Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemilik nama lengkap Adrian Bernard Lapian lahir pada 1 September 1929 di Tegal, Jawa Tengah. Adrian B. Lapian merupakan anak pertama dari enam bersaudara pasangan Bernard Wilhelm Lapian dan Maria Adriana Pangkey.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat kecil, sejarawan maritim diasuh oleh kakeknya di Tomohon, Sulawesi Utara kerap memiliki keinginan untuk berlayar ke Pulau Jawa.
Namun, cita-cita masa kecilnya tidak langsung terwujud kala itu. Sebab, ia berpikir bahwa salah satu cara ke Pulau Jawa dengan digigit anjing rabies. Jika digit anjing rabies, pasien harus dibawa ke institut Pasteur di Bandung yang menjadi satu-satunya tempat pemilik serum antirabies. Meskipun berharap terkena rabies, tetapi anjing yang menggigitnya sehat sehingga harapannya pupus.
Berdasarkan unja.ac.id, Lapian memulai pendidikannya di sekolah dasar di Tomohon sehingga jauh dari pengawasan orang tuanya yang bekerja di Pulau Jawa. Selanjutnya, ia memperoleh pendidikan di sekolah menengah pertama di Manado dan Kawangkoan. Ia juga sempat menjadi murid di Middelbare Uitgebreid School dan Algemene Middelbare School.
Lalu, ia menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Sipil yang membuatnya berhasil menginjakkan kaki di Pulau Jawa.
Namun, Lapian tidak melanjutkan studi di ITB karena sakit dan tertarik memperdalam dunia jurnalistik. Sampai akhirnya, ia kelak melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia.
Selama berkecimpung dalam dunia jurnalistik, Lapian mulai menumbuhkan ketertarikan pada sejarah. Pasalnya, ia kerap mengikuti berbagai peristiwa politik bersejarah Indonesia. Tulisannya sebagai jurnalis pun menuai protes dan terjadi konflik antar negara. Akibatnya, ia mulai menimbang untuk meneruskan pekerjaan sebagai jurnalis. Ia akhirnya berhenti menjadi jurnalis The Indonesia Observer demi memperdalam pengetahuan sejarah.
Dari jurnalis, Lapian bergabung dalam Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang BRIN). Di sana, ia banyak melahirkan berbagai penelitian yang berhubungan dengan sejarah maritim. Ditambah pula, ia memiliki kemampuan poliglot sehingga semakin mudah memahami maritim Indonesia dan Asia Tenggara. Ia mampu menguasai banyak bahasa, seperti Inggris, Belanda, Jepang, Perancis, Portugal, Spanyol, Filipina, dan Indonesia.
Setelah mulai tertarik dengan sejarah maritim, Lapian menempuh pendidikan S3 di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang lulus pada 1987 dengan disertasi Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX di bawah bimbingan Sartono Kartodirdjo. Ia semakin menunjukkan ketertarikan akademis pada sejarah maritim yang dianggap penuh petualangan dan romansa.
Menurut Lapian, sejarah maritim juga menunjukkan kesatuan Indonesia, meskipun memiliki ribuan pulau berbeda. la mulai sungguh-sungguh memperdalam sejarah usai menghabiskan beberapa tahun dalam TNI Angkatan Laut.
Mengacu Majalah Tempo, sebagai sejarawan, Lapian mulai terkenal ketika melakukan kritik terhadap J.C. van Leur agar jangan hanya melihat sejarah dari geladak kapal. Namun, menurutnya, “Sejarah memang harus dilihat dari geladak kapal, bukan kapal VOC atau Belanda, melainkan kapal Indonesia.” Akibatnya, sejarah membutuhkan pengetahuan budaya lokal dan penguasaan berbagai sumber berbahasa lokal serta asing.
Dengan kemampuan poliglot, Lapian menulis artikel sejarah pertamanya pada 1964 tentang Pangeran Nuku dan jalan perdagangan maritim ke Maluku abad ke-16. Selain itu, melalui disertasinya, ia mengingatkan agar hati-hati mengkriminalkan bajak laut dalam sejarah Indonesia. Menurutnya, sektor maritim Indonesia harus diprioritaskan dalam pembangunan integral. Sebab, pelupaan lautan membuat Indonesia menjadi bangsa “ketinggalan kapal dan kehilangan haluan”.
Adrian B. Lapian, sebagai sejarawan Indonesia yang merintis studi bahari juga telah melahirkan beberapa karya. Dikutip mkri.id dan bantenprov.go.id, ia telih menerbitkan Kembara Bahari: Edisi Kehormatan 80 Tahun (2009) dan Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17.
Pilihan Editor: Perjalanan Sentimental Sejarawan Bahari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini