Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari-hari pada awal Agustus 2020 lalu masih membekas jelas di ingatan Afriansyah Ole, 22 tahun. Saat itu, pemuda asal Ambon, Maluku, tersebut bersama tiga belas orang asal Indonesia lainnya bekerja sebagai anak buah kapal atau ABK di kapal berbendera Cina. Selain mereka, kapal itu juga diisi empat warga negara Filipina dan empat pekerja asal Cina. Mereka bekerja di kapal perikanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir genap satu tahun bekerja di kapal dengan jam kerja berlebih dan perlengkapan serta makanan seadanya, memicu penyakit mulai menyerang mereka. Sebagian awak kapal mengalami bengkak kakinya. Penyakit itu terus merambat ke bagian tubuh lain. "Di kapal kami ada tiga orang bengkak kakinya terus lama kelamaan sampai ke tubuh atas," tutur Afriansyah pada Rabu, 18 Mei 2022. Di kalangan para anak buah kapal, penyakit itu disebut biri-biri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu mereka berada di perairan India dan ada kapal lain mendekat. Ketiga ABK dalam kondisi sakit tersebut lantas dititipkan kapal yang akan bersandar ke Sri Lanka itu. Rencananya mereka bakal dipulangkan ke tanah air. Dua ABK asal Indonesia lain juga turut menemani sambil berbelanja kebutuhan sehari-hari di Sri Lanka dan akan kembali ke kapal.
Mereka berlima lantas menumpang kapal tersebut ke Sri Lanka.
Sembilan ABK lain tetap berada di atas kapal bersama pekerja dari Filipina dan Cina. Namun, penyakit tersebut kembali menulari mereka. Dua ABK asal Indonesia lainnya juga mengalami bengkak di kaki. Kapal yang membawa lima rekan mereka bersandar ke Sri Lanka kemudian kembali. Tetapi dua kawan mereka yang ikut ke darat tak turut kembali. Mereka memilih pulang dan menitipkan secarik surat kepada ABK Indonesia yang masih di atas kapal.
Isi surat itu mengajak para ABK yang masih bertahan di kapal agar pulang ke Indonesia. "Mengarahkan kami buat pulang soalnya kejadian sudah parah, sudah makan korban," ujar dia. Penyakit biri-biri itu juga menjangkiti para ABK di kapal-kapal lain. "Total yang meninggal enam orang di sejumlah kapal," ungkap Afriansyah. Beberapa waktu berselang ABK yang tersisa tersebut pulang ke Indonesia.
Pulang Bawa Utang
Mereka pulang ke Indonesia melalui Sri Lanka. Menumpang pesawat, para ABK transit di Dubai, Uni Emirat Arab, baru terbang ke Jakarta. Kepulangan ke tanah air tak lantas menyelesaikan masalah mereka. Dalam perjalanan, mereka mendengar kabar bahwa kepulangannya membawa utang ke perusahaan penyalur yang memberangkatkan ke kapal asing. "Kami pulang karena sudah terdesak masih dibilang sudah punya utang," sebutnya.
Sesampainya di Indonesia mereka juga menemui kenyataan bahwa upah bekerja di atas kapal selama setahun belum dibayarkan. Padahal dalam kontrak kerja dengan agen penyalur, gaji akan dibayarkan setiap tiga bulan sekali kepada keluarga ABK di rumah. "Sudah bekerja satu tahun gaji seribu rupiah pun tak masuk ke rekening," ungkap Afriansyah.
Belum sempat kembali ke kampung halaman di Ambon, Afriansyah dari Jakarta langsung menuju kantor Serikat Buruh Migran Indonesia Cabang Tegal. Dia mengadukan masalah yang dia alami ke SBMI Tegal. Menurutnya, PT Samudra Wakatobi Manise beralamat di Jalan Kanfer 8 Nomor 36 Perumahan Kalisalak Kabupaten Batang yang memberangkatkannya ke kapal asing itu belum membayarkan haknya. "Gaji selama setahun Rp 41 juta," tuturnya.
Afriansyah kemudian didampingi SBMI lantas menagih haknya tersebut ke Samudra Wakatobi. Sempat menolak membayar gaji karena menganggap Afriansyah tak menyelesaikan kontrak berlayar selama dua tahun, Samudra Wakatobi kemudian membayar Rp 7 juta dan berjanji akan melunasi sisanya pada Februari 2021.
Menagih Sisa Gaji
Namun hingga waktu yang dijanjikan sisa gaji tersebut tak kunjung dibayarkan.
Lantaran hingga Februari 2021 Samudra Wakatobi tak membayarkan sisa gajinya, Afriansyah akhirnya menagih ke kantor agen pennyalur ABK tersebut. Namun, ketika didatangi kantornya telah tutup dan orangnya tak ada. "Kantornya sudah tidak ada, orangnya sudah kabur," kata dia.
Kini bekas kantor Samudra Wakatobi di Perumahan Kalisalak Batang itu sepi tak berpenghuni. Lampu teras rumah berkelir hijau itu dibiarkan menyala menandakan tak ada orang yang meninggali. Sementara di pintunya tertempel papan bertuliskan "dikontrakkan." Warga sekitar menyebut rumah itu kosong sejak setahun terakhir. Sebelumnya sempat dikontrak oleh perusahaan agen penyalur tenaga kerja.
Ketua SBMI Tegal, Zainudin, mengaku sempat menghubungi direktur PT Samudra Wakatobi untuk menagih sisa gaji Afriansyah yang belum dibayar. "Disepakatai Februari 2021 ternyata pas tanggalnya tak ada komunikasi malah diblokir," sebutnya. Merasa jalur diplomasi yang dia tempuh untuk memperjuangan haknya buntu, Afriansyah bersama SBMI kemudian melapor ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Namun, menurut Zainudin, Polda Jawa Tengah tak menerbitkan dokumen laporan polisi atau LP atas laporan yang mereka layangkan tersebut. Padahal, ketika malapor petugas polisi langsung memintai keterangan Afriansyah sebagai korban. "Kami tidak mendapatkan LP sebagai bukti melapor," ujarnya. "Setiap kami laporan ke kepolisian seperti itu, katanya kami diklarifikasi makanya tidak menerbitkan LP."
Laporan ke Polda Jawa Tengah itu juga lantas tak ada perkembangannya. Afriansyah dan Zainudin pernah menanyakan perkembangan laporan mereka ke kepolisian namun tak ada jawaban. "Sudah tidak ada kabar lagi, saya pernah menghubungi tapi tidak ada perkembangan," kata Afriansyah.
Laporan ke kepolisian atas kasus yang dialami ABK berulang kali dilakukan SBMI Tegal. Sebelumnya pada 2019 SBMI Tegal pernah melaporkan PT Setia Putra Nelayan ke Kepolisian Resor Tegal. Agen penyalur itu tak membayarkan gaji ABK meskipun telah bekerja sesuai kontrak selama dua tahun di kapal asing. Ketika itu ada tiga ABK yang mengadu ke SBMI Tegal karena haknya tak dibayarkan Setia Putra. "Kerugiannya 40 juta lebih tiap orang," ungkap Zainudin.
Sama seperti laporan ke Polda Jawa Tengah, Polres Tegal juga tak menerbitkan Laporan Polisi atas pelaporan ini. Padahal ABK yang melapor telah diperiksa polisi. Dia dimintai keterangan kronologis yang dialami sebelum berangkat hingga pulang. "Hasil penyelidikan itu tidak ada hasil sampai sekarang, ditanya tidak jawab," tuturnya.
Saling Lempar
Alih-alih menelusuri laporan yang mereka terima, polisi malah menyarankan SBMI mengadukan kasus itu ke Dinas Tenaga Kerja. Menurut polisi permasalahan gaji yang tak dibayarkan oleh perusahaan penyalur itu ranah pemerintah. Sebaliknya, Dinas Tenaga Kerja mengarahkan melapor polisi. "Sempat menyampaikan ke Disnaker, memberi saran melapor ke kepolisian," ungkap dia. "Mereka saling lempar."
Tak hanya menunggu kerja polisi, Zainudin juga turut mencari keberadaan direktur Setia Putra. Dia akhirnya berhasil menemuinya dan diajak ke kantor polisi. Namun, polisi tetap enggan memproses. "Sampai orangnya (PT Setia Putra) saya bawa ke Polres Tegal, mereka tidak mau alasannya sudah malam tidak ada petugas," sebut Zainudin.
Hingga kini laporan itu tak ditelusuri oleh kepolisian. Sementara tiga ABK yang gajinya belum dibayarkan tak kunjung mendapatkan haknya. Sementara PT Setia Putra dan pemiliknya dibiarkan tak mempertanggungjawabkan perbuatannya. "Tidak ada perusahaan dibilang DPO (daftar pencarian orang) padahal laporan sudah masuk," kata dia.
Jauh sebelumnya pada 2014 SBMI Pusat pernah melaporkan dugaan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO ke Markas Besar Polri di Jakarta. Sebanyak 74 orang diduga menjadi korban perdagangan orang dan dipekerjakan di kapal berbendera Cina. "Yang berani melapor 27 orang dan model laporannya lasung Mabes Polri. Satu pelapor lainnya sebagai saksi," tutur Sekretaris Jenderal SBMI Anwar Ma'arif.
Para ABK itu bekerja bertahun-tahun di kapal asing namun gajinya tak dibayar. Selama di kapal mereka juga bekerja di atas jam kerja berlebihan tanpa fasilitas dan makanan yang memadahi. Kemudian para ABK tersebut diterlantarkan di Cape Town, Afrika Selatan.
Laporan itu dilimpahkan ke Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Tengah. Namun, belasan tahun berselang polisi tak kunjung berhasil mengusut kasus tersebut. "Dua-duanya sampai sekarang mandek," ungkap dia. Para ABK berulang kali menagih kinerja polisi, mereka juga pernah berunjuk rasa di depan Markas Polda Jateng namun hingga kini belum ada hasil.
Menurut catatan SBMI, sejak 2015 sampai 2021 ada 45 ABK asal Indonesia yang meninggal saat bekerja di kapal asing. Dari jumlah itu 21 di antaranya berasal dari Jawa Tengah. Sementara tahun lalu, SBMI menerima 188 aduan permasalahan ketenagakerjaan dari ABK Indonesia di kapal asing dan 98 di antaranya dari Jawa Tengah.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI mengakui bahwa Jawa Tengah merupakan pusat penyaluran serta asal daearah ABK di kapal asing. Kepala BP2MI Jawa Tengah Pujiono mengamini jumlah peminat menjadi ABK migran dari Jawa Tengah cukup tinggi. Namun kini belum ada peraturan yang memayungi mereka sejak perekrutan hingga kembali lagi ke tanah air.
Dualisme Perizinan
Pujiono mengungkapkan, terjadi tumpang tindih perizinan perusahaan penyalur ABK ke luar negeri. "Saat ini terjadi dualisme perizinan," kata dia. Agen perekrut ABK tersebut ada yang mengantongi surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) yang diterbitkan Kementerian Perhubungan atau surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) dari Kementerian Tenaga Kerja.
Selain dua izin dari pemerintah pusat tersebut, sejumlah perusahaan penyalur ABK juga ada yang berbekal restu dari pemerintah daerah. "Pemerintah daerah sesungguhnya tak berhak mengeluarkan izin terkait dengan perekrutan pekerja migran ke luar negeri," tutur Pujiono. Silang sengkarut perizinan itu, dia sebut, menyebabkan pemerintah tak mengontongi data pasti berapa warganya yang bekerja sebagai ABK di kapal asing.
Menurut dia, kondisi itu juga menyebabkan pemerintah tak bisa memantau proses perekrutan hingga pemberangkatan pekerja migran ke kapal asing.
Padahal untuk bekerja di luar negeri calon pekerja harus dilatih kompetensi kerja yang bakal dijalani. Banyak terjadi, calon ABK tanpa pengalaman melaut tak dibekali pelatihan bekerja di atas kapal diberangkatkan oleh perusahaan penyalur.
Lantaran tanpa pengawasan, agen penyalur juga bisa bebas memainkan kontrak para pekerja migran.
Biasanya calon ABK disodori kontrak di detik-detik jelang keberangatan sehingga dia tak sempat membaca dan mempelajari secara utuh lansung menandatangani. "Karena pemerintah tak ikut memverifikasi persyaratan kontraknya, tak ada yang memastikan sudah memenuhi standar atau tidak," ucapnya. "Kontrak ini menguntungkan ABK atau tidak, tak ada yang memastikan karena pemerintah tak ada di situ."
Berdasarkan Undang-Undang 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, tugas melindungi pahlawan devisa itu merupakan tanggung jawab pemerintah dari tingkat pusat hingga desa. Namun hingga kini banyak ABK yang menjadi korban lantaran upahnya tak dibayar hingga diduga menjadi objek tindak pidana perdagangan orang.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah Sakina Rosellasari mengaku selama ini lembaganya tak menutup mata terhadap permasalahan yang dialami ABK tersebut. Dia mengaku telah membentuk satuan tugas penanggulangan pekerja migran unprosedural. "Melibatkan Disnaker, BP2MI, Imigrasi dan Polda," sebut dia.
Sakina menyebut, banyak kasus yang menimpa ABK migran lantaran mereka diberangkatkan tanpa bekal kompetensi. Masalah semakin berkelindan karena ABK bekerja ke luar negeri secara ilegal dan tak tercatat oleh pemerintah. "Kasus-kasus ini karena nonprosedural. Berangkatnya kucing-kucingan," kata dia. Guna menertibkan itu, pihaknya bersama Satgas beberapa kali mendatangi langsung perusahaan penyalur untuk meminta data ABK yang diberangkatkan. "Kami tak dapat data kalau tidak agresif," ujarnya.
Langkah pencegahan, kata Sakina, juga telah dia jalankan dengan mengedukasi masyarakat agar tak gampang tergiur saat ada iming-iming bekerja di kapal asing. Menurut dia, edukasi itu telah disebarkan di seluruh daerah di Jawa Tengah. "Kami melakukan sosialisasi kepada seluruh kades dan lurah di 35 kabupten dan kota untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat," tuturnya.
Polda Jawa Tengah belum memberi tanggapan atas laporan kasus ABK yang hingga kini belum tuntas. Permintaan tanggapan telah disampaikan kepada Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah tapi belum dijawab.
JAMAL A. NASHR