Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat Dari RedaksiSoal Kalla, Asmuni, dan Balapan Kuda
BANYAK cara bisa dilakukan untuk merayakan ulang tahun. Bisa bikin pesta atau seminar, bisa pula introspeksi diri dengan berdoa atau berkumpul dengan keluarga. Cara lain ada juga: membuat edisi khusus. Yang terakhir ini dilakukan Tempo untuk memperingati setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla-jatuh pada 20 Oktober, Kamis pekan lalu.
Tapi, apa yang bisa ditulis untuk sebuah pemerintahan yang baru seumur jagung? Banyak. Beberapa wartawan, dalam rapat redaksi Tempo beberapa bulan lalu, mengusulkan menulis tentang janji-janji kampanye kedua pemimpin itu, lalu mengecek pelaksanaannya di lapangan. Dari sini bisa disimpulkan apakah keduanya termasuk pemimpin yang tepat atau malah ingkar janji.
Menarik. Tapi pertanyaan lain muncul: tidakkah hal itu juga akan ditulis koran dan ditayangkan televisi, yang dari sisi kecepatan pemberitaannya akan melindas majalah yang muncul seminggu sekali?
Kami putar otak, lalu teringat petuah para guru jurnalistik dulu. Kata mereka, pandai-pandailah memilih angle. Prinsipnya, carilah sudut pandang berita yang sedapat mungkin tidak dilihat media lain. Jangan tulis tentang balapan kuda, tapi tulislah tentang para perawat yang mempersiapkan kuda-kuda itu sebelum bertanding. Jangan tulis tentang panggung Srimulat, tapi tulislah canda tawa Asmuni dan Basuki di ruang make-up sesaat sebelum pementasan.
Berdasarkan prinsip itu, kami memilih menulis tentang Jusuf Kalla. Ini bukan tanpa alasan. Setahun terakhir, Kalla jadi sorotan. Ia memelopori perdamaian Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Seraya menjadi wakil presiden, ia juga menjadi Ketua Umum Golkar-sesuatu yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah dari gempuran parlemen. Hubungannya dengan Presiden juga tak selamanya mulus.
Seorang politisi Senayan bertamsil: sementara Presiden SBY adalah sopir sedan yang taat lampu lalu-lintas, Jusuf Kalla adalah sopir mikrolet jurusan Bogor-Cipanas. Mengatasi jalur Puncak yang macet, ia tak segan melindas kebun agar cepat sampai tujuan. Selain itu, membedah Susilo juga sudah pernah kami lakukan: tahun lalu, kami mengulas SBY-juga Megawati-menjelang pemilu presiden putaran kedua.
Angle dipilih, tim disusun. Sebagai penanggung jawab proyek ditunjuk Arif Zulkifli, redaktur pelaksana kompartemen nasional. Ada pula Metta Dharmasaputra (magang redaktur pelaksana), Wenseslaus Manggut, dan Nezar Patria. Dua yang terakhir adalah penanggung jawab rubrik investigasi dan nasional.
Hasilnya adalah majalah yang Anda baca ini. Tak sempurna, meski kami berusaha mencapainya. Tak ada tujuan lain dari pembuatan edisi khusus ini kecuali menyampaikan kritik, juga pujian, agar kinerja pemerintah semakin kinclong empat tahun ke depan. Selamat membaca bagi para pembaca, selamat ulang tahun kepada SBY-JK dan segenap aparatnya.
Ralat dari Sidney Jones
DALAM tulisan tentang Thoifah Muqatilah ("Kesaksian Seorang Teroris 'Freelance'", dan pada rubrik Wawancara), terdapat salah penafsiran bahwa unit tempur yang belum lama dibentuk oleh Noordin Mohamad Top dan Dr Azhari merupakan kelanjutan dari unit dengan nama yang sama yang dibahas beberapa anggota JI tidak lama setelah bom Bali I.
Sebenarnya tidak ada hubungan di antara keduanya. Setelah peledakan bom Bali pada Oktober 2002, beberapa anggota JI membahas konsep pembentukan unit pelatihan untuk masing-masing divisi, yang semuanya ada empat divisi, yang akan diberi nama "Thoifah Muqatilah". Unit ini bukan brigade pengebom bunuh diri, dan hanya satu yang sempat mengadakan pelatihan; tetapi unit ini dibubarkan polisi pada Januari 2003 tanpa ada kesempatan melakukan kegiatan apa pun. Informasi yang diperoleh dari Nassir Abbas hanya mengacu pada konsep sebelumnya, bukan pada unit baru yang tampaknya dibentuk oleh Noordin.
SIDNEY JONES
Koreksi dari Bekas Tapol
SAYA bekas tahanan politik (tapol) G30S yang telah diwawancarai oleh majalah Tempo dan dimuat pada edisi 3-9 Oktober 2005 berjudul Bertahan dengan Sebatang Jarum.
Namun, ada beberapa hal yang perlu saya komentari karena kurang tepat. Ini mungkin akibat kurang jelasnya saya memberi keterangan atau ada sedikit kekeliruan dalam menginterpretasikan keterangan saya tadi.
Pada alinea pertama, dr Sumanto bukanlah dokter pemerintah yang bertugas di Pulau Buru. Beliau teman saya sesama tapol. Ia mendapatkan buku teori akupunktur dari dokter-dokter yang bertugas di Markas Komando Inrehab Pulau Buru.
Alinea kedua, keterangan yang dikutip Tempo adalah keterangan saya tentang kondisi Penjara Nusakambangan, tepatnya di Lembaga Pemasyarakatan Permisan, dan bukan di Pulau Buru.
Sebagai catatan, sepengetahuan saya penyakit kulit tidak pernah menjadi penyebab kematian tapol. Demikian pula seluruh keterangan saya pada alinea 3, dari jatah makan 125 butir jagung sampai Obat Batuk Hitam (OBH), saya alami di Nusakambangan.
Pada kalimat alinea keempat tertulis bahwa di Pulau Buru ada dua petugas dokter, yakni dr Sumanto dan Kapten dr Sumerapi. Sebagai tambahan, keduanya bukan dokter pemerintah, melainkan tahanan politik. Dan dr Sumerapi (alm.) tidak memiliki keahlian akupunktur.
Di artikel sebelumnya, Emas di Hari Tua, Tempo menulis di alinea tujuh bahwa "tahun lalu seniman Sudjojono mengkhitankan cucunya." Sudjojono yang telah meninggal tahun 1986 itu kebetulan ayah saya dan cucunya adalah anak saya. Yang mengkhitankan tentu saja bukan ayah saya karena beliau sudah meninggal.
TEDJABAYU Jakarta Timur
-Mohon maaf dan terima kasih atas penjelasannya.-Red
Klarifikasi dari Ansyaad Mbai
SETELAH membaca Tempo edisi 10-16 Oktober 2005 tentang wawancara antara saya dan wartawan Tempo yang tercantum pada halaman 100 sampai dengan 102, ada beberapa kutipan yang menurut saya tidak sesuai, sesuai kutipan itu.
Pertama, atas pertanyaan "Bagaimana caranya?" Jawaban saya seharusnya, "orang-orang ini harus kita 'tangkap' (dijadikan mitra)".
Pada kolom tiga, atas pertanyaan "Maksud Anda?" Jawaban saya seharusnya begini: Masih banyak ceramah atau anjuran yang berisi menyebarkan kebencian dan permusuhan.
DRS ANSYAAD MBAIKetua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme
Otorita Batam Tidak Memungut Biaya
BERKAITAN dengan surat pembaca yang disampaikan Sdr. Syahzinan, Pengurus Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, yang dimuat pada majalah Tempo edisi 16 Oktober 2005, bersama ini kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
- Setelah Bapak Ismeth Abdullah dilantik sebagai Penjabat Gubernur Kepulauan Riau pada 1 Juli 2004 sampai awal Januari 2005 (selama 6 bulan), Otorita Batam memberikan pinjaman kantor sementara beserta perlengkapannya untuk menjalankan kegiatan Pemerintah Provinsi Kepri, yang terletak di Gedung BIDA Annex II lantai I, II, dan IV Batam Center, tanpa dipungut biaya, baik berupa sewa gedung maupun biaya untuk operasional kantor tersebut.
- Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang, sesuai dengan Surat Perjanjian Sewa Menyewa antara Otorita Batam dan Pemerintah Provinsi Kepri No. 05/SPJ/Adren/XII/2004, Pemerintah Provinsi Kepri menempati Gedung Otorita Batam di Jalan R.E. Martadinata 1 Sekupang-Batam, dalam bentuk sewa sebagai kompensasi atas sebagian kecil dari biaya yang dikeluarkan oleh Otorita Batam untuk merenovasi bangunan tersebut guna menampung lebih-kurang 500 pegawai Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau Kepri.
- Untuk membantu menjalankan roda pemerintahan Provinsi Kepri, berdasarkan Surat Perintah Tugas Kabiro Kepegawaian Otorita Batam No. SP/13/PEG/VIII/2004 tanggal 12 Agustus 2004, Otorita Batam telah memperbantukan sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) orang staf yang ditempatkan pada Sekretariat Daerah Provinsi Kepri dalam membantu tugas-tugas para eselon I yang diangkat dan dilantik oleh Penjabat Gubernur Provinsi Kepri (Bpk. Ismeth Abdullah).
- Hal-hal tersebut di atas merupakan bentuk dukungan dan bantuan Otorita Batam kepada Pemerintah Provinsi Kepri, mengingat Pemerintah Provinsi Kepri saat itu belum memiliki sarana dan prasarana maupun SDM yang diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan Provinsi Kepri.
Demikian penjelasan kami, sehingga dapat memberikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat.
IR DANIEL M. YUNUS, MMKepala Biro Umum Otorita Batam
Tunda Pengangkatan PNS
PADA Oktober atau November 2005 ini pemerintah akan membuka seleksi langsung pegawai negeri sipil sebanyak 300 ribu orang. Sebanyak 70 persen dari total 300 ribu orang akan diangkat langsung sebagai pegawai negeri dengan kewajiban mengikuti tes formalitas administrasi dan cek kesehatan. Mereka berasal dari guru bantu, tenaga honorer pemerintahan yang minimal telah mengabdi 15-20 tahun, dan berbagai formasi ikatan dinas yang lain.
Pengangkatan atau penerimaan pegawai di atas patut digugat oleh masyarakat luas dengan asumsi bahwa jumlah pegawai negeri sipil di Indonesia, yang total 3,5 juta orang, selama ini kurang optimal dan efektif dalam fungsi pelayanan publik. Banyak yang korupsi pula. Dari 3,5 juta orang seperti diungkap dalam berbagai survei lembaga studi independen, banyak yang inefisien kerjanya. Hal ini bisa dilihat secara kasatmata dalam berbagai dinas/organisasi tata pemerintahan dengan jumlah pegawai negeri yang menumpuk tapi kerjanya terbatas atau terlampau ringan.
Selain itu, pengangkatan 300 ribu pegawai negeri akan membebani APBN. Padahal pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dengan alasan mencegah defisit APBN. Apakah dengan mengangkat 300 ribu pegawai negeri baru tidak membebani APBN, yang notabene berasal dari pajak rakyat? Apalagi, awal Januari 2006, pemerintah akan menaikkan gaji pegawai negeri rata-rata 15 persen.
Lebih baik pemerintah merasionalisasi jumlah pegawai negeri sipil di Indonesia dengan model pensiun dini atau proses reward and punishment yang ketat. Karena etika kerja pegawai negeri di Indonesia cukup buruk dan tidak produktif. Yang patut digugat adalah alasan utama rekrutmen pegawai negeri di Indonesia lebih banyak faktor belas kasihan, bukan kualitas, sehingga nantinya akan percuma.
Menurut saya, tunda pengangkatan atau seleksi calon pegawai negeri sipil demi penghematan APBN. Mencegah korupsi birokrasi salah satunya adalah dengan rasionalisasi jumlah pegawai negeri sipil dan mengoptimalkan kinerja pegawai negeri di instansi pemerintahan "basah". Jangan justru memperbesar kuantitas pegawai negeri yang akan menguras dana APBN.
DARMANTOJalan Merbabu II/8, Boyolali
Periksa Hakim Kasus Korupsi
KOMISI Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial semestinya menggunakan momentum kasus buka-bukaan percobaan suap oleh Probosutedjo di Mahkamah Agung baru-baru ini untuk memeriksa semua anggota majelis hakim yang terlibat, di tingkat mana pun. Kedua komisi ini tak perlu mengendur meski Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan bahwa Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung yang memimpin majelis hakim kasasi perkara korupsi dana reboisasi Probosutedjo, tidak terlibat suap.
Janganlah pula kendur karena pernyataan satu hakim di tingkat pengadilan negeri bahwa tidak mungkin terjadi suap karena putusan hakim pengadilan negeri lebih berat setahun ketimbang tuntutan jaksa yang hanya tiga tahun. Alangkah ringan dan nikmatnya korupsi Rp 100 miliar hanya dihukum empat tahun. Siapa tahu ada permainan antara jaksa dan hakim, sehingga tuntutannya seolah-olah hanya tiga tahun. Jadi, supaya tampak lebih "kejam" dan luput dari dugaan suap, ditambahlah satu tahun.
Bukan mustahil Probosutedjo sudah mengeluarkan Rp 10 miliar untuk hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Tapi jumlah yang benar-benar diterima hakim tidak sampai sebesar itu karena disunat oleh makelar atau calo sidang, bisa para pengacaranya, staf di lingkungan pengadilan, atau pihak ketiga lainnya. Dalihnya kan bisa, misalnya, terdakwa mustahil menghubungi hakim langsung. Ini memungkinkan terjadinya mark-up jumlah uang yang mesti dibayarkan untuk menyuap.
WISDARMANTO G.S.Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Mendukung Sikap Mahkamah Konstitusi
KAMI Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (Fortas MPM) memberikan dukungan atas sikap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, yang telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempertanyakan dasar kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Namun, Presiden tidak menyikapi surat MK sebelum surat itu dibahas dalam rapat Kabinet Indonesia Bersatu. Sebagai bangsa yang ingin menegakkan konstitusi, Fortas MPM memandang sikap Ketua MK mempertanyakan dasar kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah hak dan kewenangan MK yang konsisten. Tapi, jawaban pemerintah menetapkan harga BBM yang merupakan kewenangannya dan diakui tidak bertentangan dengan undang-undang mana pun seharusnya selalu merujuk pada undang-undang, sekalipun pemerintah tidak mengubah undang-undang dalam menetapkan kenaikan harga BBM.
Keukeuhnya pemerintah mempertahankan peraturan presiden (perpres), dan masalah perpres bukanlah masalah undang-undang, termasuk tidak adanya kalimat soal harga BBM diserahkan ke pasar dalam perpres tersebut, cukup disesalkan.
Dalam hal ini, Fortas MPM tetap menyikapi bahwa pemerintah berpotensi melanggar konstitusi negara jika kita ingin kehidupan konstitusional ditegakkan. Sebab, pada kenyataannya, kebijakan pemerintah yang dikeluarkan lewat Perpres Nomor 55/2005 lebih dulu menaikkan harga BBM pada 1 Oktober, baru kemudian memperhatikan golongan masyarakat tertentu melalui cara pemberian uang kompensasi secara langsung.
Dasar kebijakan ini menurut penilaian Fortas MPM adalah Pasal 28 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Migas, sementara pasal tersebut oleh putusan MK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Maka, Fortas MPM meminta MK menindaklanjuti konsistensi sikapnya berdasarkan kewenangan yang ada, yang bukan bermaksud menilai kebijakan pemerintah ataupun materi Perpres Nomor 55/2005, melainkan atas dasar kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM yang tampaknya jelas-jelas berpotensi melanggar UUD 1945. Sebab, dipastikan konsiderans perpres itu secara eksplisit bersemangatkan Pasal 28 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Migas.
IRWAN LUBISDirektur Hukum dan HAM Fortas
Terorisme di Indonesia
KERAWANAN terorisme di Indonesia sudah mencapai titik yang membahayakan. Dalam penanggulangan teror, memang ada beberapa hal yang harus kita siapkan, yakni perlunya badan pada level domestik yang dapat mengendalikan semua fungsi penanganan, kemampuan dalam penanganan yang dapat dilihat dari dua aspek, yaitu fungsi intelijen dan penindakan, serta adanya aturan undang-undang yang bisa dipakai dalam penanganan masalah teroris.
Pada berbagai kasus teror dalam dekade terakhir ini di Indonesia, penyelesaiannya hanya bisa dikembangkan secara terbatas, setelah terjadinya peristiwa dan bukan sebelum terjadinya peristiwa ledakan bom.
Dua pelaku dan dalang gerakan teror yang diketahui berkewarganegaraan Malaysia, yakni Dr Azahari dan Noordin Moh. Top, sampai kini juga masih berkeliaran di tengah-tengah kita. Meski aparat kepolisian telah menyebar pamflet wajah mereka, keduanya masih berada dalam persembunyian. Mereka tidak mengenal istilah "musuh". Gerakan yang dilakukan adalah sebagai sasaran antara dengan menebar rasa kebencian yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari orang yang tidak berkait dengan tujuan utama.
Saat ini terjadi pergulatan wacana untuk memberikan payung hukum bagi intelijen. Di satu sisi para pegiat hak asasi manusia merasa khawatir, tetapi di sisi lain masyarakat Indonesia sangat membutuhkan keamanan dan ketenangan dalam beraktivitas.
Tanpa adanya payung hukum bagi intelijen dalam menumpas teroris, ini akan menjadi peluang bagi para teroris, karena kemampuan efektif aparat keamanan menjadi tidak berjalan baik. LSM dan lembaga-lembaga hukum harus sadar, aksi terorisme juga melanggar hak asasi manusia karena ini merenggut nyawa manusia.
Jika terus-menerus terjadi peledakan bom dan jika dianggap tidak ada payung hukum yang kuat bagi intelijen dalam mengatasinya, maka Undang-Undang Intelijen bisa dipertimbangkan untuk dibahas oleh anggota legislatif agar intelijen dapat melakukan tugas dan fungsinya serta tidak ragu-ragu dalam menumpas terorisme di Indonesia
IFUL SAMEYJalan Sedane Muara Lebak 1, Bogor
Pernyataan Ketua MPR Tidak Mengada-ada
F.S. Hartono menilai pernyataan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, yang mengaitkan kemungkinan adanya persaingan bisnis dalam peristiwa bom Bali II, sebagai hal yang mengada-ada (Tempo, 23 Oktober 2005).
Sayang sekali F.S. Hartono tidak menyertakan analisis akurat kecuali pernyataan Kapolda Banten. Semua mafhum, bagaimana kinerja kepolisian terkait dengan terorisme bom. Bahkan polisi telah berkali-kali keliru menangkap orang yang dikira Dr Azahari.
Bahwa bom Bali II semata-mata masalah persaingan bisnis ternyata bukan hanya analisis Pak Hidayat, tapi juga dinyatakan oleh I Gde Wiratha, Ketua Kadin Bali yang juga pemilik Bounty Hotel di Kuta. Dia menyatakan, "Peledakan bom di Kuta dan Jimbaran itu jelas bermotif ekonomi dan tidak ada dalam pikiran orang Bali bahwa bom ini bermotif agama. Jangan bawa-bawa etnis atau prasangka agama. Orang Bali juga tidak pernah berpikiran bahwa yang melakukan pengeboman itu orang Islam." (Kompas, Minggu 9 Oktober 2005 hlm. 12).
Maka tak aneh kalau pengamat politik dari LIPI, Dr Indria Samego, juga pernah membuat pernyataan sejenis. "Tak tertutup kemungkinan pengeboman Bali II bermotif ekonomi, yakni persaingan bisnis dunia pariwisata" (Suara Karya Online, Jumat, 7 Oktober 2005).
Sekalipun demikian, Ketua MPR tak pernah menyebut bahwa persaingan bisnis hanya satu-satunya faktor. Justru dengan penilaian itu Ketua MPR, seperti juga dinyatakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM, ingin mengingatkan agar dalam menghadapi dan membasmi terorisme, jangan berpikir stereotip. Sebab, hal itu tidak menyelesaikan masalah terorisme, mungkin malah akan menciptakan kambing hitam saja.
TUBAGUS ASHADI ASHARIJakarta
Ralat
-Pada Tempo Edisi 17-23 Oktober, dalam Laporan Utama berjudul "Mat Intel Main Sendiri", halaman 36, pada alinea keempat terdapat kesalahan yang mengganggu. Di sana tertulis: "Forum ini sepertinya bakal melengkapi sepak terjang Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda) yang dibentuk atas dasar instruksi presiden, Juni silam." Yang benar bukan Bakorinda, melainkan Komunitas Intelijen Daerah (Kominda). Kalimat selebihnya dianggap tidak ada.
-Pada rubrik Selingan, Senjakala Pusaka Ningrat (Tempo Edisi 17-23 Oktober 2005), pada halaman 82, terdapat wawancara dengan pengamat keris Muhamad Taufiqul Arifin. Nama yang benar adalah MT Arifin. Demikian ralat ini, dan mohon maaf untuk kekeliruannya-Red.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo