Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Permukiman Dusun Dua, Bangga, Kabupaten Sigi, hilang tertimbun lumpur hingga kini.
Ada korban banjir bandang di Desa Bangga, Kabupaten Sigi, kembali ke permukiman karena belum mendapat bantuan pembangunan rumah dari pemerintah.
Banjir bandang berpotensi terjadi lagi tahun ini karena longsor di deretan pegunungan di Kabupaten Sigi belum ditangani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABUPATEN SIGI -- Kristina masih ingat ketika bah menerjang Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 2018 dan 2019 . Banjir bandang itu mencapai atap rumah Kristina di Dusun Dua, Bangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami hanya bisa bertahan di atap. Nanti setengah tiga (subuh) baru turun dari atap saat air surut,” kata Kristina, warga Dusun Dua, Bangga, ketika ditemui di kampungnya, akhir Januari 2022 lalu.
Di rumah, Kristina tinggal bersama suami dan tiga anaknya. Banjir dua tahun beruntun ini setinggi dua meter. Air bah itu membawa lumpur, pasir, serta kayu berukuran besar. Akibatnya, permukiman di Dusun Dua, Desa Bangga, tertimbun tanah hingga hanya menyisakan atap-atap rumah.
Seusai bencana ini, Kristina dan seluruh penduduk Dusun Dua mengungsi ke daerah lebih tinggi, yang berjarak dua ratus meter dari permukiman mereka. Awalnya, mereka tinggal di tenda pengungsian, lalu membangun hunian sementara yang terbuat dari bahan seadanya. Sebagian dari mereka membangun hunian sementara dengan menumpang di atas tanah warga lain. Sebagian penduduk lainnya membangun rumah tinggal di atas tanah milik mereka sendiri.
Keluarga Kristina menumpang membangun hunian sementara di tanah milik tetangga. Mereka menetap di sana selama hampir dua tahun. Suami Kristina lantas membangun ulang rumahnya di kampung mereka yang sudah dua tahun tertimbun tanah dan pasir pada pertengahan 2020.
Kini hanya rumah Kristina yang tinggi menjulang di permukiman Dusun Dua, Bangga. Berbeda dengan ratusan rumah lain yang dibiarkan teronggok begitu saja. Area di sekeliling atap-atap rumah berubah fungsi menjadi lokasi bercocok tanam.
Kristina terpaksa kembali ke permukiman meski separuh rumahnya tertimbun tanah. Mereka tak nyaman terus menumpang di tanah orang lain. “Karena tidak ada lokasi lain, kami terpaksa kembali ke rumah awal,” kata Kristina.
Desa Rogo yang tertimbun lumpur di Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Aldrim Thalara
Kepala Dusun Dua, Desa Bangga, Ihsan, mengatakan pemicu banjir bandang di desanya adalah banyaknya titik longsor di pegunungan yang berada tak jauh dari permukiman penduduk. Longsor ini dipicu gempa Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo itu mengakibatkan tsunami di Kota Palu, kerusakan bangunan yang parah di sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah, serta likuefaksi di Balaroa, Petobo, Kota Palu, dan Desa Jono Oge, Sibalaya, Kabupaten Sigi.
"Usai gempa saat itu, banyak gunung-gunung yang runtuh di atas. Di situ mulai terjadi banjir. Kayu yang sudah lapuk bekas-bekas senso (alat pemotong kayu) ikut terbawa banjir," kata Ihsan.
Banjir bandang pertama kali melanda Desa Bangga dua bulan setelah gempa. Selain Bangga, saat itu Desa Salua, Kecamatan Kulawi, diterjang air bah. Bencana serupa berulang setiap tahun di kampung tersebut, hingga akhir 2021. Bahkan kampung yang terkena dampak bah semakin luas, seperti Desa Rogo dan Poi, Kecamatan Dolo Selatan; Desa Beka, Kecamatan Marawola, serta beberapa desa lainnya.
Rata-rata perkampungan tersebut berdekatan dengan Sungai Palu, yang terbentang dari Sigi hingga pesisir Kota Palu. Di sebelah barat Kabupaten Sigi terdapat deretan pegunungan Gawalise, yang mengalami longsor saat gempa 2018. Longsor itu terus bertambah ketika memasuki musim hujan, karena belum ada upaya penanggulangan yang maksimal di area tersebut hingga tahun lalu.
Peneliti kebencanaan dari Universitas Tadulako, Palu, Abdullah, mengatakan ia dan timnya sudah menginformasikan ke pemerintah daerah mengenai potensi air bah di beberapa daerah di Sigi. Potensi itu tergambar jelas dari adanya longsoran di sejumlah titik pada pegunungan sebelah barat Kabupaten Sigi.
Hasil riset timnya pada 2019 hingga 2020, ditemukan banyak titik longsor di Sigi. Titik longsor paling banyak terdapat di pegunungan pada sisi barat lembah Palu, dari Kecamatan Marawola hingga Dolo Selatan.
“Sejauh ini pemerintah baru sekadar melakukan tanggap darurat, menyiapkan kebutuhan dasar, dan lainnya,” kata Abdullah, Januari lalu. “Soal rehabilitasi, belum ada apa-apa yang saya lihat.”
Abdullah bersama tim juga sudah memetakan potensi tanah longsor di sepanjang pegunungan di Sigi. Mereka menemukan sangat banyak area yang berpotensi terjadi longsor ketika hujan deras mengguyur. Area itu merupakan daerah curam dengan kerapatan hutan yang jarang.
Di samping faktor gempa Palu pada 2018, Abdullah juga mendapat informasi bahwa longsor di area pegunungan Sigi terjadi akibat pembalakan liar. Tapi illegal logging itu masih dalam skala kecil. “Beberapa warga diduga menjadikan mata pencaharian. Tapi masyarakat saling menutupi karena illegal logging dilarang,” katanya.
Rustam menguatkan kesimpulan Abdullah. Peneliti bencana dari Universitas Tadulako itu mengatakan potensi banjir bandang akan terus berulang karena penyebab bencana belum teratasi. Di samping banyak titik longsor, kondisi tanah di sejumlah titik pada deretan pegunungan di Sigi terancam ambles. “Tapi kami masih perlu mengeceknya lagi,” kata Rustam.
Ia dan tim sudah beberapa kali meneliti pemicu bencana di Sulawesi Tengah, termasuk di Sigi. Riset terakhir Rustam di Sigi digelar pada pertengahan 2021. Hasil riset ini sudah disampaikan ke Pemerintah Kabupaten Sigi dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. “Setahu kami, pemerintah merespons hasil penelitian kami,” ujarnya.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Kulawi Unit VIII Sulawesi Tengah, Darwis, mengakui memang banyak titik longsor di barisan pegunungan Gawalise sejak gempa 2018. Titik longsor itu bersebelahan dengan Desa Beka, Poi, Rogo, dan Bangga. Luas area longsor di beberapa titik mencapai 60 hektare, misalnya terjadi di sekitar Poi. Bekas longsoran itu masih menganga hingga kini.
Darwis mengetahui titik longsor itu lewat pengamatan citra satelit dan melihat langsung menggunakan drone. “Memang kawasan gunung Gawalise merupakan wilayah yang dekat dengan sesar Palu Koro. Ini menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir,” kata Darwis.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Sigi, Asrul Repadjori, mengakui pihaknya tidak siap menghadapi air bah beruntun setelah gempa bumi 2018 tersebut. Misalnya, saat itu pemerintah daerah tak memiliki sistem peringatan dini atas tanah longsor, banjir, dan gempa. Pemerintah baru memasang sistem peringatan dini bencana di sejumlah kampung pada November 2021.
“Kami tidak pernah memikirkan wilayah di sesar Palu Koro menjadi daerah rawan bencana,” kata Asrul.
Kawasan yang tertimbun lumpur di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Aldrim Thalara
Bukti ketidaksiapan itu dikuatkan dengan fakta-fakta banjir bandang di Desa Rogo. Tak berbeda dengan Desa Bangga, air bah juga menerjang permukiman penduduk di Rogo--yang berjarak sekitar 10 kilometer dengan Bangga--pada 2020. Banjir bandang di desa ini diakibatkan semakin banyaknya titik longsor di pegunungan. Banjir bandang di Rogo terjadi lagi pada 2021.
Dua kali air bah ini membuat permukiman penduduk Desa Rogo tertimbun lumpur hingga ketinggian dua meter. Rumah-rumah itu tak bisa lagi dihuni.
“Waktu banjir 2020 itu memang belum ada imbauan. Nanti 2021 baru kami diimbau untuk pindah, tapi kami mau tinggal di mana lagi?” kata Rusdin, warga Rogo.
Kepala Dusun Satu, Desa Rogo, Hasmun, mengatakan imbauan tentang bencana itu lebih banyak berasal dari lembaga nonpemerintah. Mereka juga yang melakukan penghijauan di hutan pada kawasan barisan pegunungan Gawalise. “Kami juga dibantu membentuk forum rawan bencana,” kata Hasmun.
Belajar dari dampak gempa 2018, BPPD Sigi dan instansi terkait menggandeng organisasi nonpemerintah untuk mengatasi penyebab banjir bandang agar tak terus berulang.
Bupati Sigi, Irwan Lapata, mengklaim pemerintah kabupaten sudah berupaya menanggulangi bencana di beberapa desa di Dolo Selatan dan Marawola. Pertama, pemerintah kabupaten melakukan penghijauan lewat penanaman 10 ribu pohon dan sejuta bambu per desa. Kedua, mengimbau masyarakat agar tak bermukim di kawasan rawan bencana.
Di samping itu, kata dia, pemerintah daerah dan pemerintah pusat mulai membangun sabo dam--sekat-sekat agar tanah di lereng gunung tak runtuh ke jalur sungai--di Salua, Bangga, dan Poi, tahun lalu. Pembangunan sabo dam ini masih belum rampung hingga Januari 2022 lalu. Sabo dam juga akan dibangun di Rogo dan Beka.
“Sementara direncanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” kata Irwan.
Agenda pemerintah Sigi berikutnya yaitu membangun hunian satelit bagi korban banjir. Irwan beralasan bahwa pembangunan hunian satelit ini terlambat karena membutuhkan dana yang besar.
Di samping berbagai upaya itu, pemerintah juga membantu logistik bagi korban bencana. Irwan mengakui bantuan itu tak cukup. Sebab, sebagian besar warga korban bencana kehilangan mata pencaharian sebagai petani. Lahan pertanian dan perkebunan tak bisa difungsikan akibat tertimbun lumpur bercampur pasir.
Buat warga, mereka tetap menanti janji pemerintah untuk membangun rumah bagi korban banjir bandang atau minimal memberikan dana bantuan pembangunan rumah. “Mudah-mudahan pemerintah memperhatikan kami. Kami mau direlokasi ke mana?” kata Rusdin.
RUSMAN PARAQBUEQ | ALDRIM THALARA (KABUPATEN SIGI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo