SUDAH sebulan ini desa itu diguyur hujan lebat tak kunjung
henti. Ditambah dengan serbuan air pasang dari Selat Malaka,
jadilah 3.000 ha sawah di sana bagaikan danau. Rumah-rumah
penduduk pun tenggelam setinggi hampir setengah meter. Akibatnya
selama sebulan itu pula Desa Paluh Kurau, Hamparan perak,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dibenam air.
Hampir setiap tahun desa seluas 100 ha itu memang kebanjiran.
Tapi biasanya air cepat turun. Sekali ini istimewa: banjir itu
tak mau surut juga. Penduduk pun panik. Tapi setelah dicari-cari
penyebabnya diketahuilah genangan air asin itu tak surut-surut
karena terhalang oleh tanggul sepanjang 20 km di pinggir selatan
desa.
Tanggul yang dibangun Dinas PU Provinsi Sumatera Utara pada 1973
itu semula direncanakan berbentuk melingkar untuk menbentengi
desa yang tak jauh dari pelabuhan Belawan itu dari amukan
banjir. Tingginya 1,5 meter, lebar permukaan 4,5 meter. Dua
tahun kemudian pekerjaan itu selesai. Sebab menurut Kepala
Bagian Pengairan Dinas PU Sumatera Utara, Ir. Kasim Siregar
"perkiraan kami waktu itu, dengan tanggul itu air tak akan
merembes lagi ke desa."
Untuk melanjutkan pembangunannya, PU Sumatera Utara
menyerahkannya kepada Pemda Kabupaten Deli Serdang. "Dan
merekalah kemudian yang harus merawatnya," tambah Kasim Siregar.
Tapi pihak kabupaten ternyata kemudian tak sanggup karena
ketiadaan biaya.
Kasim sendiri mengakui melimpahnya air pasang ke Desa Paluh
Kurau itu karena tanggul itu tidak dibuat melingkari desa.
"Kalau desa itu mau aman, memang harus dilingkari tanggul. Jadi
harus dibangun tanggul tambahan," katanya. "Hal ini orang awam
pun tahu. Tapi soal itu, dulu memang tidak kita perhitungkan,"
tambahnya tertawa.
Kepala Desa Paluh Kurau, Hasan, juga menuding tanggul yang
dibangun di pinggir selatan itu menyebabkan air masuk dari arah
Selat Malaka di sebelah utara dan timur desa. Sehingga "kalau
pasang besar yang biasanya terjadi dua karena terhalang oleh
tanggul," katanya.
Tanggul ini sebenarnya mempunyai beberapa klep. Alat ini menutup
secara otomatis bila air laut pasang dan terbuka bila air surut,
sekaligus membuang alr yang menggenangi sawah. Tapi pada saat
klep itu tertutup (karena terdesak oleh air pasang dari arah
selatan), air asin masuk pula dari utara dan timur.
Akibatnya tanaman padi hampir di seluruh desa hangus oleh
larutan garam yang terbawa oleh air laut itu. Sebab itu banyak
petani yang meninggalkan sawah mereka. "Empat tetangga saya
sudah lama pindah, entah ke mana," kata Jasmin, petani dengan 3
ha sawah yang hangus di pinggir desa. Menurut H. Pulungan,
Komisaris LKMD (Lembaga Ke tahanan Masyarakat Desa) di sana,
sejak 1975 sudah sekitar separuh dari penduduk desa yang
berjumlah 600 kk meninggalkan desa.
Dan dari 3.000 ha sawah, tahun lalu hanya 1.000 ha yang dapat
diolah. "Itu pun yang menghasilkan cuma 723 ha. Sisanya dimakan
larutan garam," keluh Hasan, si kepala desa. Lebih celaka lagi,
tahun ini areal sawah yang bisa digarap semakin menyusut,
tinggal sekitar 425 ha saja. "Padahal tahun ini desa harus
membayar Ipeda Rp 19 juta," keluhanya lagi.
Sawah-sawah di desa itu sebenarnya sangat subur. Produksi padi
pada masa tanam 1971/73 sekitar 300-400 kaleng gabah kering per
ha (1 kaleng = 16 kg heras). Maka ketika tanggul mulai dibangun
pada 1973, dengan harapan sawah-sawah tak lagi kebanjiran,
banyaklah orang berminat membeli tanah di sana. Dan harganya pun
melangit.
P. Simanjuntak misalnya, pegawai Bea Cukai di Belawan, membeli 2
ha saw,ah Rp 350.000. Sebagian karyawan Kantor Gubernur
Sumatera Utara secara kolektif juga membeli 20 ha.
Tapi kini, desa yang semua menjadi harapan banyak orang itu,
mulai sepi. Yang nampak senang ialah anak-anak karena mereka
mendapat tempat berenang di sawah-sawah yang tergenang, meskipun
penuh lintah piai. Menurut penduduk, banyaknya lintah yang kini
lengket di lumpur hampir d seluruh kawasan desa itu menandakan
derasnya arus air. Karena arus itu begitu deras lintah-lintah
itu tak kuasa lagi lengket di rumpun piai. Dan yang pasti pihak
Pemda Deli Serdang masih belum bertindak mengatasi hal itu,
karena "blaya untuk itu tidak ada."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini