Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia atau PPMI Kota Malang Delta Nishfu harus mengalami memar di tangan pascaaksi demo menolak revisi UU TNI yang digelar di depan DPRD Kota Malang pada Ahad, 23 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia bersama tujuh anggota PPMI dari berbagai perguruan tinggi ikut jadi korban kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa tersebut. “Tanganku memar, enggak bisa nyetir (sepeda motor) karena waktu kejadian aku sempat diseret, terus dipukuli dan hampir dibawa polisi,” kata Delta pada Senin sore, 24 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pascapengesahan revisi UU TNI oleh DPR, aksi demo menentang beleid itu merebak di berbagai wilayah. Dari Bandung hingga Surabaya, aksi unjukrasa yang diikuti mahasiswa dan masyarakat sipil itu berujung kekerasan yang dilakukan aparat keamanan.
Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Pos Malang Daniel Siagian mengatakan, enam orang sempat ditangkap dan enam orang lainnya hilang kontak saat demonstrasi itu. “Seorang massa aksi mengalami luka berat di bagian kepala, tulang rahang dan gigi patah. Mahasiswa Universitas Brawijaya itu tengah di rawat di Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang,” kata Daniel melalui pesan pendek pada Rabu, 26 Maret 2025.
Enam orang yang ditangkap di aksi Malang itu kini sudah dibebaskan, sementara yang hilang kontak juga telah pulang ke rumah masing-masing.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat, dalam aksi menolak RUU TNI, setidaknya puluhan orang mengalami intimidasi, kekerasan, penyiksaan hingga penangkapan sewenang wenang di berbagai kota seperti Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Bekasi, Karawang maupun daerah lain seperti Kupang, dan Medan. Sementara itu, LBH Surabaya mendampingi 25 orang yang mengalami penangkapan sewenang-wenang.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengatakan ada dua alasan mengapa aparat masih terus represif dalam menangani aksi unjuk rasa. Pertama, kata dia, belum adanya kesadaran di institusi Polri bahwa kebebasan berekspresi dan berdemonstrasi itu adalah hak asasi manusia dan dijamin oleh konstitusi.
“Soal hukum dan HAM mereka tidak taat dan memahami peraturan yang ada. Hukum tidak tegak. Ini tantangan di polisi dan tentara kok bisa terjadi itu semua?” kata Isnur melalui pesan suara kepada Tempo pada Rabu, 26 Maret 2025.
Isnur mengatakan alasan kedua tindak represif aparat menangani massa aksi adalah karena praktik yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini, polri seharusnya jangan membiarkan apalagi melindungi pelaku kekerasan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras menyebut pembatasan terhadap ekspresi kebebasan dan tindakan represif aparat kerap terjadi dalam satu tahun terakhir. Sejak rezim berganti dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo pada 20 Oktober 2024, Kontras mencatat terjadi 19 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat.
Menurut Kontras, tindakan represif aparat keamanan juga terjadi saat aksi Indonesia Gelap akhir Februari lalu, yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Kepala Biro Penerangan Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo belum menanggapi permintaan konfirmasi Tempo soal kritik atas langkah represif aparat terhadap aksi massa yang menolak revisi UU TNI. Pesan yang dikirim melalui WhatsApp pada Rabu, 26 Maret 2025, belum dijawab.
Adapun Koalisi Kebebasan Berserikat mengutuk kekerasan aparat terhadap aktivis yang menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI. Kelompok ini menegaskan tindakan represif terhadap demonstran merupakan pelanggaran HAM.
Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat Riza Abdali mengatakan, pemerintah harus menjamin perlindungan bagi jurnalis, aktivis, dan pembela HAM dari segala bentuk ancaman. “Lindungi masyarakat baik dari serangan fisik maupun digital, yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara,” ujar Riza dalam pernyataan yang disampaikan dalam diskusi online pada Rabu, 26 Maret 2025.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Riza, koalisi juga menuntut pemerintah untuk memastikan adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat terhadap tindakan aparat dalam merespons aksi-aksi protes penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI. Dia juga berharap masyarakat sipil terus mengawal upaya penolakan terhadap pengesahan UU TNI ini, serta memastikan hak-hak demokratis warga negara tetap dijamin dan dilindungi.
Menanggapi protes atas pengesahan Undang-Undang TNI, Ketua DPR Puan Maharani meminta masyarakat untuk menahan diri. Dia meminta masyarakat membaca secara utuh dokumen final UU TNI.
"Tolong kita sama-sama menahan diri. Tolong baca, kan sudah ada di website DPR, sudah bisa dibaca di publik," kata Puan saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan pada Selasa, 25 Maret 2025. Sebelumnya dia membantah revisi UU TNI akan mengembalikan dwifungsi angkatan bersenjata.
Pilihan Editor: Represif: Cara Aparat Meredam Kebebasan Berekspresi
Abdi Purnomo, Hammam Izuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.