Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini, pulau eksotis Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sorotan publik domestik hingga mancanegara. Pasalnya, sebentar lagi akan digelar ajang kompetisi balap paling bergengsi di dunia, MotoGP di Sirkuit Mandalika. Bandar Udara Internasional Lombok Zainuddin Abdul Madjid yang menjadi akses masuk bagi penonton dan peserta MotoGP juga tak luput dari perhatian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandara Internasionmal Lombok yang dibangun di atas lahan seluas 550 hektare ini sempat mengalami perubahan nama. Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Perhubungan RI Nomor 1421 Tahun 2018, Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat saat itu, Baiq Isvie Rupaeda menegaskan bahwa keputusan pergantian nama Bandara Internasional Lombok menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) sudah final.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Keputusan perubahan nama bandara menjadi Bizam ini sudah final, maka semua harus tunduk dan taat pada keputusan,” ujar Baiq, kala itu. Penegasan itu harus dilakukannya, mengingat perubahan nama bandara ini sebelumnya menuai polemik dari masyarakat yang berlarut-larut. Polemik itu dipicu atas usulan nama Zainuddin Abdul Madjid oleh Menteri Perhubungan yang diklaim syarat akan kepentingan politik saat itu.
Siapakah Zainuddin Abdul Madjid?
Tuan Guru Kiyai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan salah satu ulama besar yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai pahlawan nasional pada 2017 silam. Melansir laman resmi Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), pria yang lahir di kampung Bermi Pancor pada 19 April 1908 itu memiliki jasa besar akan perjuangan melawan penjajah sekaligus menyebarkan agama Islam di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Perjuangannya dalam mengusir penjajah, dimulai Zainuddin pada 1934 sepulang dari Mekah. Ia mendirikan sebuah pesantren bernama Al-Mujahidin (para pejuang). Dua tahun berikutnya, dirinya juga mendirikan madrasah NWDI. Dari penamaan pesantren dan madrasah tersebut, jelas mengisyaratkan semangat Zainuddin untuk berjuang melawan penjajah dan menghadirkan kebangkitan negara Indonesia.
Tak ayal, oleh ayahnya Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, kedua lembaga tersebut dikukuhkan sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, khususnya di NTB. Lebih lanjut, pada 1953 Zainuddin mendirikan organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Wathan. Melalui organisasi ini, ia berpengaruh dalam perkembangan dunia pendidikan di Lombok.
Dalam sebuah jurnal berjudul Pemikiran Politik Islam Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (2019), perjuangan politik Zainuddin semakin kentara pasca kemerdekaan Indonesia. Ia aktif terlibat dalam dinamika partai politik dan ikut serta menentukan arah bangsa Indonesia. Di akhir hayatnya pada usia 99 tahun, dirinya mewariskan ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan.
Untuk menghormati jasa-jasa besarnya, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 2017. Setahun berikutnya, namanya direkomendasikan oleh Gubernur Zulkieflimansyah untuk menjadi nama Bandara Internasional Lombok Zainuddin Abdul Madjid. Mengingat, bandara tersebut adalah ikon infrastruktur monumental serta menggambarkan masa depan perjuangan NTB.
HARIS SETYAWAN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.