Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ormas keagamaan memiliki sejarah panjang dalam pemerintahan Indonesia.
Pelibatan ormas keagamaan makin masif pada era pemerintahan Joko Widodo.
Ormas keagamaan dilibatkan dalam urusan politik, bisnis, hingga penentuan status halal vaksin.
PARA pengurus organisasi keagamaan girang alang kepalang dengan tawaran Presiden Prabowo Subianto yang membuka lowongan menjadi penasihat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan rencana tersebut sejalan dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. "Yang penting mereka yang dipilih mengerti dan berani mengingatkan apabila pengelolaan tidak berjalan baik," kata Anwar, Selasa, 25 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf juga tak kalah senang. Ia menyambut rencana itu dengan mengatakan PBNU akan mempertimbangkannya jika pemerintah meminta secara resmi kepada lembaganya. "Kami lihat dulu apa tugasnya, mampu atau tidak. Apa harus perorangan atau lembaga," ujarnya.
Rencana melibatkan ormas keagamaan sebagai penasihat BPI Danantara disampaikan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi saat Prabowo merilis pembentukan superholding itu di Istana Kepresidenan, Senin, 24 Februari 2025. Tapi Hasan belum menyebutkan ormas keagamaan yang dilibatkan di Danantara. "Tunggu saja pengumumannya," ucapnya.
Peneliti bidang sejarah sosial-politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Asvi Warman Adam, menyebutkan pelibatan ormas keagamaan dalam pemerintahan merupakan bagian panjang dari sejarah Indonesia.
Pada era setelah kemerdekaan, ormas keagamaan digunakan pemerintah untuk menumpas anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia setelah gerakan 30 September pada 1965. "Hal seperti ini juga terjadi pada era kontemporer, di mana ormas keagamaan digunakan untuk merazia minuman keras," katanya.
Sejarawan Asvi Warman Adam (kanan) di Jakarta. Tempo/Subekti
Menurut Asvi, sejak era Orde Lama, Orde Baru, hingga pemerintahan setelah Reformasi, pemerintah gemar melibatkan ormas keagamaan dalam sejumlah kebijakan pemerintah, termasuk menempatkan mereka di jabatan strategis. "Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024), saya melihat ormas keagamaan sangat aktif," ujarnya.
Pemerintahan Jokowi menempatkan elite ormas keagamaan di berbagai posisi penting pemerintahan, di antaranya sebagai anggota kabinet. Pada periode kedua pemerintahannya, mantan Wali Kota Solo itu didampingi Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden. Ma'ruf adalah Rais Am Syuriah PBNU 2015-2020 dan Ketua Majelis Ulama Indonesia 2015-2020.
Di ujung pemerintahan periode kedua, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang isinya mengatur penawaran wilayah izin usaha pertambangan (IUP) khusus kepada ormas keagamaan.
Jokowi mengklaim pemerintah awalnya menerima berbagai keberatan dari masyarakat ketika menyambangi pondok pesantren dan berdialog di masjid. "Banyak yang mengkomplain kenapa tambang hanya diberikan kepada perusahaan besar. Kami pun kalau diberi konsesi sanggup," ucapnya pada Juli 2024.
Setelah terbitnya peraturan pemerintah itu, dua ormas keagamaan akhirnya mendapat IUP dari pemerintah. Keduanya adalah PBNU dan Muhammadiyah. PBNU mendapat lahan tambang batu bara bekas PT Kaltim Prima Coal seluas 26 ribu hektare di Kalimantan Timur. Sedangkan Muhammadiyah menerima lokasi tambang batu bara bekas PT Adaro Energy seluas 7.437 hektare di Kalimantan Selatan.
Pada era pemerintahan Prabowo, pemberian hak prioritas pengelolaan izin usaha pertambangan kepada ormas keagamaan makin diperkuat lewat perubahan keempat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Badan usaha yang bersedia berbagi keuntungan dengan perguruan tinggi negeri juga diberi hak prioritas pengelolaan izin usaha pertambangan.
Organisasi masyarakat sipil bertubi-tubi mengecam keputusan pemerintahan Jokowi hingga Prabowo tersebut. Jaringan Advokasi Tambang menilai pemberian IUP secara prioritas kepada ormas keagamaan sarat kepentingan politik.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur menilai keputusan tersebut sebagai bentuk bagi-bagi kue kekuasaan oleh pemerintah kepada ormas keagamaan.
Usep Saeful Ahyar di Jakarta, Januari 2019. Dok. Tempo/Muhammad Hidayat
Sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, mengatakan ormas keagamaan sejatinya sudah punya peran di pemerintahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat itu ormas keagamaan berperan sebagai alat perjuangan dan penyampai aspirasi golongan akar rumput kepada kekuasaan. Namun peran tersebut berubah setelah Indonesia merdeka. Ormas keagamaan cenderung terlibat dalam politik praktis, meski mengklaim hal tersebut tidak pernah dilakukan.
Setelah kemerdekaan, berbagai ormas keagamaan bahkan membentuk partai politik. Kemudian mereka berkontestasi dalam pemilihan umum dan berhasil mengusung kadernya masuk parlemen.
Tapi partai-partai dari berbagai ormas keagamaan itu kemudian dilebur dalam satu partai oleh pemerintahan Orde Baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Rezim Orde Baru menyederhanakan banyak partai menjadi tiga partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia, PPP, dan Golongan Karya.
Menurut Asep, rencana pemerintahan saat ini melibatkan ormas keagamaan dalam urusan yang tidak sesuai dengan ranahnya bukanlah hal baru. Ia mencontohkan, pada masa pemerintahan Jokowi, ormas keagamaan dilibatkan dalam berbagai urusan, dari bidang politik, bisnis, hingga penentuan status halal vaksin Covid-19. "Karena itu, kalau dinilai bahwa ormas keagamaan adalah partai, mungkin itu benar. Hanya, mereka tidak ikut pemilu," tuturnya.
Pada pemilihan presiden, ormas keagamaan juga didekati untuk mendukung pasangan calon presiden tertentu. Laporan Tempo berjudul "Berebut Suara Kaum Sarungan" yang terbit pada 2 Maret 2019 mengungkapkan bahwa dua pasangan calon presiden dalam Pemilu 2019, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, berlomba-lomba mendekati ormas keagamaan.
Kondisi serupa masih terjadi pada pemilihan presiden 2024. Tempo mengulasnya dalam artikel berjudul "Tiga Kubu Berebut Nahdliyin".
Asvi Warman Adam berpendapat, keterlibatan ormas keagamaan dalam urusan pemerintahan berpotensi mendelegitimasi tujuan organisasi, yaitu sebagai alat dakwah dan menebar kebaikan. "Ormas keagamaan sudah seperti partai politik. Yang membedakan adalah mereka tidak ikut pemilu saja," kata Asvi.
Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf mengatakan Nahdlatul Ulama bukan organisasi yang berhaluan politik. Ia menegaskan, NU sudah kembali pada khitahnya, yaitu bergiat di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. "Tidak ada politik praktis," ujarnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo