Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Iwa Kusumasumantri merupakan rektor pertama Universitas Padjadjaran atau Rektor Unpad pertama. Dilansir dari unpad.ac.id, Iwa dilantik menjadi rektor pertama Unpad berdasarkan SK Presiden RI No. 14/M/1957 pada 1 Oktober 1957.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dirinya menjadi yang pertama sebagai Rektor Unpad karena sebelumnya Unpad dipimpin oleh beberapa orang dengan berbentuk presidium. Presidium itu di antaranya adalah ketua R. Ipik. Gandamana, Wakil Ketua R. Djusar Subrata, serta Sekretaris Mr. Soeradi Wikantaatmadja dan R Suradiradja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Awalnya, saat itu sebutan rektor di Unpad adalah presiden. Namun, pada 1963 namanya diubah menjadi rektor. Iwa menjabat rektor Unpad dari 1957 sampai 1961.
Selain menjadi rektor pertama, pendirian Unpad juga tidak terlepas dari peran Iwa. Saat itu dirinya merupakan pimpinan Badan Musyawarah Sunda yang juga turut mendesak dibangunnya suatu universitas di Jawa Barat.
Akhirnya, melalui melalui SK Menteri PPK No. 11181/S tertanggal 2 Februari 1957, memutuskan membentuk Panitia Negara Pembentukan Universitas Negeri (PNPUN) di Kota Bandung.
Setelah itu, pada 25 Agustus 1957 dibentuk Badan Pekerja (BP) dan PNPUN yang diketuai oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, R. Ipik Gandamana. Hasilnya, pada Rabu 11 September 1957 lahirlah Universitas Padjadjaran (Unpad) berdasarkan pengukuhan PP No. 37 Tahun 1957 tertanggal 18 September 1957 (LN RI No. 91 Tahun 1957).
Tentang Iwa Kusumasumantri
Iwa Kusumasumantri lahir di Ciamis, Jawa Barat pada 31 Mei 1899. Berdasarkan buku Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap yang ditulis Mirnawati, Iwa berangkat ke Bandung setelah dirinya masuk di Sekolah Pegawai Pemerintah Pribumi atau Opleidingsschool Voor inlandse Ambtenaren.
Namun, dirinya kemudian pindah ke Batavia dan masuk ke sekolah hukum. Selain belajar hukum, Iwa juga aktif di beberapa organisasi salah satunya adalah Jong Java. Iwa lulus pada 1921 dan melanjutkan studi ke Universitas Leiden di Belanda.
Iwa dan Jejaring Pemuda di Belanda
Di Belanda, Iwa bergabung dengan Serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), sebuah kelompok nasionalis intelektual Indonesia. Dia menekankan pentingnya kerjasama antara berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang ras, agama, atau kelas sosial, untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Ia juga mempromosikan ide non-kerjasama dengan pihak kolonial.
Pada 1925, ia pergi ke Uni Soviet untuk belajar selama setengah tahun. Di sana, ia menikahi seorang perempuan Ukraina bernama Anna Ivanova, dan mereka memiliki seorang putri bernama Sumira Dingli.
Setelah kembali ke Hindia pada 1927, Iwa bergabung dengan Partai Nasional Indonesia dan bekerja sebagai pengacara. Ia kemudian pindah ke Medan, Sumatera Utara. Di Medan, Iwa mendirikan surat kabar Matahari Terbit. Koran tersebut mendukung hak-hak pekerja dan mengkritik perkebunan besar milik Belanda di daerah tersebut.
Diasingkan ke Banda dan Bertemu Hatta dan Sjahrir
Karena tulisan-tulisannya dan upayanya untuk mengorganisir serikat dagang, pada 1929, pemerintah kolonial Belanda menangkap Iwa dan memenjarakannya selama satu tahun sebelum mengasingkannya ke Banda Neira, di Kepulauan Banda, selama sepuluh tahun.
Selama tinggal di Banda, Iwa menjadi seorang Muslim sekaligus Marxis. Ia juga berinteraksi dengan sejumlah tokoh nasionalis terkemuka yang juga berada dalam pengasingan, termasuk Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tjipto Mangunkusumo.
Setelah kembali ke Batavia, selama pendudukan Jepang (1942-1945), Iwa menjalankan sebuah firma hukum di sana dan memberikan kuliah tentang penyebab nasionalisme di bawah pengawasan ketat pasukan pendudukan Jepang.
Jadi Menteri sampai Dipenjara
Setelah Indonesia merdeka, Iwa dipilih menjadi Menteri Sosial dalam kabinet pertama di bawah kabinet Presiden Sukarno. Dirinya menjabat sampai November 1945.
Setelah tidak menjabat sebagai menteri, Iwa sempat dipenjara karena dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 bersama Tan Malaka, Muhammad Yamin, dan Achmad Soebardjo. Saat itu Iwa ditangkap oleh Pemerintah Sjahrir karena dianggap akan mengkudeta Kabinet Sjahrir II.
Setelah kabinet Sjahrir digantikan dengan Kabinet Amir. Kemudian pada 1953 di bawah Kabinet Ali Sastroamidjojo, Iwa ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan.
Dituduh Komunis, Dibela Sukarno
Pada saat dirinya menjadi Menteri Pertahanan, Iwa sempat dituduh komunis. Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud, tuduhan itu terjadi ketika Iwa hendak merombak salah satu jabatan di tubuh TNI AD pada 1952. Sentimen soal komunis tengah kencang setelah Peristiwa Madiun meletus pada 1948.
Pembelaan kemudian datang dari Presiden Sukarno. Sukarno mengumpulkan pihak militer dan dalam rapat itu Sukarno menegaskan bahwa Iwa merupakan pejuang nasionalis-revolusioner, bukan komunis. Iwa juga sempat memberikan penjelasan mengenai dirinya bukan komunis dalam buku otobiografi yang ditulisnya pada 1971.
Setelah kabinet Ali Sastromidjojo tuntas pada 1955, Iwa kemudian berhenti berpolitik. Akibat tuduhan komunis tersebut, Iwa Kusumasumantri sempat tidak diakui sebagai pahlawan pada masa Orde Baru. Namanya baru dianggap pahlawan pada 2002 setelah reformasi.