Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keberatan PDIP tentang jabatan staf khusus wakil presiden.
Edisi cetak “Nawadosa Jokowi” dan “Aguan Bicara” laris di pasar.
Kondisi demokrasi Indonesia selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi.
MAJALAH Tempo cetak edisi "Nawadosa Jokowi" dan "Aguan Bicara" laris. Di lokapasar Shopee, saya tidak menemukan lagi edisi "Aguan Bicara". Malah ada penjual perorangan yang menjual edisi "Nawadosa Jokowi" seharga Rp 1 juta per eksemplar. Wow!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharusnya Tempo mencetak ulang dua edisi tersebut. Kalau edisi itu habis lagi, cetak lagi, terus begitu, agar semua rakyat Indonesia bisa melihat dan membaca keduanya. Atau giring mereka menjadi pelanggan digital. Biar Tempo cepat kaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hardi Yan
Tembilahan, Riau
Ha-ha-ha.... Terima kasih, Pak Hardi. Semoga doa terakhir Anda cepat terkabul.
Keberatan PDI Perjuangan
DI halaman 104 majalah Tempo edisi 23-29 Desember 2024, dalam artikel “Staf Khusus”, tertulis “jabatan staf khusus muncul sejak zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mengangkat Staf Khusus Wakil Presiden 2002”. Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membantah keterangan dalam kalimat tersebut karena faktanya, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menjabat, tidak ada satu pun orang yang ditunjuk Ibu Megawati menjadi staf khusus yang diperuntukkan dalam jabatan khusus dimaksud untuk membantunya dalam kerja pemerintahan.
Bahkan, saat menjabat wakil presiden, Ibu Megawati tidak melakukan hal tersebut. Justru Ibu Megawati meniadakan/tidak menggunakan portofolio yang digunakan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Pemberitaan tersebut tidak sesuai dengan fakta dan merugikan nama baik Ibu Megawati. Hal ini telah menimbulkan kekeliruan informasi bagi publik. Karena adanya berita tersebut, terbentuk opini/pikiran masyarakat yang tidak baik terhadap Ibu Megawati.
Berdasarkan hal tersebut, DPP PDI Perjuangan meminta redaksi Tempo memberikan hak jawab/koreksi dan segera mencabut, meralat, serta memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat tersebut disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
Hasto Kristiyanto
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
Seperti disebutkan dalam artikel itu, jabatan staf khusus ada di masa Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2002 tentang Staf Khusus Wakil Presiden yang ditandatangani Megawati pada 20 Mei 2002. Saat itu Wakil Presiden Hamzah Haz tercatat memiliki beberapa staf khusus, seperti Laode Kamaluddin dan Lukman Hakim.
Demokrasi di Indonesia
PRESIDEN Prancis Nicolas Sarkozy menjabat pada 2007-2012. Pengadilan memutuskan ia terbukti melakukan korupsi. Ada bukti dana ilegal kontribusi 50 juta euro dana kampanye dari penguasa Libya, Muammar Qadhafi. Prancis memberikan teladan bagi kita, betapa hukum berlaku adil dan dapat diterapkan kepada siapa pun.
Sarkozy juga sudah dinyatakan bersalah untuk dua jenis tindak pidana lain. Saat ini dia masih menghadapi risiko penjara sepuluh tahun. Meskipun tidak masuk bui, dia sudah harus menggunakan gelang pelacak elektronik untuk beberapa waktu. Beruntunglah Sarkozy berada di negeri yang budaya demokrasinya sudah matang. Sedangkan Qadhafi diperlakukan dan dihinakan secara bengis saat dia digulingkan dari kekuasaan.
Hal itu patut menjadi renungan kita bersama dalam mencintai bangsa Indonesia dengan kesadaran bahwa kelak keturunan kita yang akan mewarisinya tanpa kecuali. Hal yang senantiasa dibenturkan dalam masyarakat antara mereka yang mendukung dan yang menyampaikan kritik adalah kondisi hukum di masa sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Demokrasi Indonesia sekarang seperti berubah dari “bad democracy going to worse democracy”, demokrasi yang cacat berkembang menjadi demokrasi yang buruk. Benar kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan bangsa sendiri.”
Dalam perayaan Natal 2024, pesan Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo mungkin dapat mewakili perasaan masyarakat. Menurut dia, belakangan ini kasus korupsi justru dijadikan alat untuk kepentingan politik. Seseorang yang terlibat korupsi justru dibiarkan agar bisa disandera sehingga tidak kritis lagi.
Pertanggungjawaban atas langkah keliru selama sepuluh tahun itu tidaklah adil jika hanya dibebankan kepada Jokowi seorang. Mereka yang berpotensi melakukan koreksi tapi hanya diam dan mengikuti arus sesat juga patut diminta bertanggung jawab.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta