Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik perairan Indonesia dan Cina terjadi sejak dulu.
Beberapa zona memang terbuka bagi kapal asing yang numpang lewat.
HUBUNGAN diplomasi Indonesia dan Cina kembali memanas sejak Desember 2019. Pemicunya: Indonesia menilai kapal-kapal Cina memasuki Zona Ekonomi Eksklusif di perairan Natuna secara ilegal. Beberapa kali kapal patroli Indonesia mendapati kapal ikan Cina melakukan aktivitas perikanan dengan dikawal kapal China Coast Guard.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Luar Negeri Indonesia memanggil Duta Besar Cina untuk Indonesia dan menyampaikan protes terkait dengan pelanggaran tersebut. Namun juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, justru menyatakan bahwa perairan Natuna adalah bagian dari Nine Dash Line Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik di perbatasan perairan Indonesia bukan pertama kali ini terjadi. Luasnya perairan dan berlimpahnya kekayaan di dalamnya menyebabkan banyak kapal asing menerobos perbatasan. Pada 22 Februari 1972, Tempo menurunkan artikel bertajuk “Menjaga Harta Karun”, yang mengulas langkah pemerintah Indonesia menutup perairan Maluku dan Irian Jaya (kini disebut Papua) dari kapal asing.
Panglima Daerah Laksamana Tentara Nasional Indonesia A. Rachman mengatakan pelarangan kapal asing di perairan Maluku dan Irian Jaya itu adalah bagian dari upaya pemerintah mencegah pencurian. “Untuk mengamankan kekayaan kita dari pencurian oleh kapal-kapal asing,” ujarnya.
Selain melakukan pencurian ikan, menurut Rachman, kapal-kapal asing itu berusaha mengumpulkan data kekayaan sumber energi, mineral, dan hayati di Laut Banda. “Kita tidak boleh lengah menjaga harta kekayaan itu. Jangan sampai kecurian dan kebobolan,” kata Rachman.
Toh, perairan Indonesia tidak sepenuhnya terlarang untuk kapal asing. Kapal-kapal itu masih boleh melintas di luar perairan sekitar Maluku dan Irian Jaya, antara lain Selat Lombok dan Selat Makassar. Indonesia tidak menutup total jalur laut untuk kapal asing karena menghormati hak lintas damai atau innocent passage. Sering kali kapal-kapal asing yang kepergok patroli Angkatan Laut Republik Indonesia beralasan: “Numpang lewat, mau ke Australia.”
Faktanya, niat baik itu sering disalahgunakan para nelayan asing. Misalnya kapal-kapal Jepang dan Taiwan yang kerap menerobos pembatas untuk menangkap cakalang atau tuna. “Mereka itu hantam kromo saja, menguras ikan seenaknya saja,” ujar Panglima Komando Wilayah Pertahanan IV Laksamana Madya Susatyo.
Pencurian itu juga menyebabkan nelayan Indonesia menderita. Sebab, kapal-kapal asing tersebut memiliki kapasitas besar sekaligus peralatan yang jauh lebih modern. Para nelayan di Maluku sudah sering mengutarakan kekesalan mereka. Bahkan mereka pernah mengeroyok sebuah kapal Jepang yang melakukan penangkapan cakalang di luar zona yang diperbolehkan.
Memang tidak mudah mengontrol keamanan perairan Indonesia. Apalagi dengan kekuatan armada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang baru berada dalam tahap rehabilitasi. Selain itu, TNI Angkatan Laut masih menghadapi setumpuk persoalan, seperti memerangi penyelundupan dari selatan Filipina di perairan Sulawesi Utara dan penyelundupan di Laut Natuna. Makanya, begitu selesai dilantik, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI R.S. Subyakto buru-buru membentuk satu satuan kapal perang, patroli dan operasi. Pada 1971, mereka berhasil meringkus 28 kapal nelayan asing. Namun pencurian ikan tetap terjadi.
Salah satu penyebab masih maraknya pencurian ikan adalah sikap pemerintah yang mengizinkan kapal Jepang menangkap ikan di perairan Indonesia pada 1968. Berdasarkan perjanjian itu, 20 kapal Jepang boleh menangkap cakalang di Laut Banda dan Laut Seram. Dalam praktiknya, jumlah kapal Jepang yang beroperasi mencapai lebih dari 300 unit. Selain itu, kapal-kapal nelayan Jepang kerap menerabas zona tangkapan ikan. Meski begitu, pemerintah Indonesia tetap memperpanjang izin penangkapan cakalang kapal Jepang. Salah satu alasannya: Indonesia membutuhkan bantuan beras dari Jepang.
Tampaknya persoalan pencurian ikan di perairan Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan memperkuat armada laut. Pemerintah juga mesti memiliki kebijakan yang tegas. Sebab, apa gunanya setiap malam berjaga-jaga menghadapi keroyokan maling yang kita sendiri undang mondok di rumah kita?
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 22 Februari 1972. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo