Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tragedi Kapal 7 Provinsi, Pemberontakan ABK Asal Indonesia 89 Tahun Lalu

Hari ini, tepatnya 5 Februari 1933 sejumlah ABK Indonesia berhasil merebut kapal kebanggaan Kerajaan Belanda, De Zeven Provincien. Begini kisahnya.

5 Februari 2022 | 15.15 WIB

Kapal de zeven provincin. Foto : Wikipedia
Perbesar
Kapal de zeven provincin. Foto : Wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 5 Februari 1933  tepatnya 89 tahun lalu, anak buah kapal (ABK) asal Indonesia memberontak di atas bahtera milik kolonial Belanda: De Zeven Provincien. Aksi pemberontakan yang dikenal sebagai peristiwa ‘Kapal Tujuh Provinsi’, terjadi di pantai lepas Sumatera. Saat itu kapal sedang berlayar menuju Surabaya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemberontakan yang dilakukan oleh kelasi-kelasi Indonesia itu, bermula ketika Hindia Belanda sedang dilanda krisis “malaise” pada 1930-an. Mengatasi hal itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan Koninklijk Besluit Nomor 51. Isinya berupa pemangkasan gaji dan tunjangan terhadap seluruh pegawainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potongan upah mulanya sebesar 10 persen. Namun, melansir buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan (1984) dinaikkan menjadi 17 persen untuk kalangan bumiputera dan 14 persen bagi orang Belanda. Mendengar kabar tersebut, para buruh melakukan aksi pemogokan kerja, salah satunya di kota Surabaya. 

Kabar pemogokan itu, terdengar oleh kalangan pelaut-pelaut Indonesia yang berada di Kapal Tujuh. Dilansir dari koran Partai Komunis Indonesia (PKI), Medan Ra’jat, pada 28 Januari 1933 mereka menggelar rapat. Rapat itu membahas rencana penyambutan lebaran, tetapi sebetulnya mempersiapkan pemogokan,” tulis Medan Ra’jat edisi 4 Februari 1933. 

Sekitar pukul 22.00 malam, para kelasi berdarah Indonesia, di antaranya Paradja, Romambi, Gosal, dan Kawilarang, serta beberapa awak kapal Belanda memulai pemberontakan. Tepat pada 5 Februari dini hari, kapal kebanggaan kerajaan Belanda itu berhasil direbut dan dikuasai sepenuhnya dan akan segera berlayar ke kota Surabaya. 

Namun, sebelum sampai ke Surabaya, kapal mendapat berbagai serangan dari pemerintah Hindia-Belanda dengan tujuan untuk merebutnya kembali. Serangan yang dipimpin oleh Menteri Urusan Jajahan Belanda, Hendrikus Colijn, dengan mengirim sebuah kapal bernama Aldebaren. 

Mengingat ukuran kapal tersebut yang lebih kecil daripada kapal Tujuh Provinsi, akhirnya tidak berhasil memutus laju perjalanan menuju Surabaya. Colijn beberapa kali memberikan peringatan keras, namun tidak digubris. Dalam situasi tersebut, pemerintah Hindia-Belanda makin naik pitam. 

Sesampainya di Selat Sunda, Belanda mengepung kapal Tujuh Provinsi dengan mengirim sejumlah kapal perang, di antaranya Java, Piet Hien, Eversen, dan dua kapal perang terbaru bernama Gouden Leeuw. Tak cukup di situ, Belanda juga menyerbu dengan sejumlah pesawat pembom, Dornier. 

Karena beberapa kali ultimatum Belanda tidak digubris, akhirnya salah satu pesawat menjatuhkan bom tepat ke arah badan Kapal Tujuh Provinsi. ABK mulai berjatuhan, sementara nakhoda kapal, Kawilarang selamat dari serangan. Meskipun, pada akhirnya juga ditangkap prajurit kolonial Belanda. Sejak saat itu, pemberontakan yang dikenal Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi berakhir. 

HARIS SETYAWAN 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.




close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus