Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Info Event - Pada Sabtu, 30 November 2024, sebuah pertunjukan seni unik berjudul Kabata Tanrasula digelar di Chandelier Room, Castle of Good Hope. Lokasi ini, yang dulunya benteng kolonial Belanda, menjadi latar sempurna untuk menceritakan perjuangan melawan penjajahan yang menghubungkan Indonesia dan Afrika Selatan. Acara ini dihadirkan oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia, dengan persiapan matang sejak tiga hari sebelumnya.
Kabata Tanrasula sendiri berarti “syair tentang kemuliaan manusia” dalam dua bahasa Nusantara: bahasa Maluku Utara untuk "Kabata" dan bahasa Makassar untuk "Tanrasula." Pertunjukan ini merupakan bagian dari proyek seni Seeking Tuan Guru, yang memadukan seni musik, cerita, visual, dan budaya untuk merefleksikan sejarah panjang perjuangan melawan penjajahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabata Tanrasula bercerita tentang dua tokoh besar Nusantara, Syekh Yusuf Al-Makassari dari Gowa dan Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam (dikenal sebagai Tuan Guru) dari Tidore. Keduanya adalah ulama besar sekaligus pejuang yang melawan penjajahan Belanda, meskipun hidup di zaman yang berbeda. Syekh Yusuf, seorang ulama sekaligus pemimpin perlawanan di Sulawesi Selatan, diasingkan ke Afrika Selatan setelah ditangkap oleh Belanda. Begitu pula Tuan Guru, yang diasingkan ke Cape Town setelah melawan penjajahan di Maluku dan Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski berada dalam pengasingan, keduanya melanjutkan perjuangan dengan cara yang berbeda. Syekh Yusuf menjadi simbol perlawanan budaya dan spiritual di Afrika Selatan, sedangkan Tuan Guru mendirikan komunitas muslim pertama di sana, yang menjadi cikal bakal umat Islam di Cape Town hingga saat ini.
Pertunjukan dimulai dengan prosesi yang kuat: para musisi membawa batu besar yang diikat tali putih ke panggung, simbol beban sejarah kolonialisme yang masih terasa. Mereka menyeret dan membenturkan batu itu ke lantai, menciptakan suara dentuman keras yang menggema, mengingatkan pada luka masa lalu yang tak boleh dilupakan.
Selama 45 menit, penonton disuguhi kombinasi seni musik tradisional Nusantara seperti Sinrilik (alat musik tradisional Makassar) dan Arababu (alat musik tradisional Maluku), gerak tari, narasi, animasi visual, serta pencahayaan artistik. Kisah perjuangan Syekh Yusuf dan Tuan Guru disampaikan dalam suasana yang menghidupkan emosi dan menyentuh hati.
Proyek seni ini tidak hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan penjajahan adalah bagian dari sejarah bersama yang masih relevan hingga kini. Helza Amelia, Manajer Produksi Kabata Tanrasula, menjelaskan bahwa karya ini adalah hasil kerja sama lintas budaya yang dirancang selama tiga tahun. "Pertunjukan ini menjadi jembatan untuk menyadari bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah bagian dari sejarah kolektif yang harus terus dirawat," kata Helza.
Kabata Tanrasula membuka ruang dialog antara Nusantara dan diaspora Indonesia di Cape Town, menghubungkan sejarah dan budaya yang telah lama terpisah oleh jarak dan waktu. Pertunjukan ini juga mengingatkan bahwa semangat perjuangan melawan ketidakadilan tetap relevan, bahkan dalam konteks dunia modern. (*)