Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab Kementerian Bidang Perekonomian
Membaca laporan utama Tempo edisi 11-17 Juli 2016 berjudul "Morat-Marit Paket Ekonomi", kami perlu memberikan tanggapan/hak jawab sebagai berikut:
- Judul sampul "Morat-Marit Paket Ekonomi" dan judul rubrik Opini "Deregulasi Morat-Marit" sangat bombastis dan misleading (menyesatkan). Morat-marit menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti porak-poranda, cerai-berai, berantakan, kacau-balau. Judul ini tendensius. Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) memang tak sempurna, masih memerlukan banyak koordinasi kementerian, juga dengan daerah, dalam implementasinya. Karena itulah Presiden memerintahkan pembentukan satgas yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian. Menyebut PKE morat-marit jelas berlebihan.
- Laporan Tempo tak fokus karena mencampuradukkan PKE dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak, dua hal yang berbeda. PKE disusun sebagai respons cepat pemerintah terhadap kondisi melambatnya ekonomi global yang berimbas ke dalam negeri. Tujuannya mendorong gerak ekonomi melalui investasi, peningkatan daya saing, memperbesar devisa, melalui deregulasi, debirokratisasi, kepastian usaha, dan penegakan hukum. Sedangkan pengampunan pajak bertujuan menarik dana WNI di luar negeri serta meningkatkan basis perpajakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
- Tempo juga menulis peringkat Indonesia ke-114 dalam ease of doing business. Yang benar 109.
- Sangat disayangkan dalam wawancara dengan Menteri Koordinator Perekonomian sama sekali tak ada konfirmasi tentang berbagai masalah yang ada dalam laporan utama.
Farah Heliantina
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat
Laporan tersebut berdasarkan wawancara dengan banyak narasumber dan temuan lapangan yang dikonfirmasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian saat wawancara. — Redaksi
GBHN dan Romantisisme Orde Baru
Pada 27 Juli 2016, Majelis Permusyawaratan Rakyat bekerja sama dengan UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) mengadakan dialog kebangsaan yang diberi nama "MPR Go to Campus–Penataan Wewenang MPR". Konklusi dialog ini adalah memberikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kepada MPR dirasa sangat perlu demi mewujudkan "kepentingan rakyat". Namun perlu dikaji dan dianalisis ulang kesimpulan tersebut dalam sistem ketatanegaraan NKRI sekarang.
Ada suatu pembahasan penting mengenai permasalahan ini tapi tidak dibahas bahkan "dihilangkan", yakni mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Profesor Kacung Maridjan mengatakan GBHN diperlukan dikarenakan kesenjangan pembangunan antardaerah serta supaya pembangunan antardaerah dengan pusat terintegrasi. Dicontohkan oleh politikus PDIP, Presiden mengedepankan pembangunan ekonomi, sedangkan daerah mengedepankan pariwisata, maka tidaklah sinkron.
Apabila dikaji, tanpa adanya GBHN pun sebenarnya hal tersebut sudah terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN. SPPN dalam pasal 1 ayat 3 adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan tahunan, yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Mengenai integrasi, pasal 4 poin b menyatakan bahwa "menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah". Jelaslah bahwa SPPN lebih komprehensif daripada GBHN dalam segi apa pun. Baik antardaerah, antar-ruang, antarwaktu, maupun antarfungsi. Selain itu, mengutip apa yang disampaikan oleh Mahfud Md., GBHN merupakan pemilihan nama saja, hal tersebut berlaku pada Orde Baru, Orde Lama disebut dengan pembangunan semesta berencana dan reformasi disebut dengan SPPN ini. Sebenarnya substansi dan esensinya sama, hanya perbedaan penamaan saja.
Apabila GBHN tetap dimunculkan, yang paling ideal adalah GBHN tidak ditetapkan berdasarkan TAP MPR, melainkan berdasarkan undang-undang. Hal ini tidak menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI saat ini. Menjadi kewajiban kita bersama agar Negara tidak kembali mengulang "romantisisme" pada rezim Orde Baru yang "otoriter" serta menjadikan negara yang adil dan makmur untuk kepentingan rakyat dan bukan "kepentingan golongan". Wallahua'lam bishshawab.
Ahmad Zulal Abu Main
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo