cap kriminal terhadap kelompok bersenjata di Papua membuat polisi menjadi penanggung jawab operasi penegakan hukum. Polisi yang mendapat tugas dan kewenangan menangkap anggota kelompok bersenjata itu, lalu menyerahkannya ke pengadilan, sebagaimana penanganan kriminal atau sebuah kejahatan di lokasi lain di Indonesia.
Menurut Latifah, ada konsekuensi berbeda ketika kelompok bersenjata di Papua dinamai OPM dibanding KKB. Cap OPM itu disertai dengan kesimpulan bahwa kelompok bersenjata merupakan tentara atau kombatan. Sehingga, kata dia, penggunaan istilah OPM tersebut akan membuat TNI lebih leluasa melakukan operasi teritorial.
Masalahnya, kata Latifah, label tentara atau kombatan terhadap kelompok bersenjata seharusnya hanya berlaku dalam kondisi perang. “Sedangkan pemerintah Indonesia selama ini tidak menetapkan status Papua sebagai daerah operasi militer,” ujarnya. Karena itu, lanjut dia, perubahan penyebutan dari KKB ke OPM akan sekaligus berkonsekuensi penetapan status Papua ke dalam darurat militer.
Meski dalam kondisi perang, kata Latifah, TNI-Polri ataupun kelompok bersenjata di Papua tetap wajib mematuhi hukum humaniter internasional. Misalnya, kedua belah pihak harus melakukan peringatan dini, melindungi warga sipil, meminimalkan dampak konflik terhadap warga sipil, serta memperlakukan tawanan perang secara manusiawi. “Selama ini hal itu tak pernah dilakukan,” katanya.
Perubahan penyebutan kelompok bersenjata Papua menjadi OPM terjadi lewat telegram Panglima TNI kepada Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih dan Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari pada 5 April lalu. Sebelumnya, TNI menggunakan label kelompok separatis teroris (KST) terhadap kelompok bersenjata di Papua.
Penggantian istilah ini bersamaan dengan meningkatnya eskalasi konflik di Papua, di antaranya di Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Komandan Koramil 1703-04/Aradide Letnan Dua Infanteri Oktavianus Sogarlay tewas tertembak oleh kelompok bersenjata Papua di daerah Pasir Putih, Distrik Aradide, Kamis pekan lalu.
Prajurit Raider bersiap mengikuti apel pelepasan pasukan satgas Ops Pam Wil Obvitnas ke wilayah Papua di lapangan Batalion Infanteri Raider 631/ATG, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 28 Maret 2023. ANTARA/Makna Zaezar
Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Nugraha Gumilar menjelaskan tujuan penggantian sebutan itu untuk menegaskan bahwa OPM merupakan tentara atau kombatan. “Bila OPM tetap bertindak brutal, TNI mengambil tindakan tegas karena OPM adalah tentara atau kombatan sehingga berhak menjadi korban sesuai dengan hukum humaniter,” ujarnya, Ahad lalu.
Nugraha menegaskan TNI tidak akan mengubah pola pendekatan terhadap kelompok bersenjata di Papua meski mengganti sebutan dari KKB menjadi OPM. TNI, kata dia, tetap akan mengedepankan operasi teritorial dengan mengajak masyarakat membangun Papua.
Ia tidak merinci bentuk pendekatan prajurit TNI di lapangan. Nugraha berdalih kondisi di lapangan yang akan menentukan pendekatan TNI terhadap OPM. “TNI akan melakukan langkah tegas terhadap OPM yang bertindak brutal."
Pihak kepolisian tidak sependapat dengan penggantian nama kelompok bersenjata di Papua tersebut. Kepala Satuan Tugas Humas Operasi Damai Cartenz 2024 Ajun Komisaris Besar Bayu Suseno mengatakan kepolisian masih tetap menggunakan istilah KKB. Pertimbangannya, Polri masih melakukan operasi penegakan hukum di Papua. “Alasannya karena masih operasi penegakan hukum,” ucapnya, Senin kemarin.
Hingga saat ini pihak Istana belum merespons permintaan konfirmasi Tempo mengenai perubahan sebutan kelompok bersenjata di Papua tersebut. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana belum merespons pertanyaan Tempo soal ini.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden yang membidangi masalah Papua, Yusuf Hakim Gumilang, juga tak menjawab urusan tersebut. Dia berdalih penggantian sebutan tersebut merupakan urusan politik sehingga ia meminta agar mengkonfirmasinya ke Tenaga Ahli Utama KSP Mufti Makarim. Tapi Mufti belum merespons permintaan konfirmasi soal ini hingga kemarin malam.
Kegagalan Mengatasi Konflik Papua
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Hanum Siregar menilai penggantian berkali-kali terhadap sebutan kelompok bersenjata di Papua menjadi bukti kegagalan pemerintah merumuskan solusi penyelesaian konflik di sana. Selama ini pemerintah melakukan pendekatan keamanan dan pertahanan meski mengganti nama kelompok bersenjata tersebut. “Warga sipil akan terus menjadi korban bila pendekatan seperti ini terus dilakukan,” ucapnya.
Ia mengutip kesimpulan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia—kini melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—mengenai empat akar masalah di Papua, yakni integrasi Papua ke Indonesia, pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi orang Papua, serta kegagalan pembangunan di Papua. Ia juga menambahkan dua akar masalah konflik di Papua lainnya, yaitu adanya konflik horizontal dan eksploitasi sumber daya alam.
Peneliti utama BRIN mengkaji masalah Papua, Cahyo Pamungkas, menilai ada yang keliru dari penetapan istilah OPM terhadap kelompok bersenjata di Papua. Ia berpendapat, sebelum mengganti nama KKB menjadi OPM mengandung konsekuensi serius, yakni presiden mesti mendeklarasikan perang terhadap kelompok bersenjata tersebut lebih dulu.
Deklarasi perang ini wajib mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah itu, pemerintah pusat menetapkan Papua sebagai daerah operasi militer. “Karena tidak adanya penetapan (daerah operasi militer) itu, penetapan istilah OPM menjadi tidak sah,” ujarnya, Senin kemarin.
Baca Editorial:
Menurut Cahyo, selama ini pemerintah mengecap kelompok bersenjata di Papua sebagai kelompok kriminal. Label ini akan mendorong penanganan konflik Papua dengan penegakan hukum secara sipil, yakni penindakan oleh polisi. “Ujung tombak adalah Polri dan TNI diperbantukan."
Cahyo menjelaskan, ada konsekuensi berbeda ketika kelompok bersenjata di Papua disebut OPM. Sebutan baru ini akan disertai perubahan status operasi, dari penegakan hukum menjadi operasi militer. Sebab, OPM merujuk pada gerakan separatis.
Status operasi militer ini akan berakibat buruk terhadap warga sipil. Perang bersenjata di antara kedua pihak akan mengorbankan warga sipil hingga terjadi krisis kemanusiaan.
Cahyo menyangkal argumen Panglima TNI yang menyebut istlah OPM merupakan penyebutan oleh kelompok kriminal Papau sendiri. Menurut Cahyo, OPM sudah tidak ada secara organisasi. Saat ini kelompok pro-kemerdekaan Papua justru menggunakan beragam nama dengan pendekatan berbeda-beda dalam mencapai tujuannya. Misalnya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) memilih menggunakan cara kekerasan. Lalu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengedepankan gerakan politik tanpa kekerasan.
Pengamat dan penulis buku Torture and Peacebuilding in Indonesia: The Case of Papua, Budi Hernawan berpendapat perbedaan sebutan kelompok bersenjata di Papua oleh TNI dan Polri merupakan kebijakan internal masing-masing satuan keamanan. Meski begitu, penanganan semua kebijakan keamanan di Papua berada di tangan presiden. Pasal 17 Undang-Undang TNI mengatur bahwa presiden-lah yang berhak mengerahkan TNI dalam operasi militer perang ataupun operasi militer non-perang.
Budi mengatakan presiden bisa mengeluarkan peraturan presiden untuk menentukan arah kebijakan keamanan pada enam provinsi di Papua. Peraturan presiden tersebut wajib disetujui oleh DPR. “Kecuali dalam kondisi darurat, presiden bisa langsung memerintahkan TNI. Tapi dalam waktu 2 x 24 jam, presiden harus melaporkannya ke DPR,” katanya.
Satgas Damai Cartenz 2022 bersama Polres Pegunungan Bintang menggelar evakuasi dan olah TKP terhadap korban penyerangan serta pembunuhan yang dilakukan oleh OTK di Kampung Mangabib Distrik Oksebang, 5 Desember 2022. Dok Papua.polri.go.id
Pendekatan Dialog
Latifah Hanum meminta pemerintah mengedepankan pendekatan dialog untuk penyelesaian konflik di Papua. Pada tahap awal, kata dia, kedua pihak mesti menyepakati jeda kemanusiaan, yaitu menghentikan sementara kekerasan dan konflik bersenjata. Lalu kedua pihak dan tokoh kunci masyarakat berunding bersama.
Di samping itu, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi di Papua perlu merumuskan tata kelola keamanan di sana. Tujuannya untuk meminimalkan dampak konflik terhadap keselamatan warga sipil.
Cahyo Pamungkas sependapat dengan Latifah. Ia juga mengusulkan agar pemerintah mengedepankan pendekatan dialog dalam menangani konflik di Papua.
Ia mengatakan komitmen Presiden Joko Widodo untuk membangun kesejahteraan warga Papua hanya akan tercapai jika konflik diakhiri. “Kalau mau pembangunan untuk kesejahteraan, dialog dulu,” katanya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan lembaganya menghormati kewenangan pemerintah dalam merespons situasi di Papua, termasuk penggantian istilah kelompok bersenjata di sana menjadi OPM. Namun, kata dia, Komnas HAM menekankan bahwa standar perlindungan HAM dalam situasi konflik ataupun non-konflik adalah semua pihak harus menjamin keselamatan warga sipil.
Atnike menegaskan perlunya evaluasi pada tataran operasi, komando, dan pengendalian keamanan dalam setiap penanganan kekerasan bersenjata di Papua. Evaluasi tersebut diperlukan untuk memperbaiki kebijakan keamanan di Papua.
Komnas HAM, kata dia, mendorong pemerintah menggunakan pendekatan yang terukur dalam menghadapi kekerasan dan konflik di Papua. Hal ini penting untuk menjamin keselamatan dan perlindungan HAM warga sipil ataupun prajurit TNI dan Polri yang bertugas di lapangan.
Ia juga menegaskan bahwa penggunaan kekuatan berlebih dalam mengatasi konflik di Papua tanpa mempertimbangkan prinsip legalitas, nesesitas (berdasarkan kebutuhan), proporsionalitas, dan akuntabilitas akan menimbulkan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM juga akan terjadi jika negara tak dapat memastikan penegakan hukum yang adil bagi korban.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini