Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengurangi ketidakseimbangan tersebut, BPJS mengurangi kualitas pelayanan dengan menurunkan kelas rujukan rumah sakit, yang awalnya pasien boleh memilih rumah sakit tipe B atau tipe C. Belum berjalan lama kebijakan itu, pasien harus ke rumah sakit lebih rendah, yakni tipe D. Terakhir, sejak September 2018, kelas rujukan diturunkan lagi ke rumah sakit tipe E.
Mungkin ada yang salah menerjemahkan kebijakan pemerintah dari instansi terkait. Seharusnya, dengan adanya BPJS, pelayanan kesehatan menjadi lebih baik, mudah, nyaman, dan relatif cepat, bukan sebaliknya.
Sebelum ada BPJS, pegawai negeri/badan usaha milik negara/swasta atau perorangan memiliki sendiri asuransi kesehatan sesuai dengan kemampuannya yang sudah berjalan baik, lancar, nyaman, serta cepat karena adanya loket khusus asuransi masing-masing untuk melayani pesertanya. Karyawan swasta alih daya diwajibkan ikut asuransi oleh perusahaan tempat mereka bekerja melalui Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang telah berjalan baik, lancar, dan nyaman. Masyarakat miskin dapat dilayani gratis di rumah sakit pemerintah dan swasta dengan surat keterangan dari RT/RW/kelurahan. Bahkan pemerintah Banyuasin, Klungkung, dan Semarang menggratiskan layanan kesehatan bagi warganya.
Setelah ada BPJS, perusahaan yang punya rumah sakit sendiri untuk pelayanan kesehatan karyawannya wajib mengikuti dan membayar iuran BPJS. Peserta yang kurang puas dengan BPJS dipersilakan ikut asuransi lain, tapi tetap wajib membayar iuran BPJS. Karena semua pasien dari banyak asuransi kini dilayani satu pintu oleh BPJS, terjadilah pemarginalan pelayanan, antre dokter, antre obat.
Seharusnya masyarakat tetap bebas memilih sesuai dengan kemampuan seperti yang telah berjalan selama ini. Pemerintah hanya perlu mewajibkan semua perusahaan mengikutsertakan semua karyawannya dalam asuransi dengan persyaratan standar minimal kualitas layanan, dan ada sanksi hukum apabila ada perusahaan yang tidak mematuhinya. BPJS berfokus memberikan layanan kesehatan kepada karyawan swasta yang mempekerjakan karyawan kontrak/alih daya atau masyarakat miskin saja.
Waras
Jepara, Jawa Tengah
Koreksi BPJS Ketenagakerjaan
MENANGGAPI artikel rubrik Opini pada Tempo edisi 7-13 Januari 2019 berjudul “Saatnya Korban Bicara” dan laporan “Korban yang Menolak Bungkam”, berikut ini tanggapan kami.
1. Tertulis pada paragraf pertama halaman 28, “Rizky Amelia, pegawai BPJS Ketenagakerjaan....” Informasi yang benar Rizky Amelia adalah tenaga kontrak asisten ahli Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.
2. Pada alinea kelima terdapat kalimat, “Pengaduan yang disampaikan Amel dijawab dengan pemberhentian....” Informasi yang benar Amel mendapat skors.
3. Pada halaman 68 bagian kronologi tanggal 30 November terdapat kalimat, “BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan surat skors terhadap Amel dengan alasan membuat keributan.” Informasi yang benar Dewan Pengawas BPJS membuat surat skors dengan alasan Amel membuat keributan.
4. Pada halaman 69 bagian kronologi tanggal 5 Desember terdapat kalimat, “BPJS Ketenagakerjaan memberhentikan Rizky Amelia.” Informasi yang benar mengacu pada poin kedua.
Irvansyah Utoh Banja
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar-Lembaga BPJS Ketenagakerjaan
Terima kasih atas klarifikasi Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo