MENJELANG maghrib kecemasan mulai merayap di desa-desa itu.
Wanita-wanita mulai berbenah, mengunci jendela dan pintu-pintu.
Kaum lelaki juga menylapkan diri, menyelitkan parang atau golok.
Ada yang mempersiapkan pentung, belati, potongan besi atau bambu
runcing. Tidak sedikit pula yang menyandang keris.
Sementara para pemuda, yang juga berbekal senjata, mulai keluar
rumah. Mereka mengintip dari balik-balik tembok di pojok-pojok
rumah, bersiaga di gardu-gardu jaga, diam-diam berkerumun di
bawah pohon-pohon besar. Bahkan ada pula yang mengawasi kawasan
sekelilingnya dari sebuah pohon yang tinggi.
Semakin malam, sampai subuh, suasana terasa menjadi tegang.
Terutama karena di mulut-mulut jalan kampung dipasang penghalang
berupa batu-batu besar, palang-palang kayu dan benda-benda lain.
Setelah pukul 21.00, orang luar tidak diizinkan masuk ke
desa-desa itu. Pendatang tanpa tanda pengenal yang jelas, tak
bakal lolos.
Desa-desa itu bagaikan mati. Sunyi. Bahkan penduduk tak berani
menyetel radio atau televisi. Suasana seperti itu mencekam
beberapa desa di luar Kota Salatiga, Jawa Tengah, sejak bulan
lalu. Terutama di desa-desa Candirejo, Sraten, Candran, Gedangan
(Kecamatan Tuntang) Pendem, Bener, Tingkir, Senjoyo, Tegalwaton
(Kecamatan Tengaran).
Sedang ada perangkah di sana?, Tidak. Penduduk jadi cemas karena
kejahatan merajalela sejak dua bulan terakhir ini perampokan
mengganas di desa-desa Pendem, Gedangan, Sraten, Candisari.
Perampok yang biasanya terdiri dari 5 sampai 10 orang itu
menggasak harta benda seadanya. Korban dianiaya, ada pula yang
dibunuh.
Di Desa Sraten ada penduduk yang tidak berani menggembalakan
sapinya sampai sore di ladang sendirian. Bahkan ada pula yang
tidak berani mengambil-sapi"Banpres. "Sebab kalatl sapi itu
dirampok, saya tak bisa membayar kreditnya. Sedang bank tidak
peduli soal perampokan," kata seorang penduduk.
Menurut perkiraan Isbandi, Kepala Desa Sraten, pelaku perampokan
terdiri dari orang-orang dari lain desa. Tapi menurut beberapa
penduduk, para perusuh itu mungkin dari kalangan desa terdekat,
mengingat gerombolan itu selalumengenakan kedok penutup muka.
Dan karena penduduk akhirnya berani menantang, para perampok
kemudian melebarkan wilayah operasi mereka.
Pertengahan bulan lalu misalnya mereka menyandera bis jurusan
Salatiga Suruh. Sopir ditodong dengan clurit (senjata tajam khas
Jawa Timur), sementara kawanan lainnya menggerayangi dompet para
penumpang yang kebanyakan para pedagang sayur. Perampokan ini
berlangsung di pinggir jalan besar dan masih sore hari.
Seminggu kemudian mereka juga merampok pompa bensin di Bawen,
Kecamatan Ungaran, 30 km di sebelah utara Salatiga. Kawanan
garong itu rupanya sudah begitu berani sebab letak pompa bensin
itu hanya beberapa meter saja dari pos polisi Bawen. Kali ini
mereka menggunakan mobil. Menurut Letkol Pol. Soejono, Danres
932 Salatiga dan Kabupaten Semarang, hal itu dianggap scbagai
"kebetulan saja terjadi di dekat pos polisi."
Tapi Soejono mengakui tingkat kejahatan berupa perarnpokan yang
disertai kekerasan memang melonjak. Berturut-turut pada bulan
Juli (terjadi 17 kali), Agustus (21), September (24), Oktober
(25). Tapi pada November menurun, hanya sembilan
kali--barangkali karena reaksi yang spontan dari masyarakat
untuk menjaga diri. "Penjagaan ketat di desa-desa itu adalah
spontanitas penduduk," kata Soejono.
Salatiga
Kawasan di bawah Kores 932 yang meliputi Kotamadya Salatiga dan
Kabupaten Semarang memang dianggap paling rawan di antara
seluruh wilayah Kowil 93. Perampokan di kawasan itu baru satu
kali yang berhasil digagalkan. Yaitu yang terjadi di Desa
Noborejo, Kecamatan Tengaran. Penduduk yang menggagalkan
perampokan itu menurut rencana, akan mendapat penghargaan dari
Kodak IX Jawa Tengah berupa Tabanas masingmasing Rp 50 ribu.
Tapi sampai minggu lalu belum ada pelaku perampokan bertopeng
yang tertangkap.
Kewaspadaan penduduk terhadap penjahat ternyata juga menjalar
sampai ke Kota Salatiga, walau tidak seketat seperti di luar
kota. Di kota yang sejuk ini menjelang pukul 20.00 sudah sepi.
Toko-toko-sejak sore hari sudah menutup pintu. Begitu pula
rumah-rumah penduduk. Warung-warung kecil di sekitar pasar dekat
terminal bis antarkota juga sudah tutup begitu matahari
terbenam. Gedung bioskop seperti Salatiga Theater sudah beberapa
minggu ini hanya memutar film siang dan sore hari.
Kecemasan penduduk Kota Salatiga itu gara-gara ulah kaum perusuh
juga. Pertengahan bulan lalu misalnya penjambretan di tengah
kota terjadi di siang bolong terhadap seorang wanita. Sebuah tas
berisi uang Rp 1,5 juta amblas. Tak lama kemudian seorang
pedagang kehilangan Rp 3 juta karena ditodong. Dan beberapa hari
setelah itu Toko Mas Gajah dirampok. Pemiliknya dibacok.
Di malam hari kini tak ada lagi pemuda-pemuda tanggung yang
bergadang sampai larut di pasar, depan toko atau di
warung-warung minum. Yang ada pemuda-pemuda berjaga-jaga dengan
kelewang di pinggang. Setiap malam kota jadi sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini