Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulutmu Harimaumu

JIKA ingin hidup aman-tenteram, peribahasa "siang melihat-lihat, malam mendengar-dengar" berlaku bagi semua orang. Apalagi bagi seorang pejabat publik, yang setiap ucapan dan gerak-geriknya menarik bagi orang lain. Apa pun yang dilakukan seorang pejabat publik, sebagaimana halnya seorang selebritas, akan menjadi berita. Maka disebutlah dia sebagai news maker alias si pembuat berita. Berlaku pula peribahasa "mulutmu harimaumu".

Kisah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menarik perhatian begitu banyak orang. Bisa membuat mobilitas dan gelombang massa dari bagai penjuru Tanah Air. Ini mengagumkan sekaligus mencemaskan. Sebab, betapa besarnya seorang Ahok. Hanya karena ucapannya bisa membuat banyak orang merasa terpanggil untuk berbuat. Bila sudah massa yang bertindak, biasanya logika bisa sirna. Biasanya sering terjadi di luar perkiraan, semisal unjuk rasa 4 November. Unjuk rasa berjalan damai. Tapi, di luar waktu unjuk rasa yang sudah diizinkan, ada saja peristiwa yang mencederai tujuan semula.

Ketika menjadi guru, saya pernah menugasi seorang murid bernama Medy Dirwan, alumnus Institut Teknologi Bandung—sekarang bekerja di pertambangan minyak di Tanzania. Tugasnya adalah menyurati Menteri Sekretaris Negara Moerdiono pada rezim Orde Baru yang presidennya Soeharto. Seperti diketahui banyak orang, Pak Moerdiono lambat dan lelet jika menjelaskan informasi tentang sesuatu yang berhubungan dengan kenegaraan.

Ada ibu-ibu mengatakan, kalau Pak Moerdiono mulai berbicara di televisi, pergilah dulu ke belakang, ke toilet untuk buang air. Setelah selesai, kembali menonton TV, Pak Moer baru mengucapkan satu kalimat. Ada juga yang mengatakan bahwa Mensesneg menghabiskan rekening listrik. Maksudnya kita harus membayar lebih untuk mendengarkan Pak Moer memberikan keterangan.

Apa balasan surat dari Pak Moer ini? Dengan memakai surat berkop Kementerian Sekretaris Negara, Pak Moer menulis:

Ananda Medy Dirwan! Terlebih dahulu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ananda atas keberanian Ananda menyurati saya. Adapun alasan saya seperti orang bego kalau memberi keterangan adalah, setiap saya bicara, itu direkam oleh radio dan televisi. Jadi, jika saya salah bicara, akan sulit meralatnya. Itulah sebabnya saya harus hati-hati bicara.

Sampaikan salam saya kepada orang tua Ananda beserta salam kepada guru-guru di sekolah.

Tertanda
Moerdiono

Kesalahan saya waktu itu adalah tidak memeriksa surat yang ditulis murid saya untuk dikirimkan ke Pak Moerdiono. Jika Penulis memeriksa, tentu tidak akan ada kata "bego" dalam surat tersebut. Tapi ini tidak jadi masalah. Sebab, di banyak media, Pak Moer tak lupa menyebutkan bahwa beliau pernah dikatakan bego oleh seorang siswa.

Jika seorang pejabat publik tidak bisa menahan emosi kalau ditanya wartawan atau memberikan keterangan selalu dengan gaya meledak-ledak, padahal maksudnya mulia, alangkah baiknya sang pejabat berbagi tugas dengan staf atau memakai juru bicara. Negara atau pemerintah menyediakan juru bicara, bukan?

Dalam hal ini, seorang pejabat publik berbeda tipis dengan guru. Akan salah besar bila seorang guru menganggap muridnya sepintar dia. Demikian halnya bila pejabat publik menganggap warga atau rakyat yang dipimpinnya sehebat dia. Apa yang dia sampaikan akan dicerna dan dipahami warganya. Ternyata dan terbukti, peristiwa Pak Ahok di Kepulauan Seribu itu telah menggemparkan Nusantara, mungkin juga dunia.

Dari peristiwa ini mungkin ada pelajaran bahwa kita harus tetap dan lebih banyak membaca kitab suci (karena Ahok?) serta mengingat-ingat kembali peribahasa nenek moyang kita: "jika siang melihat-lihat, malam mendengar-dengar".

Pandu Syaiful
Pekanbaru, Riau


Pilkada Menjaring Pemimpin Berkualitas

KOMISI Pemilihan Umum telah menetapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak putaran kedua pada 15 Februari 2017. Sebanyak 101 daerah akan melaksanakan pilkada serentak pada 2017—terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Pilkada sebagai ajang untuk menjaring pemimpin yang berkualitas. Seperti apa pemimpin yang dibutuhkan saat ini?

Pertama, pemimpin yang visioner. Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang bersikap positif, cerdas, berwawasan luas, dan berkomitmen dalam memperjuangkan masa depan daerah yang dipimpinnya. Selain itu, mengembangkan potensi daerah agar kesejahteraan penduduk meningkat yang pada akhirnya dapat memitigasi angka kemiskinan dan kriminal daerah yang dipimpinnya.

Kedua, pemimpin yang jujur dan amanah. Pemimpin terpilih sudah selayaknya menganggap peluang untuk memimpin sebuah daerah sebagai satu amanah. Tanpa kejujuran, kepala daerah dapat terjerumus dalam praktek korupsi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan reformasi birokrasi di setiap lini pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Ketiga, kompeten (problem solver). Pemimpin yang bisa dibanggakan memiliki kemampuan leadership yang tinggi. Seorang kepala daerah diharapkan mampu menjaring aspirasi masyarakatnya, mampu mendekatkan diri dengan setiap elemen masyarakat, serta mampu memimpin dan memotivasi stafnya untuk bekerja tanggap, cepat, tepat, dan tidak menyalahi aturan yang ada.

Keempat, tegas, merakyat, dan beretika. Kepala daerah haruslah seorang yang tegas, bukan dalam artian keras, tapi menjadi pemimpin yang disegani, patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan menjunjung tinggi etika yang berlandaskan Pancasila. Tak hanya tegas, pemimpin juga harus merakyat. Blusukan efektif agar kepala daerah mengenal masyarakatnya, berempati, serta memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran strategisnya terhadap permasalahan sosial yang ter­jadi.

Wulan Rahmawati
Mahasiswa Program Magister Sains Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus