Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pembayaran uang muka pembelian jet tempur Rafale akan dilakukan secara bertahap.
Harga satu unit jet tempur Rafale berkisar Rp 1,7 triliun.
Anggota Komisi Pertahanan DPR mempertanyakan pembelian jet tempur Rafale.
JAKARTA – Kementerian Pertahanan menyatakan produksi enam dari 42 unit pesawat tempur Rafale yang dibeli oleh Indonesia masih menunggu pembayaran uang muka dari Kementerian Keuangan. Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan pembayaran persekot kepada Dassault Aviation menjadi tahap awal perusahaan dirgantara Prancis itu untuk memulai produksi jet tempur pesanan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pembayaran akan dilakukan Kemenkeu secara bertahap," kata Dahnil, Ahad, 13 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan produksi keenam jet tempur Rafale itu akan berlangsung selama 56 bulan setelah pembayaran uang muka direalisasi. Setiap unit jet tempur Rafale itu dibanderol sekitar US$ 120 juta atau setara dengan Rp 1,7 triliun. "Nanti juga ada lagi kontrak untuk pembelian 36 pesawat dan kapal selam," kata Dahnil.
Pembelian jet tempur Rafale ini dipastikan setelah penandatanganan kerja sama pertahanan antara Menteri Pertahanan Indonesia dan Prancis di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Kontrak pembelian enam unit pesawat ini akan disusul dengan kontrak 36 jet tempur Rafale lainnya.
Replika pesawat tempur Rafale di Dubai Airshow di Dubai, Uni Emirat Arab, 15 November 2021. REUTERS
Selain kontrak pembelian enam jet tempur Rafale, ada empat kerja sama di bidang pertahanan lainnya yang ikut diteken oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly.
Keempat kerja sama itu adalah riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL Indonesia dan Naval Group, kerja sama program offset serta pelatihan antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia, kerja sama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, serta kerja sama pembuatan amunisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.
Setelah pertemuan, Prabowo berharap melalui kerja sama itu Indonesia dapat memperkuat hubungan pertahanan bilateral dengan Prancis. Ketua Umum Partai Gerindra ini menjelaskan bahwa kerja sama kedua negara di bidang pertahanan berjalan sejak 1950. Saat ini hubungan bilateral kedua negara di bidang pertahanan berada dalam status tertinggi karena telah menandatangani Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021.
"Tentunya ini butuh ratifikasi dari parlemen kita untuk bisa dilaksanakan dengan baik,” kata Prabowo.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan lembaganya mendukung perencanaan dan pelaksanaan anggaran sesuai dengan kebutuhan Kementerian Pertahanan di lapangan. Namun Yustinus belum bisa menjelaskan soal tahapan pembayaran uang muka yang akan dilakukan oleh Kementerian Keuangan. "Kami tetap memegang prinsip tata kelola yang baik sesuai dengan undang-undang yang berlaku," katanya.
Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Chappy Hakim, mengatakan biaya pembelian pesawat Rafale bakal lebih mahal dibanding jika Indonesia membeli jet tempur yang sudah tersedia sistemnya di dalam negeri. Indonesia baru kali ini membeli Rafale. Berbeda dengan ketika membeli jet tempur buatan Rusia ataupun Amerika Serikat yang sudah lama dimiliki oleh TNI Angkatan Udara.
Konsekuensi dari pembelian Rafale ini berimbas pada penyediaan sistem pendukung, seperti sistem komando pengendalian, penyediaan radar, satelit, pangkalan udara, dan sumber daya manusia yang mesti dilatih dengan sistem pesawat asal Prancis tersebut.
"Jadi memulai dari nol lagi. Kalau orang beli pesawat itu biasanya membeli sesuai dengan sistem yang mereka sudah punya," katanya.
Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat melihat Kementerian Pertahanan bermain api dalam rencana pembelian pesawat dari produsen yang baru. Menurut anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Rizki Natakusumah, mengatakan, jika terjadi salah penghitungan atau perencanaan, Prabowo justru bisa merusak sistem operabilitas dan perbendaharaan negara secara umum. Sebab, belanja jet tempur membutuhkan biaya yang sangat besar.
"Pertanyaan besarnya adalah apakah keuangan Indonesia saat ini mampu membiayai belanja ini," katanya.
Ia mengatakan pembelian enam unit pesawat Rafale seharga US$ 6,5 miliar itu bakal menyedot anggaran negara yang cukup besar. Pemerintah harus memikirkan pembiayaan proyek jumbo tersebut karena akan dibebankan kepada rakyat.
Rizki menegaskan, DPR bakal mempertanyakan kesiapan negosiator dan bagian pengadaan Kementerian Pertahanan dalam menangani proyek jumbo tersebut. Sebab, Kementerian Pertahanan mempunyai catatan kurang baik dalam menggarap sejumlah proyek besar, seperti pengembangan pesawat tempur KFX-IFX (Indonesia-Korea Selatan) dan Satelit 123. "Jangan sampai kerja sama ini mandek dan malah mencoreng muka Indonesia di mata dunia," ujarnya.
Menurut dia, pembelian jet tempur baru memang penting untuk menunjang sistem pertahanan negara. Pembelian jet tempur dari Prancis itu juga bisa menghapus ketergantungan pada alutsista yang berasal dari Rusia ataupun Amerika Serikat. "Pembelian ini menghadirkan alternatif lain dari pengembangan kekuatan udara yang sering tersandera karena hanya terikat dua kekuatan produsen besar itu," ucapnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo