Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak dokter palsu berpraktik secara ilegal
IDI dan dinas kesehatan mencegah praktik ilegal dengan mengetatkan aturan
Jatuh korban tewas akibat praktik ilegal tersebut
HADI Pranoto mengakhiri polemik mengenai status dirinya. Pada Senin, 3 Agustus lalu, ia mengaku bukan dokter, apalagi profesor. “Saya tidak pernah declare diri saya dokter atau profesor. Itu panggilan kesayangan teman-teman karena merasa bangga ada anak bangsa yang bisa menemukan herbal yang bermanfaat untuk pengobatan covid-19,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya mendadak populer setelah diwawancarai oleh Erdian Aji Prihartanto alias Anji—bekas vokalis grup musik Drive—yang videonya diunggah ke kanal YouTube. Dalam wawancara berdurasi 35 menit 51 detik itu, Hadi mengklaim telah menemukan obat herbal yang dinamai Antibodi Covid-19. Pernyataan Hadi dan status yang disematkan kepadanya menjadi polemik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan banyak pernyataannya yang tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Salah satunya mengenai virus corona yang akan mati pada suhu 350 derajat Celsius. “Statement tersebut tidak benar karena pada suhu 56 derajat saja membrannya sudah rusak,” ucapnya.
Tempo pada 17 Juli 1982 juga pernah menulis kiprah dokter-dokter palsu dalam laporan berjudul “Si Palsu yang Cespleng”. Saat itu bermunculan dokter palsu yang membuka praktik gelap di tengah masyarakat. Mereka tak memiliki ijazah dokter, apalagi surat penugasan dan penempatan kerja sebagai dokter.
Untuk mengatasi hal itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membuat aturan baru. Setiap dokter yang berpraktik harus memasang tanda izin praktik atau salinan ijazah kedokterannya di ruang praktik. Jauh sebelumnya Departemen Kesehatan pun telah membuat aturan tentang izin praktik dokter, di antaranya harus ada ijazah dan salinan surat penugasan.
Supaya lebih aman, pengajuan permohonan izin harus disertai rekomendasi dari IDI setempat. Pengetatan ini bukan tanpa alasan. Seminggu sebelum aturan dikeluarkan, polisi Bogor, Jawa Barat, menangkap Hendro (nama samaran) yang melakukan pengobatan layaknya dokter tapi tanpa izin resmi dari dinas setempat.
Saat dia ditangkap, ada belasan pasien yang sedang menunggu giliran pemeriksaan di kliniknya di Desa Sindang Barang, Bogor. “Istilah yang lazim digunakan dalam pengobatan saja dia tak tahu,” kata J.M. Sugiarta, Humas IDI Bogor, yang memberinya sejumlah pertanyaan saat penangkapan.
Hendro yang mengaku dokter itu telah empat kali berpindah lokasi praktik sejak memulai aktivitas ilegal tersebut pada 1976. Ia tak pernah memasang papan nama seperti instruksi dinas kesehatan dan IDI. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor sebetulnya telah memanggilnya pada 1979, tapi panggilan tersebut tak digubris.
Kariernya sebagai dokter gadungan mulai membahayakan ketika seorang ayah bernama O. Somantri mengadukan ulah Hendro kepada dinas kesehatan. Anaknya yang berusia enam tahun bernama Rakhmat meninggal setelah disuntik Hendro sebanyak 25 kali selama 25 hari. Padahal Rakhmat sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Umum Bogor selama enam hari.
Somantri memindahkan perawatan anaknya ke Hendro karena terpengaruh ucapan tetangganya yang mengatakan Hendro dokter yang cespleng. Panggilan yang diabaikan itu membawa IDI kepada kesimpulan: orang yang mengaku dokter ini harus ditangkap. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Wahyu, mengatakan penangkapan berjalan lambat supaya tidak ada kesalahan. “Kami ingin mengumpulkan bukti lebih lengkap,” ujarnya.
Dari tipu-tipunya ini, Hendro bisa membeli rumah, tanah, dua mobil, dan sebuah Vespa. “Saya tak bermaksud mencelakakan orang, tapi ingin menolong karena banyak yang datang minta diobati,” ucapnya. Pengetahuannya tentang obat-obatan didapatkan dari belajar di poliklinik umum dan seringnya dia menghadiri seminar serta pertemuan ilmiah sebagai peserta.
Bersamaan dengan ditangkapnya Hendro, di Jakarta Selatan, polisi menangkap Bakri (nama samaran) yang berpraktik memakai ijazah palsu Universitas Indonesia. Bakri adalah jebolan Universitas Nusantara yang telah ditutup Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Bakri telah berpraktik sejak 1978 di Jalan Bukit Duri 29. Ia juga memberikan pelayanan kesehatan di Yayasan At-Thahiriyah dan kepada calon anggota jemaah haji. Tipu-tipunya terbongkar karena Dinas Kesehatan DKI Jakarta tak mendapatkan namanya sebagai dokter dalam daftar izin praktik. Humas IDI pusat, Ayup Sani Ibrahim, mengatakan apa yang dilakukan Hendro dan Bakri merupakan tindakan kriminal.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 17 Juli 1982. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo