Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pendidikan menyatakan ekstrakurikuler Pramuka tidak wajib diikuti siswa.
Psikolog dan pakar pendidikan menekankan pentingnya anak usia SD mengikuti ekstrakurikuler untuk menggali minat.
Usia SD dianggap masa yang tepat buat mengetahui minat jenis kecerdasan untuk didalami pada tingkat usia berikutnya.
Bocah itu langsung sumringah saat topik obrolan beralih ke ekstrakurikuler. "Seru ikut ekskul. Punya banyak teman dan bikin makin pede (percaya diri)," ujar Muhammad Ghailan Putrasah, siswa kelas VI Sekolah Dasar Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, kepada Tempo pada awal bulan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Egel—panggilan Ghaillan Putrasah—tergolong anak aktif. Dia mengikuti empat ekstrakurikuler, tapi kesukaannya adalah taekwondo. Tahun ini adalah tahun ke empatnya aktif berlatih taekwondo di sekolah swasta yang berlokasi di Jalan Cikini Raya, Menteng, tersebut. Dia kerap tampil memperagakan jurus bela diri asal Korea itu dalam acara sekolahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pramuka menjadi pilihan lain Egel. Dia berjanji tetap ikut Pramuka selepas SD karena ia anggap menyenangkan. "Nanti, kalau masuk SMP, mau jadi danton, komandan peleton," kata Egel. Saat ditemui Tempo di maktabnya, dia sedang bersiap menginap bersama di sekolah untuk mengikuti acara buka puasa dan sahur bareng.
Bersama Egel, ada Ammar Muhammad Arfanto yang duduk di kelas VI dan Archena Develo Syariano di kelas IV. Bagi ketiganya, waktu ekstrakurikuler merupakan saat yang paling dinanti-nantikan.
Ammar, misalnya, menjadi anggota tim basket. Dia pun mengikuti ekskul futsal dan pencak silat. Dia pernah menjadi juara kedua dalam lomba pencak silat di Universitas Negeri Jakarta. Sedangkan Archena ikut taekwondo dan pernah mendapatkan piala dalam Kapolri Cup.
Pemilihan ekstrakurikuler menjadi perbincangan di kalangan orang tua murid, terutama setelah terbitnya peraturan baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang membebaskan murid memilih ekstrakurikuler serta Pramuka tidak wajib.
Siswa SD mengikuti upacara api unggun memperingati HUT Pramuka di Depok, Jawa Barat. TEMPO/Gunawan Wicaksono
"Peraturan menteri yang baru mengatur keikutsertaan murid dalam kegiatan ekskul, termasuk Pramuka, bersifat sukarela," ujar Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo kepada Tempo. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 24 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Menurut Anindito, Kementerian Pendidikan juga menekankan pentingnya ekstrakurikuler. Maka, lewat aturan baru ini, sekolah diwajibkan memiliki setidaknya satu ekstrakurikuler.
Bagi sekolah-sekolah di kota besar, seperti Jakarta, tersedia banyak pilihan ekstrakurikuler. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SD Perguruan Cikini, Meitia Alfazuna, mengatakan maktab itu memiliki 20 ekskul. "Kami pilihkan sesuai dengan jenjangnya dan hampir setiap ekskul diminati siswa," ujar lulusan psikologi pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta tersebut.
Selain taekwondo dan pencak silat yang diminati Elgel cs, ada ekskul iqra, inline skate, melukis, tari kreasi, dan renang yang bisa diikuti siswa kelas I-III. Sedangkan untuk murid kelas IV-VI, ada basket, tari saman, catur, memanah, dan Palang Merah Remaja. "Dengan pilihan itu, orang tua menentukan mana yang cocok untuk anak berdasarkan minat masing-masing," kata Meitia.
Psikolog anak Astrid Wen mengatakan ekskul sangat penting bagi tumbuh kembang anak, khususnya pada usia sekolah dasar. Menurut dia, tiap jenjang pendidikan memiliki tahap pencapaian. "Untuk anak SD, targetnya adalah kompetensi. Maka perlu eksplorasi minat dan penguasaan macam-macam keahlian sederhana," ujar pendiri biro psikologi PION Clinician di Jakarta Selatan itu. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan ekstrakurikuler agar anak dapat mengeksplorasi hal baru di luar bidang akademik.
Astrid menyarankan agar anak SD diberi kesempatan seluas-luasnya memilih ekstrakurikuler untuk menemukan minatnya. Dari renang, piano, hingga coding. "Mereka enggak harus jadi juara, melainkan bisa," katanya.
Anak-anak mengikuti ekstrakulikuler prakarya di sekolah. PEXELS
Target tersebut berbeda dengan usia SMP yang merupakan tahap pembentukan identitas anak. Pada tahap ini, Astrid melanjutkan, anak tidak lagi melakukan eksplorasi sebanyak sebelumnya, melainkan mulai berfokus pada keahlian dan minat yang didapatkan pada usia SD.
Psikolog lulusan The Theraplay Institute, Amerika Serikat, ini menyarankan para orang tua membaca teori kecerdasan majemuk Howard Gardner. Teori itu menyatakan setiap anak memiliki sedikitnya satu dari tujuh jenis kecerdasan, yakni cerdas kata, cerdas angka, cerdas gambar-warna, cerdas musik-lagu, cerdas gerak, cerdas sosial, dan cerdas diri. Gardner kemudian menambahkan dua kategori baru, yaitu cerdas alam dan cerdas hakikat.
Lewat identifikasi tersebut, orang tua bisa lebih mudah mengembangkan kecerdasan anak. Misalnya, anak dengan kecerdasan gerak bisa diberi pilihan ekstrakurikuler yang menuntut banyak gerakan fisik, seperti bola basket dan menari. Menurut Astrid, anak SD pada dasarnya punya kebutuhan mewujudkan ide-ide yang ada di kepalanya dan berkreasi. "Mereka memiliki perasaan ingin tahu sehingga suka bereksperimen," ujarnya.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, Edi Subkhan, mengatakan penyediaan ekstrakurikuler oleh sekolah merupakan upaya membekali siswa dengan kecakapan yang tidak didapat dari mata pelajaran. "Soal pergaulan, misalnya, bagaimana cara memecahkan masalah, kepemimpinan, dan berorganisasi. Itu penting dipelajari sejak dini," katanya.
Sekolah yang baik, Edi melanjutkan, adalah sekolah yang menyeimbangkan antara intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Dia mendukung langkah Kementerian Pendidikan yang membuat keikutsertaan dalam kegiatan Pramuka tidak wajib serta membebaskan murid memilih ekstrakurikuler, termasuk Pramuka.
Sebab, kata Edi, sedari awal kegiatan Pramuka bersifat sukarela. Pramuka menjadi kewajiban siswa lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan. Saat itu pemerintah beranggapan perlunya meningkatkan pendidikan karakter siswa. Menurut Edi, paradigma itu telah bergeser. Terdapat banyak ruang untuk memfasilitasi pembentukan karakter siswa. "Tidak semata didapat dari ekskul Pramuka," ujar dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo