Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ditenggelamkan Sebuah Tanggul

Desa Paluh Kurau, hamparan perak, kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara rusak dihantam air laut. Desa itu sering kebanjiran dan diduga karena ada tanggul yang baru dibangun.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sebulan ini desa itu diguyur hujan lebat tak kunjung henti. Ditambah dengan serbuan air pasang dari Selat Malaka, jadilah 3.000 ha sawah di sana bagaikan danau. Rumah-rumah penduduk pun tenggelam setinggi hampir setengah meter. Akibatnya selama sebulan itu pula Desa Paluh Kurau, Hamparan perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dibenam air. Hampir setiap tahun desa seluas 100 ha itu memang kebanjiran. Tapi biasanya air cepat turun. Sekali ini istimewa: banjir itu tak mau surut juga. Penduduk pun panik. Tapi setelah dicari-cari penyebabnya diketahuilah genangan air asin itu tak surut-surut karena terhalang oleh tanggul sepanjang 20 km di pinggir selatan desa. Tanggul yang dibangun Dinas PU Provinsi Sumatera Utara pada 1973 itu semula direncanakan berbentuk melingkar untuk menbentengi desa yang tak jauh dari pelabuhan Belawan itu dari amukan banjir. Tingginya 1,5 meter, lebar permukaan 4,5 meter. Dua tahun kemudian pekerjaan itu selesai. Sebab menurut Kepala Bagian Pengairan Dinas PU Sumatera Utara, Ir. Kasim Siregar "perkiraan kami waktu itu, dengan tanggul itu air tak akan merembes lagi ke desa." Untuk melanjutkan pembangunannya, PU Sumatera Utara menyerahkannya kepada Pemda Kabupaten Deli Serdang. "Dan merekalah kemudian yang harus merawatnya," tambah Kasim Siregar. Tapi pihak kabupaten ternyata kemudian tak sanggup karena ketiadaan biaya. Kasim sendiri mengakui melimpahnya air pasang ke Desa Paluh Kurau itu karena tanggul itu tidak dibuat melingkari desa. "Kalau desa itu mau aman, memang harus dilingkari tanggul. Jadi harus dibangun tanggul tambahan," katanya. "Hal ini orang awam pun tahu. Tapi soal itu, dulu memang tidak kita perhitungkan," tambahnya tertawa. Kepala Desa Paluh Kurau, Hasan, juga menuding tanggul yang dibangun di pinggir selatan itu menyebabkan air masuk dari arah Selat Malaka di sebelah utara dan timur desa. Sehingga "kalau pasang besar yang biasanya terjadi dua karena terhalang oleh tanggul," katanya. Tanggul ini sebenarnya mempunyai beberapa klep. Alat ini menutup secara otomatis bila air laut pasang dan terbuka bila air surut, sekaligus membuang alr yang menggenangi sawah. Tapi pada saat klep itu tertutup (karena terdesak oleh air pasang dari arah selatan), air asin masuk pula dari utara dan timur. Akibatnya tanaman padi hampir di seluruh desa hangus oleh larutan garam yang terbawa oleh air laut itu. Sebab itu banyak petani yang meninggalkan sawah mereka. "Empat tetangga saya sudah lama pindah, entah ke mana," kata Jasmin, petani dengan 3 ha sawah yang hangus di pinggir desa. Menurut H. Pulungan, Komisaris LKMD (Lembaga Ke tahanan Masyarakat Desa) di sana, sejak 1975 sudah sekitar separuh dari penduduk desa yang berjumlah 600 kk meninggalkan desa. Dan dari 3.000 ha sawah, tahun lalu hanya 1.000 ha yang dapat diolah. "Itu pun yang menghasilkan cuma 723 ha. Sisanya dimakan larutan garam," keluh Hasan, si kepala desa. Lebih celaka lagi, tahun ini areal sawah yang bisa digarap semakin menyusut, tinggal sekitar 425 ha saja. "Padahal tahun ini desa harus membayar Ipeda Rp 19 juta," keluhanya lagi. Sawah-sawah di desa itu sebenarnya sangat subur. Produksi padi pada masa tanam 1971/73 sekitar 300-400 kaleng gabah kering per ha (1 kaleng = 16 kg heras). Maka ketika tanggul mulai dibangun pada 1973, dengan harapan sawah-sawah tak lagi kebanjiran, banyaklah orang berminat membeli tanah di sana. Dan harganya pun melangit. P. Simanjuntak misalnya, pegawai Bea Cukai di Belawan, membeli 2 ha saw,ah Rp 350.000. Sebagian karyawan Kantor Gubernur Sumatera Utara secara kolektif juga membeli 20 ha. Tapi kini, desa yang semua menjadi harapan banyak orang itu, mulai sepi. Yang nampak senang ialah anak-anak karena mereka mendapat tempat berenang di sawah-sawah yang tergenang, meskipun penuh lintah piai. Menurut penduduk, banyaknya lintah yang kini lengket di lumpur hampir d seluruh kawasan desa itu menandakan derasnya arus air. Karena arus itu begitu deras lintah-lintah itu tak kuasa lagi lengket di rumpun piai. Dan yang pasti pihak Pemda Deli Serdang masih belum bertindak mengatasi hal itu, karena "blaya untuk itu tidak ada."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus