Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Usulan Daerah Istimewa Surakarta Disebut Bagian Cetak Biru Penataan Otonomi Daerah

Usulan Daerah Istimewa Surakarta muncul dalam pembahasan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama Kementerian Dalam Negeri.

29 April 2025 | 08.26 WIB

Ketua Eksekutif Bagian Hukum Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta KPH Eddy S Wirabhumi menjelaskan seputar wacana Daerah Istimewa' Surakarta (DIS), Senin, 28 April 2025. TEMPO/Septhia Ryanthie
Perbesar
Ketua Eksekutif Bagian Hukum Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta KPH Eddy S Wirabhumi menjelaskan seputar wacana Daerah Istimewa' Surakarta (DIS), Senin, 28 April 2025. TEMPO/Septhia Ryanthie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Solo - Ketua Eksekutif Bagian Hukum Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat K.P.H. Eddy S. Wirabhumi menyatakan tidak pernah mengusulkan pembentukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) ke pemerintah pusat. Usulan DIS muncul dalam pembahasan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama Kementerian Dalam Negeri. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eddy mengakui isu seputar DIS telah ada sejak lama. Namun, kini muncul kembali setelah ada pembahasan dalam rapat antara Komisi II DPR dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Menurut dia, usulan DIS tersebut merupakan bagian dari rancangan cetak biru penataan otonomi daerah Indonesia. 

"Yang saya pahami desain otonomi itu membuat blueprint (cetak biru) penataan otonomi Indonesia di masa depan. Wilayah Indonesia itu ke depan seperti apa, mau jadi berapa kota, kabupaten, provinsi, daerah istimewa. Kira-kira begitu," ujar Eddy kepada Tempo pada Senin, 28 April 2025. 

Ia mencontohkan ada daerah yang mungkin sudah terlanjur dimekarkan, tapi kemudian pada kenyataannya dari sisi keuangan tidak mampu. Sehingga, menurut dia, dimungkinkan ada daerah yang akan dilebur lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan banyak permintaan baru pemekaran daerah.

"Nah itu semua kan yang disampaikan adalah yang usulan atau bahasa lainnya ini adalah rancangan blue print penataan otonomi itu. Dalam hal ini Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) juga tidak keliru," tuturnya. 

Eddy mengatakan rancangan cetak biru penataan otonomi itu juga sudah lama ada bahkan dari belasan tahun lalu. "Dari sekitar 12 tahun lalu rancangan penataan otonomi itu ada," ungkap menantu mendiang Sri Susuhunan Paku Buwana (PB) XII itu. 

Ia berujar wacana DIS sudah muncul lama sejak zaman PB XII. Ia menuturkan waktu itu di Keraton Surakarta pun belum ada LDA karena masih masa PB XII. "Saya seizin Sinuhun (PB XII) waktu itu keliling tujuh kabupaten/kota, sosialisasi, seminar-seminar kami lakukan di hampir semua tempat, kami lakukan komunikasi publik," katanya.

Menurut dia, dari komunikasi publik yang dilakukan itu akhirnya DPRD dari tujuh kabupaten/kota di wilayah Surakarta atau Solo Raya sepakat. Namun saat ini cara yang dinilai paling cepat untuk menuju DIS adalah melalui Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak begitu rumit. 

"Kalau dari sisi pemekaran daerah itu kan pertama harus ada penelitian yang tuntas. Saya makanya juga melakukan penelitian walaupun itu jadi penelitian pribadi saya. Tapi waktu itu saya juga menugaskan tim untuk melakukan analisis juga, untuk meneliti terutama kemampuan ekonominya," tuturnya. 

Ia menuturkan rancangan cetak biru penataan otonomi daerahnya terdapat dua konsep yang berbeda, yakni pertama Provinsi Daerah Istimewa Surakarta (PDIS) dan Daerah Istimewa Surakarta (DIS).

Perbedaan keduanya cukup mendasar. PDIS menggunakan pendekatan pemekaran daerah provinsi yang wewenangnya berada di pemerintah pusat dan DPR. Adapun DIS menggunakan pendekatan sejarah hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengubah beberapa konstitusi.

Konstitusi yang perlu diubah seperti UU No 10/1950 Tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah, Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946, Surat Wakil Presiden Tahun 12 September 1949, dan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.

“Riset atau disertasi S3 saya di Undip (Universitas Diponegoro) mengenai hal ini dan pada 2014 lalu saya juga salah satu penggugat di MK terkait ini (DIS)," kata dia. 

Namun, pada saat gugatan dilakukan, Eddy harus menerima keputusan MK yang tertuang dalam Putusan MK No 63/PUU-XI/2013, karena dianggap tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang kuat untuk mengubah aturan yang sudah ada saat itu. 

Suami dari putri PB XII, G.K.R. Koes Moertiyah itu menyebut isu tersebut masih terus digaungkan karena merupakan hak konstitusi setiap daerah. “Saya mengutip pernyataan Prof Yusril (Ihza Mahendra) yang saat saya ajukan gugatan menjadi saksi ahlinya, bahwa selama negara ini masih memberlakukan UUD 1945, selama itu pula kita memiliki hak untuk mengajukan,” katanya.

Jika ditilik dari keadaan ekonomi dan sosiologi masyarakat, kata dia, pembentukan DIS sangat memungkinkan dan telah memenuhi syarat, karena dengan itu percepatan pembangunan akan lebih mudah dilakukan. “Tinggal mau atau tidaknya saja sekarang dan political will para pemimpin politik yang ada,” ucap dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus