Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jokowi Diserbu Kritikan Buntut Berikan Prabowo Gelar Jenderal TNI Kehormatan, KontraS: Gelar yang Tidak Pantas

Sejumlah protes dan kritikan datang dari berbagai kalangan usai Jokowi memberikan gelar Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto.

1 Maret 2024 | 10.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah protes dan kritikan datang dari berbagai kalangan usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan gelar Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Penyematan tanda bintang empat untuk calon presiden nomor urut 02 itu dinilai bertentangan dengan Undang- Undang TNI ataupun Undang-Undang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas seperti apa tanggapan mereka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Presiden memberikan kenaikan pangkat secara istimewa kepada Prabowo di Gedung Olahraga Ahmad Yani, Markas Besar TNI, kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu, 28 Februari 2024. Kenaikan pangkat Prabowo ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tentang Penganugerahan Pangkat Secara Istimewa Berupa Jenderal TNI Kehormatan.

Jokowi mengatakan penganugerahan pangkat istimewa tersebut sudah sejalan dengan Undang-Undang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan. Mantan Wali Kota Solo ini merujuk pada Pasal 33 undang-undang tersebut terkait pemberian penghargaan berupa kenaikan pangkat secara istimewa. Keputusan presiden ini diteken Jokowi pada 21 Februari lalu.

Jokowi menyebut Prabowo pernah menerima Anugerah Bintang Yudha Dharma Utama pada 2022 atas jasanya di bidang pertahanan. Kepala negara menyangkal tudingan ada motif politik di balik pemberian Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo tersebut. “Ya, kalau transaksi politik, kita berikan sebelum pemilu. Ini kan setelah pemilu supaya tidak ada anggapan seperti itu,” katanya.

Berikut ragam tanggapan dari berbagai kalangan soal Jokowi  berikan Prabowo dengan gelar Jenderal TNI Kehormatan.

1. Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan

Dinukil dari Koran Tempo edisi Kamis, 29 Febuari 2024, Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan beleid TNI tidak mengenal istilah bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Kenaikan pangkat berupa bintang di pundak alias pangkat militer untuk perwira tinggi, kata dia, hanya berlaku untuk tentara aktif, bukan purnawirawan.

“Secara yuridis, kenaikan pangkat kehormatan (yang diberikan kepada Prabowo) itu tidak sah dan ilegal,” kata Halili, Rabu, 28 Februari 2024.

Menurut Halili, merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pemberian bintang militer sebagai tanda kehormatan hanya berupa Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa.

“Bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer,” katanya.

Halili juga merujuk pada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2012. Regulasi tersebut mengatur bahwa kenaikan pangkat istimewa diberikan kepada pegawai negeri sipil dengan prestasi luar biasa. Lalu ada kenaikan pangkat luar biasa, yang diberikan kepada prajurit pengembantugas khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung serta berjasa dalam tugasnya.

“Prabowo tidak masuk dua kategori untuk mendapat kenaikan pangkat kehormatan jika mengacu pada peraturan Menteri Pertahanan tersebut,” katanya.

Di samping itu, kata Halili, pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo akan bermasalah jika diartikan sebagai pemberian pangkat militer perwira tinggi. Sebab, menantu Presiden Soeharto itu bukan berhenti karena memasuki usia pensiun. Tapi Prabowo pensiun dari TNI karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1998.

“Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” ujar Halili.

2. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berpendapat, pangkat istimewa Jenderal TNI Kehormatan tidak tepat diberikan kepada Prabowo. Sebab, mantan Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat tersebut mempunyai rekam jejak buruk dalam karier militernya.

Sesuai dengan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan, termasuk melakukan penculikan terhadap aktivis prodemokrasi pada 1998. Prabowo lantas dikenai hukuman pemberhentian dari dinas keprajuritan. Kata dia, pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo merupakan aib.

“Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI,” kata Isnur, Rabu kemarin.

Selanjutnya: Apa kata Connie Bakrie hingga Petrus Hariyanto?

3. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie

Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie juga mempertanyakan dasar hukum pemberian pangkat istimewa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo. Sepengetahuan dia, UU TNI ataupun UU Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan hanya mengatur pemberian kenaikan pangkat kehormatan kepada prajurit dan perwara aktif.

“Setahu saya, belum ada perubahan pada undang- undang tersebut,” ujar Connie Bakrie.

4. Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, T.B. Hasanuddin

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), T.B. Hasanuddin, turut menyuarakan pendapat terkait pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo. Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan UU TNI hanya mengatur tiga pangkat, yaitu pangkat efektif, Lokal, dan tituler. Sedangkan pangkat kehormatan dan penghargaan bagi pensiunan TNI tidak ada dalam beleid tersebut.

“Pangkat penghargaan atau tanda kehormatan itu hanya bisa diberikan kepada seorang prajurit yang masih aktif,” kritik Hasanuddin.

Dia mengatakan Jokowi seharusnya mematuhi Undang-Undang TNI. Karena itu, kata dia, jika tetap ingin memberikan pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo, Jokowi semestinya merevisi keputusan presiden yang memberhentikan Prabowo dari TNI. “Kalau sekarang mau dikasih pangkat lagi, harus direvisi kepres yang dulu,” katanya.

5. Juru bicara Forum Rakyat Demokratik untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa, Petrus Hariyanto

Forum Rakyat Demokratik untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa menilai keputusan Jokowi memberikan pangkat kehormatan kepada Prabowo membuktikan Presiden melanggengkan impunitas. Juru bicara Forum Rakyat Demokratik untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa, Petrus Hariyanto mengatakan Jokowi semakin menjauhkan pelaku pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan dari proses hukum.

Tindakan Jokowi disebut semakin melukai hati keluarga korban penghilangan paksa dengan tidak memenuhi janjinya untuk mengembalikan hak-hak para korban. “Sikap dan kebijakan Jokowi telah menginjak-injak perjuangan rakyat dalam meruntuhkan tirani otoritarianisme Orde Baru dan mengabaikan pengorbanan nyawa para pejuang demokrasi,” ujarnya.

6. Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam dan meminta presiden membatalkan pemberian kenaikan pangkat istimewa jenderal kehormatan kepada Prabowo. Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy mengatakan pemberian gelar jenderal kehormatan oleh Jokowi kepada Prabowo merupakan keputusan keliru.

“Gelar ini tidak pantas karena penerima gelar memiliki rekam jejak buruk dalam karier militer, khususnya keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” kata Rezaldy.

Andi menilai pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat oleh TNI sejatinya telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh tentara. Keputusan itu, kata Andi, menunjukkan Jokowi menentang janjinya dalam Nawacita untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu 2014.

Apalagi, Jokowi telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023. Salah satu pelanggaran berat itu adalah penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak 2006.

“Pemberian gelar kehormatan bagi Prabowo juga bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998,” ujarnya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | KORAN TEMPO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus