Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

LBH Bali Sebut Ada Praktik Perburuhan Tidak Sehat di PLTU Celukan Bawang, Indikasi Upaya Union Busting

LBH Bali menyebut adanya praktik-praktik perburuhan tidak sehat di PLTU Celukan Bawang pasca 254 pekerja dari PT Victory kehilangan status kerja.

26 September 2024 | 07.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pendamping Pekerja PLTU Celukan Bawang, Ignatius Rhadite dari Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Bali menyebut adanya praktik-praktik perburuhan yang tidak sehat di PLTU Celukan Bawang pasca 254 pekerja dari PT Victory Utama Karya kehilangan status kerja yang semula adalah PKWTT (karyawan tetap) kemudian keseluruhan menjadi PKWT (karyawan kontrak).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagaimana yang dimuat dalam surat perjanjian kontrak pada Pasal 7 tentang Jangka Waktu Perjanjian, kontrak kerja tersebut berlaku selama satu tahun yakni mulai pada 19 September 2024 hingga 18 September 2025. Adapun kontrak dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi kinerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini terjadi pasca pengumuman terbuka yang dikeluarkan oleh, PT General Energi Bali (GEB) kepada para pekerja pada 12 dan 14 September 2024. Pengumuman tersebut menginstruksikan 254 pekerja untuk membuat surat pengunduran diri dari PT Victory yang sudah habis kontrak menyusul berakhirnya kontrak PT China Huadian Corporation (CHD) yang menaunginya dengan PT GEB, dan membuat surat lamaran baru yang ditujukan kepada PT Garda Arta Bumindo (GAB) dan PT Garda Satya Perkasa (GSP). 

“Kami melihat ada praktik-praktik perburuhan yang tidak sehat ya, kemudian perusahaan kami lihat dengan culasnya mencoba bersiasat mengebiri hak-hak pekerja. Kenapa kami bisa bilang begitu, ya menyakitkan ya ketika kemudian ada ratusan pekerja yang mayoritas berstatus karyawan tetap atau PKWTT lalu kemudian dia harus kehilangan hak pesangonnya yang kemudian ditaksir sekitar Rp12,4 miliar kalau dihitung-hitung,” kata Rhadite saat dihubungi Tempo.co, pada Rabu, 25 September 2024.

Pada masa transisi ini para pekerja seperti tidak punya banyak pilihan selain mengundurkan diri tanpa pesangon dan bisa lanjut bekerja atau berhenti bekerja di PT Victory yang sudah habis kontrak dan kemungkinan juga tidak mendapat pesangon.

“Dalam kondisi relasi kuasa yang timpang, mereka seakan-akan tidak ada pilihan lain kalau mau bekerja harus buat surat pengunduran diri, nah implikasi dari pengunduran diri kan nggak dapat pesangon ya, itu cuma dapat semacam tali kasih, yang itu nominalnya sangat tergantung sama niat perusahaan gitu,tapi kalau pesangon-kan jelas perhitungannya,” ujarnya.

Adapun menurutnya, meskipun kontrak PT Victory telah berakhir, hak-hak yang seharusnya diperoleh karyawan tetap dipenuhi melalui mekanisme pengambilalihan perusahaan atau akuisisi tanpa mengurangi hak dan kewajibannya. “Kalau kita lihat dari Undang-Undang Perseroan Terbatas ya, sebenarnya kalau kita lihat akuisisi atau pengambilalihan perusahaan mestinya, meskipun PT Victory sudah tidak ada di situ, sudah putus ya kontraknya dengan perusahaan di atasnya itu kan mestinya serta merta hak-hak para pekerja tidak dikurangi,” kata Rhadite.

Rhadite dari LBH Bali menyinggung terkait adanya upaya pemberangusan terhadap serikat pekerja atau union busting yang coba dilakukan perusahaan terhadap dua pekerja yang dinilai memiliki niat jahat dengan membagikan form-form kepada karyawan PLTU Celukan Bawang yang sifatnya menghasut, merusak, serta mencerai-beraikan persatuan.

Larangan tersebut termuat dalam Surat Perintah Pencegahan Personil Masuk ke Area/Lingkungan PLTU Celukan Bawang yang diterbitkan oleh PT GEB pada 17 September 2024. “Kami melihat adanya pemberangusan serikat pekerja, union busting. Indikasi pertama yang kami bisa sampaikan adalah soal adanya pelarangan masuk kepada dua orang pekerja,” kata dia.

Selain itu dalam perjanjian kontrak terbaru, Pasal 10 ayat (7) menyebutkan bahwa pihak kedua dalam hal ini pekerja menyatakan dan sepakat tidak akan menjadi anggota, mendukung, atau terlibat dalam kegiatan serikat pekerja atau organisasi sejenis. Hal ini kata Rhadite tidak sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 

Lebih jauh, Rhadite menyampaikan saat ini pihaknya telah membuat surat permohonan audiensi yang ditujukan ke beberapa pihak. “Kita sudah membuat surat permohonan audiensi dengan bupati dengan DPRD, akan ada pelaporan-pelaporan ke Lembaga negara,” ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus