Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Menantang Para Penjahat

Perampokan mengganas di beberapa desa di Salatiga dan sekitarnya. Penduduk jadi cemas dan bersikap waspada. setiap malam kota jadi sepi. (dh)

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG maghrib kecemasan mulai merayap di desa-desa itu. Wanita-wanita mulai berbenah, mengunci jendela dan pintu-pintu. Kaum lelaki juga menylapkan diri, menyelitkan parang atau golok. Ada yang mempersiapkan pentung, belati, potongan besi atau bambu runcing. Tidak sedikit pula yang menyandang keris. Sementara para pemuda, yang juga berbekal senjata, mulai keluar rumah. Mereka mengintip dari balik-balik tembok di pojok-pojok rumah, bersiaga di gardu-gardu jaga, diam-diam berkerumun di bawah pohon-pohon besar. Bahkan ada pula yang mengawasi kawasan sekelilingnya dari sebuah pohon yang tinggi. Semakin malam, sampai subuh, suasana terasa menjadi tegang. Terutama karena di mulut-mulut jalan kampung dipasang penghalang berupa batu-batu besar, palang-palang kayu dan benda-benda lain. Setelah pukul 21.00, orang luar tidak diizinkan masuk ke desa-desa itu. Pendatang tanpa tanda pengenal yang jelas, tak bakal lolos. Desa-desa itu bagaikan mati. Sunyi. Bahkan penduduk tak berani menyetel radio atau televisi. Suasana seperti itu mencekam beberapa desa di luar Kota Salatiga, Jawa Tengah, sejak bulan lalu. Terutama di desa-desa Candirejo, Sraten, Candran, Gedangan (Kecamatan Tuntang) Pendem, Bener, Tingkir, Senjoyo, Tegalwaton (Kecamatan Tengaran). Sedang ada perangkah di sana?, Tidak. Penduduk jadi cemas karena kejahatan merajalela sejak dua bulan terakhir ini perampokan mengganas di desa-desa Pendem, Gedangan, Sraten, Candisari. Perampok yang biasanya terdiri dari 5 sampai 10 orang itu menggasak harta benda seadanya. Korban dianiaya, ada pula yang dibunuh. Di Desa Sraten ada penduduk yang tidak berani menggembalakan sapinya sampai sore di ladang sendirian. Bahkan ada pula yang tidak berani mengambil-sapi"Banpres. "Sebab kalatl sapi itu dirampok, saya tak bisa membayar kreditnya. Sedang bank tidak peduli soal perampokan," kata seorang penduduk. Menurut perkiraan Isbandi, Kepala Desa Sraten, pelaku perampokan terdiri dari orang-orang dari lain desa. Tapi menurut beberapa penduduk, para perusuh itu mungkin dari kalangan desa terdekat, mengingat gerombolan itu selalumengenakan kedok penutup muka. Dan karena penduduk akhirnya berani menantang, para perampok kemudian melebarkan wilayah operasi mereka. Pertengahan bulan lalu misalnya mereka menyandera bis jurusan Salatiga Suruh. Sopir ditodong dengan clurit (senjata tajam khas Jawa Timur), sementara kawanan lainnya menggerayangi dompet para penumpang yang kebanyakan para pedagang sayur. Perampokan ini berlangsung di pinggir jalan besar dan masih sore hari. Seminggu kemudian mereka juga merampok pompa bensin di Bawen, Kecamatan Ungaran, 30 km di sebelah utara Salatiga. Kawanan garong itu rupanya sudah begitu berani sebab letak pompa bensin itu hanya beberapa meter saja dari pos polisi Bawen. Kali ini mereka menggunakan mobil. Menurut Letkol Pol. Soejono, Danres 932 Salatiga dan Kabupaten Semarang, hal itu dianggap scbagai "kebetulan saja terjadi di dekat pos polisi." Tapi Soejono mengakui tingkat kejahatan berupa perarnpokan yang disertai kekerasan memang melonjak. Berturut-turut pada bulan Juli (terjadi 17 kali), Agustus (21), September (24), Oktober (25). Tapi pada November menurun, hanya sembilan kali--barangkali karena reaksi yang spontan dari masyarakat untuk menjaga diri. "Penjagaan ketat di desa-desa itu adalah spontanitas penduduk," kata Soejono. Salatiga Kawasan di bawah Kores 932 yang meliputi Kotamadya Salatiga dan Kabupaten Semarang memang dianggap paling rawan di antara seluruh wilayah Kowil 93. Perampokan di kawasan itu baru satu kali yang berhasil digagalkan. Yaitu yang terjadi di Desa Noborejo, Kecamatan Tengaran. Penduduk yang menggagalkan perampokan itu menurut rencana, akan mendapat penghargaan dari Kodak IX Jawa Tengah berupa Tabanas masingmasing Rp 50 ribu. Tapi sampai minggu lalu belum ada pelaku perampokan bertopeng yang tertangkap. Kewaspadaan penduduk terhadap penjahat ternyata juga menjalar sampai ke Kota Salatiga, walau tidak seketat seperti di luar kota. Di kota yang sejuk ini menjelang pukul 20.00 sudah sepi. Toko-toko-sejak sore hari sudah menutup pintu. Begitu pula rumah-rumah penduduk. Warung-warung kecil di sekitar pasar dekat terminal bis antarkota juga sudah tutup begitu matahari terbenam. Gedung bioskop seperti Salatiga Theater sudah beberapa minggu ini hanya memutar film siang dan sore hari. Kecemasan penduduk Kota Salatiga itu gara-gara ulah kaum perusuh juga. Pertengahan bulan lalu misalnya penjambretan di tengah kota terjadi di siang bolong terhadap seorang wanita. Sebuah tas berisi uang Rp 1,5 juta amblas. Tak lama kemudian seorang pedagang kehilangan Rp 3 juta karena ditodong. Dan beberapa hari setelah itu Toko Mas Gajah dirampok. Pemiliknya dibacok. Di malam hari kini tak ada lagi pemuda-pemuda tanggung yang bergadang sampai larut di pasar, depan toko atau di warung-warung minum. Yang ada pemuda-pemuda berjaga-jaga dengan kelewang di pinggang. Setiap malam kota jadi sepi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus