Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi Hidayat Nur Wahid
SETELAH mencermati tulisan di majalah berita mingguan Tempo edisi 27 Januari—2 Februari 2014, halaman 44-45, berjudul "Dulang Suara Via Proyek Negara", saya menemukan beberapa ketidakakuratan dan ketidaklengkapan berita, sehingga bisa menghadirkan opini yang tendensius dan bias.
Benar bahwa ketika terjadi banjir di Jakarta, saya turun langsung membantu korban banjir, tapi itu bukan hanya menjelang Pemilu 2014. Ketika terjadi banjir 2013, bahkan sejak terjadi banjir besar di Jakarta pada 2002 dan 2007, alhamdulillah, saya sudah turun membantu korban banjir di Jakarta. Jelas sekali 2013, 2007, dan 2002 adalah tahun-tahun yang jauh dari pemilu karenanya kegiatan kemanusiaan membantu korban banjir yang saya lakukan sudah jadi tradisi dan jauh dari keterkaitan dengan mendulang suara untuk kepentingan pemilu.
Benar bahwa saya bersama Menteri Sosial RI saat penyaluran bantuan Kementerian Sosial di Masjid Ath-Thahiriyah. Tapi itu bukan satu-satunya kegiatan saya untuk membantu korban banjir 2014 di Jakarta. Sekalipun tanpa diikuti wartawan, termasuk wartawan Tempo, sebelum di Masjid Ath-Thahiriyah, saya dan relawan PKS sudah membantu korban banjir di Kelurahan Pangadegan, Kelurahan Rawajati, dan Kelurahan Cikoko. Begitu juga sesudahnya di Kelurahan Petamburan, Kelurahan Bukti Duri, Kelurahan Manggarai, dan lain-lain.
Kegiatan kemanusiaan saya lakukan berasal dari dana pribadi dan keluarga. Sama sekali tidak menggunakan dana negara atau proyek negara, sekalipun tidak "murah" dan tidak mungkin "tanpa modal" seperti dituduhkan Sebastian Salang, Koordinator Formappi (halaman 45).
Disayangkan Tempo tidak secara jujur menulis penjelasan saya yang dibenarkan oleh Menteri Sosial bahwa kehadiran saya yang tanpa atribut partai. Sebab, saat itu posisi saya sebagai anggota Komisi VIII DPR mitra kerja Kementerian Sosial, yang sedang menjalankan fungsi pengawasan.
Disayangkan juga Tempo tidak secara benar menukil pernyataan saya yang membantah opini wartawan Tempo dalam bentuk pernyataan bahwa Ath-Thahiriyah adalah basis PKS. Dengan tegas saat itu saya menyanggah dan menyatakan bahwa kawasan Masjid Ath-Thahiriyah bukan basis PKS, melainkan basis PPP. Itu mudah dibuktikan dengan tidak adanya posko PKS. Yang ada hanyalah posko PPP yang berada di pinggir jalan raya menjelang kompleks Masjid Ath-Thahiriyah.
Dr H.h. Hidayat Nur Wahid, Ma
Anggota Komisi VIII DPR, Ketua Fraksi PKS DPR
Memoar Dokter Presiden
TULISAN majalah berita mingguan Tempo edisi 20-26 Januari 2014 memuat memoar Frits August Kakiailatu, anggota tim dokter ahli kepresidenan pada masa Soeharto dan B.J. Habibie (halaman 60-69). Pengantar di halaman 62 menjelaskan tim Tempo menemui Pak Frits awal Januari lalu dan beliau "mengisahkan babak-babak kehidupannya yang sangat menarik".
Dalam membaca kisah "babak-babak kehidupan" itu, saya menemukan sebagian isinya sama dengan teks dalam buku Pak Frits yang diluncurkan di Perpustakaan Nasional, 19 Desember 2013. Buku Pak Frits berjudul Pak Harto, Pak Nas, dan Saya, Catatan Pengalaman Seorang Dokter (Penerbit Buku Kompas 2014). Buku ini adalah otobiografi dan merupakan buah pikirannya sendiri. Terkesan bahwa memoar kisah Pak Frits dalam Tempo merupakan kutipan dari buku dengan adanya sedikit penyuntingan.
Berikut ini beberapa perbandingan.
Tempo: Pada akhir Mei 1982, Letnan Jenderal (Angkatan Darat) dr Rubiono Kertopati, Ketua Lembaga Sandi Indonesia merangkap ketua tim dokter ahli kepresidenan, memperlihatkan dokumen medis seorang pasien berikut hasil tes laboratorium, sambil menceritakan keluhan si pasien, yang saat itu identitasnya anonim. Setelah melihat, saya bilang, "Operasi."
Buku: Setelah mencermati keterangan medis tersebut, saya menjawab tegas tanpa mempedulikan siapa sebenarnya pasien anonim tersebut, "Sebaiknya pasien tersebut dioperasi saja." (halaman 1 buku).
Tempo: "Ternyata Presiden Soeharto hari ini tidak jadi ada tindakan, meski Bapak sudah siap. Jadi anggap saja hari ini Bapak hanya mengunjungi tukang cukur." Juru kamera pun mengabadikan Pak Harto yang sedang terpingkal-pingkal.
Buku: "Ternyata Presiden Soeharto hari ini tidak jadi ada tindakan, meski Bapak sudah siap. Jadi anggap saja hari ini Bapak hanya mengunjungi tukang cukur!" Pak Harto terpingkal-pingkal, tentu saja karena beliau menangkap lelucon soal "tukang cukur" itu (halaman 18-20).
Ini baru dua contoh. Saya berpendapat akan lebih tepat bila memoar Pak Frits merupakan nukilan buku Pak Frits dengan menyebut judul buku tersebut sebagai sumbernya. Ini lebih elegan. Satu komentar lagi ialah foto-foto dalam majalah Tempo edisi itu juga diangkat dari buku Pak Frits tanpa disebut sumbernya. Misalnya foto dua halaman Pak Harto menjenguk Pak Nas di RSPAD, 13 Maret 1997. Foto tersebut adalah karya Saidi, juru foto Istana. Garis kredit selayaknya diberikan kepada juru foto yang bersangkutan.
Warief Djajanto Basorie
Depok, Jawa Barat
Tempo sudah memberi penjelasan dalam rubrik Surat edisi lalu, menjawab surat senada. Terima kasih.
—Redaksi
Mahalnya Parkir di Senayan
SAYA merasa kaget dan tertegun ketika masuk ke kawaÂsan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan, awal Januari 2014. Kekagetan saya bermula ketika harus membayar uang parkir Rp 5.000 untuk dua jam pertama, selanjutnya Rp 3.000 pada setiap jam.
Kehadiran saya di Senayan sesungguhnya bukan untuk menyaksikan band, pertunjukan yang mengundang jingkrak, atau menonton pameran di Jakarta Convention Centre, melainkan mengikuti rapat sebuah organisasi olahraga di bawah naungan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) karena saya pengurus organisasi tersebut sehingga wajib datang.
Saya masuk ke Senayan sekitar pukul 18.00 dan meninggalkan area pada pukul 24.00. Ketika keluar pintu gerbang di depan stasiun TVRI, saya dicegat petugas parkir swasta berseragam cokelat muda untuk membayar Rp 12 ribu. Total ongkos parkir yang mesti saya keluarkan Rp 17 ribu, belum termasuk bayar jasa satpam di depan kantor tempat saya rapat, setidaknya Rp 3.000.
Pertanyaan saya kepada pengelola kawasan Senayan, kenapa begitu mahal uang parkir yang harus dibayar oleh pengunjung, padahal kehadiran mereka, termasuk saya, bukan untuk urusan bisnis atau belanja, melainkan demi kepentingan organisasi atau berolahraga.
Hal kedua yang hendak saya tanyakan, ke manakah uang parkir tersebut disetorkan. Apakah ke negara, dalam hal ini Sekretariat Negara selaku pengelola kawasan Senayan, atau untuk perusahaan swasta pengelola parkir tersebut. Kalau negara bekerja sama dengan swasta, bagaimana laporan keuangannya, siapa yang mengontrol, dan siapa yang bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan kendaraan yang diparkir di Senayan? Saya ingin sekali mendapat penjelasan dari pihak berwenang.
Robin
Tanjung, Jakarta Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo